Alih-alih menempati rumah pribadi di Bogor, seorang kerabat memilih tetap ngontrak di Jakarta demi mendampingi anak-anaknya belajar di sekolah-sekolah favorit di wilayah Jakarta. Kasihan anak-anak bakal kecapekan kalau tiap hari harus pulang-pergi Bogor-Jakarta, katanya. Kenapa tidak bersekolah di Bogor? Oh, no! Agaknya belajar di sekolah favorit di Jakarta adalah harga mati, apalagi karena anak-anaknya sangat berprestasi. Alhasil, setelah anak-anak lulus dari jenjang SMA, barulah mereka pindah ke Bogor.
Dengan penerapan zonasi, tidak akan ada lagi kejadian seperti pengalaman kerabat saya. Dengan sistem zonasi, anak-anak pintar tidak lagi hanya terkumpul di sekolah-sekolah "favorit". Kelak, bahkan tak ada lagi istilah sekolah favorit. Tidak akan ada lagi eksklusivitas sekolah negeri, dan tak ada lagi diskriminasi. Â Â
Benarkah demikian? Tahukah masyarakat arah dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang cukup kontroversial hingga menuai pro-kontra ini? Dapatkah masyarakat menerimanya? Bagaimana pula Kemendikbud menjamin bahwa kebijakan zonasi ini tepat sasaran dan dapat terlaksana seperti seharusnya? Â Â
Saya mendapat jawab atas berbagai pertanyaan di atas saat hadir dalam acara Perspektif Kompasiana bertajuk "Optimisme Menguatkan Pendidikan dan Memajukan Kebudayaan" pada Senin (6/8/2018) yang lalu. Terkait topik sistem zonasi, Mendikbud Prof. Dr. Muhadjir Effendy diwakili Dr. Ir. Ari Santoso, DEA, kembali menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan sekadar upaya pemerataan akses layanan pendidikan, melainkan juga pemerataan kualitas pendidikan.Â
Ari Santoso, selaku Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, menjelaskan secara gamblang arah kebijakan, imbauan pelaksanaan, dan tindak lanjut pelaksanaan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tersebut.

- Menjamin pemerataan akses pendidikan;
- Mendorong kreativitas pendidik dalam kelas heterogen;
- Mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik;
- Menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri;
- Membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru;
- Meningkatkan akses layanan pendidikan pada kelompok rentan;
- Meningkatkan keragaman peserta didik di suatu sekolah;
- Membantu pemerintah dalam memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran;
- Mendorong Pemerintah Daerah dalam pemerataan kualitas pendidikan;
- Mencegah penumpukan SDM berkualitas dalam suatu wilayah.
Bila sejenak menengok ke belakang kita akan tahu bahwa PPDB Zonasi yang diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 ini sebenarnya bukan hal baru. Kemendikbud menyebut sebagai bentuk penyesuaian sistem rayonisasi. Perbedaannya, 'rayonisasi' berpijak pada prestasi akademik siswa, sedangkan 'zonasi' berpijak pada jarak rumah siswa dengan sekolah.Â
Pada prinsipnya, peserta didik yang berhak atas layanan pendidikan di suatu wilayah adalah mereka yang rumahnya lebih dekat dengan layanan tersebut-meskipun prestasinya kurang. Jadi, kalau dahulu siswa berprestasi dari Bogor dapat diterima di sekolah 'unggulan' di Jakarta, sekarang kesempatannya hanya 5% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima di sekolah bersangkutan. Aturan persentase tersebut diatur dalam Pasal 16 Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang ringkasannya dapat dilihat dalam infografik berikut.Â

Namun, Kemendikbud menyosialisaikan bahwa sebenarnya banyak hal positif yang akan lahir sebagai dampak dari aturan zonasi ini. Berbagai dampak positif itulah yang dirinci dalam "Arah Kebijakan Zonasi". Kemendikbud menyebutnya ekosistem pendidikan. Dari penjelasan yang diberikan saya mereka-reka ilustrasi sebagai berikut.
Jarak layanan pendidikan yang dekat dengan rumah, memungkinkan siswa menjangkau sekolahnya dengan lebih mudah. Alih-alih menempuh perjalanan jauh dan melelahkan serta harus mengalami kemacetan lalu lintas, siswa cukup berkendara sebentar atau bahkan hanya perlu berjalan kaki. Hemat energi, hemat biaya! Waktu peserta didik tidak habis di jalan; dan akan banyak penyeimbang kegiatan belajar dapat dilakukan, seperti bermain bersama teman-teman di lingkungan rumah, melakukan hobi positif, dan lain-lain. Â
Dampak lebih besar yang lain adalah di setiap sekolah akan tercipta kelas-kelas heterogen yang multikultural, multiprestasi, multisosial/ekonomi, dan sebagainya. Kelas heterogen berpotensi meningkatkan kesadaran siswa akan hidup dalam kebhinekaan. Keberagaman suku/agama dapat mendorong terciptanya budaya saling menghormati. Prestasi yang heterogen dapat diarahkan untuk mendorong pemerataan prestasi.
Siswa yang lebih pandai dapat membantu teman yang kurang berprestasi. Sementara keberagaman sosial/ekonomi dapat menumbuhkan rasa sosial kemanusiaan, misalnya siswa dari keluarga kaya tergerak membantu yang kurang mampu. Kelas heterogen juga dapat mendorong kreativitas guru dalam mengelola peserta didik. Alhasil, pendidikan pun akan berjalan lebih dinamis dan menyenangkan. Bukan mustahil bila ketimpangan terhapus karena setiap sekolah berpotensi menjadi sekolah favorit. Â
Zonasi juga akan membantu kegiatan analisis kebutuhan dan distribusi guru serta penyampaian bantuan tepat sasaran. Pemerintah Daerah pun terdorong dalam meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan, termasuk menghindarkan penumpukan SDM berkualitas di satu wilayah.
Pada dasarnya, tujuan jangka panjang dari kebijakan zonasi adalah terbentuk ekosistem pendidikan yang baik. Tujuan tersebut dapat tercapai bila antara sekolah berikut para pendidik, keluarga/orang tua murid, dan masyarakat bersinergi. Ketiganya saling mendukung untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Orang tua tidak melepas begitu saja anak-anaknya, melainkan tetap terlibat dan berperan aktif. Sebaliknya sekolah bersama para pendidik berupaya menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa.

Meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan melalui zonasi merupakan upaya Pemerintah untuk mewujudkan pendidikan nasional yang merata sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, Pasal 31 Ayat 1-"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Dengan mengusung tagline #SemuaBisaSekolah dan #ZonasiUntukPemerataan kebijakan zonasi berpotensi melenyapkan kesenjangan dalam masyarakat serta mencegah ketimpangan layanan pendidikan.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan PPDB Zonasi, Kemendikbud mengimbau bahwa seluruh lapisan masyarakat harus terlayani dengan baik. Tidak boleh ada diskriminasi. Untuk itu perlu dihindarkan praktik jual-beli kursi dan juga pungutan liar (pungli).
Meskipun demikian, hasil seperti tagline memang tidak dapat dicapai dengan mudah. Diperlukan cukup waktu untuk mengetahui bahwa dampak positif yang diharapkan benar-benar terwujud. Harus diakui bahwa sampai saat ini praktik di lapangan belum berjalan dengan maksimal-jika tak boleh dikatakan "sempurna". Di awal penerapannya (Tahun Ajaran 2017/2018), sistem zonasi cukup banyak menuai keluhan masyarakat.
Faktanya, berdasarkan hasil evaluasi pascapelaksanaan PPDB, memang ada banyak hal perlu ditindaklanjuti. Sebagai contoh: perlunya dilakukannya pemetaan ulang daya tampung (sekolah/ruang kelas) dengan jumlah populasi usia sekolah; perlunya pemetaan dan perencanaan bantuan sarana prasarana; analisis kebutuhan pendirian sekolah baru juga redistribusi guru; dan sebagainya. Tidak sedikit pula detail aturan (pasal-pasal dalam Permendikbud No. 14 Tahun 2018) yang perlu diperbaiki demi mengantisipasi aneka bentuk pelanggaran atau penyimpangan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Misalnya, pasal terkait masa penerbitan Kartu Keluarga yang memicu timbulnya migrasi "palsu" untuk mengejar sekolah favorit; pasal tentang kewajiban Pemprov menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga kurang mampu yang memicu maraknya pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM); Â dan sebagainya.
Kemendikbud menyadari bahwa masukan dari berbagai pihak akan sangat membantu penyempurnaan sistem ini di masa yang akan datang. Kemendikbud bahkan tidak menampik bahwa pro-kontra dalam masyarakat-seperti halnya terlihat dalam dinamika diskusi dengan para Kompasianer-juga sangat diperlukan sebagai sarana evaluasi. Demikian pula peran serta masyarakat dalam pengawasan di lapangan. Ari Santoso menyampaikan bahwa Kemendikbud-melalui Inspektorat Jenderalnya-membuka saluran khusus (lihat infografik terlampir) bagi siapa pun yang ingin melaporkan segala dugaan pelanggaran PPDB di lapangan. Â

Salam Pendidikan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI