Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Zonasi Mengantisipasi Diskriminasi

13 Agustus 2018   20:27 Diperbarui: 13 Agustus 2018   22:19 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dampak lebih besar yang lain adalah di setiap sekolah akan tercipta kelas-kelas heterogen yang multikultural, multiprestasi, multisosial/ekonomi, dan sebagainya. Kelas heterogen berpotensi meningkatkan kesadaran siswa akan hidup dalam kebhinekaan. Keberagaman suku/agama dapat mendorong terciptanya budaya saling menghormati. Prestasi yang heterogen dapat diarahkan untuk mendorong pemerataan prestasi.

Siswa yang lebih pandai dapat membantu teman yang kurang berprestasi. Sementara keberagaman sosial/ekonomi dapat menumbuhkan rasa sosial kemanusiaan, misalnya siswa dari keluarga kaya tergerak membantu yang kurang mampu. Kelas heterogen juga dapat mendorong kreativitas guru dalam mengelola peserta didik. Alhasil, pendidikan pun akan berjalan lebih dinamis dan menyenangkan. Bukan mustahil bila ketimpangan terhapus karena setiap sekolah berpotensi menjadi sekolah favorit.  

Zonasi juga akan membantu kegiatan analisis kebutuhan dan distribusi guru serta penyampaian bantuan tepat sasaran. Pemerintah Daerah pun terdorong dalam meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan, termasuk menghindarkan penumpukan SDM berkualitas di satu wilayah.

Pada dasarnya, tujuan jangka panjang dari kebijakan zonasi adalah terbentuk ekosistem pendidikan yang baik. Tujuan tersebut dapat tercapai bila antara sekolah berikut para pendidik, keluarga/orang tua murid, dan masyarakat bersinergi. Ketiganya saling mendukung untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Orang tua tidak melepas begitu saja anak-anaknya, melainkan tetap terlibat dan berperan aktif. Sebaliknya sekolah bersama para pendidik berupaya menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa.

Sumber Infografik: @Kemdikbud_RI
Sumber Infografik: @Kemdikbud_RI
Kebijakan zonasi yang utuh dan terintegrasi ini memungkinkan pendataan peningkatan kualitas pendidikan dilakukan dengan lebih mudah. Alhasil berbagai kebijakan lain (terkait sarana prasarana; anggaran; SDM-kepala sekolah, guru, dll.; penilaian hasil belajar; dan sebagainya) juga dapat lebih mudah terealisasi.

Meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan melalui zonasi merupakan upaya Pemerintah untuk mewujudkan pendidikan nasional yang merata sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, Pasal 31 Ayat 1-"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Dengan mengusung tagline #SemuaBisaSekolah dan #ZonasiUntukPemerataan kebijakan zonasi berpotensi melenyapkan kesenjangan dalam masyarakat serta mencegah ketimpangan layanan pendidikan.

Oleh karena itu, dalam pelaksanaan PPDB Zonasi, Kemendikbud mengimbau bahwa seluruh lapisan masyarakat harus terlayani dengan baik. Tidak boleh ada diskriminasi. Untuk itu perlu dihindarkan praktik jual-beli kursi dan juga pungutan liar (pungli).

Meskipun demikian, hasil seperti tagline memang tidak dapat dicapai dengan mudah. Diperlukan cukup waktu untuk mengetahui bahwa dampak positif yang diharapkan benar-benar terwujud. Harus diakui bahwa sampai saat ini praktik di lapangan belum berjalan dengan maksimal-jika tak boleh dikatakan "sempurna". Di awal penerapannya (Tahun Ajaran 2017/2018), sistem zonasi cukup banyak menuai keluhan masyarakat.

Faktanya, berdasarkan hasil evaluasi pascapelaksanaan PPDB, memang ada banyak hal perlu ditindaklanjuti. Sebagai contoh: perlunya dilakukannya pemetaan ulang daya tampung (sekolah/ruang kelas) dengan jumlah populasi usia sekolah; perlunya pemetaan dan perencanaan bantuan sarana prasarana; analisis kebutuhan pendirian sekolah baru juga redistribusi guru; dan sebagainya. Tidak sedikit pula detail aturan (pasal-pasal dalam Permendikbud No. 14 Tahun 2018) yang perlu diperbaiki demi mengantisipasi aneka bentuk pelanggaran atau penyimpangan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Misalnya, pasal terkait masa penerbitan Kartu Keluarga yang memicu timbulnya migrasi "palsu" untuk mengejar sekolah favorit; pasal tentang kewajiban Pemprov menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga kurang mampu yang memicu maraknya pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM);  dan sebagainya.

Kemendikbud menyadari bahwa masukan dari berbagai pihak akan sangat membantu penyempurnaan sistem ini di masa yang akan datang. Kemendikbud bahkan tidak menampik bahwa pro-kontra dalam masyarakat-seperti halnya terlihat dalam dinamika diskusi dengan para Kompasianer-juga sangat diperlukan sebagai sarana evaluasi. Demikian pula peran serta masyarakat dalam pengawasan di lapangan. Ari Santoso menyampaikan bahwa Kemendikbud-melalui Inspektorat Jenderalnya-membuka saluran khusus (lihat infografik terlampir) bagi siapa pun yang ingin melaporkan segala dugaan pelanggaran PPDB di lapangan.  

Sumber Infografik: @itjen_kemdikbud
Sumber Infografik: @itjen_kemdikbud
Jalan kebaikan cenderung berliku. Namun, kita harus optimis bahwa Pemerintah akan berhasil memeratakan akses layanan dan kualitas pendidikan di segenap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pastikan pemerataan terealisasi dengan baik sehingga semua warga negara Indonesia mendapatkan haknya menempuh pendidikan, tanpa kecuali!

Salam Pendidikan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun