Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah 1 Syawal Dua Versi

9 Mei 2023   12:42 Diperbarui: 9 Mei 2023   13:07 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Awal puasanya sama ya Bu," Tanya tetanggaku menjelang awal Ramadan. Pertanyaan yang wajar, mengingat tahun lalu awal Ramadan antara yang mengacu pada rukyatul hilal dan wujudul hilal tidak sama. "Ya Bu, awal puasanya bareng tetapi 1 Syawalnya berpotensi berbeda kata orang BRIN" jawab saya.

Dan yang diprediksi oleh perwakilan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) memang terjadi, 1 Syawal 1444 H terbagi menjadi dua versi, yaitu tanggal 21 April dan 22 April 2023 meski ada kelompok-kelompok kecil yang merayakan Idulfitri sebelum tanggal 21 April dan sesudah 22 April.

1 Syawal dua versi ini berdampak ke kisah lebaranku tahun ini. Di daerah tempat tinggalku tidak ada yang mempermasalahkan perbedaan penentuan 1 Syawal. Jika terdapat perbedaan hari raya, bagi yang meyakini penentuan 1 Syawal dengan wujudul hilal bisa melaksanakan sholat Idulfitri di lapangan, bagi yang meyakini rukyatul hilal biasanya sholat Idulfitri di masjid perumahan.

Kedua tempat ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki di rumah. Enak to, nggak ribet dan nggak ribut.  Lalu bagaimana merayakan 1 Syawalnya?, nah ini yang jadi kisah unik.

Tahun ini adalah tahun kedua kami melalui Idulfitri tanpa orang tua sejak Mama meninggal dunia bulan Oktober dua tahun lalu. Tahun 2022 kami merayakan Idulfitri di tanah kelahiran suami di Bali karena kami sudah 11 tahun nggak berziarah ke makam mertua.

Maka dengan situasi 1 Syawal dua versi, tak ada orang tua untuk dikunjungi Idulfitri kali ini terasa sunyi di hati tapi berharap berkesempatan mengunjungi kerabat dekat yang bisa kami temui.

Kamis malam kami bersilaturahim malam lebaran ke rumah oom di Surabaya,  andai beliau memilih lebaran Sabtu toh bersilaturahim semestinya nggak nunggu lebaran kan?

Keesokan harinya usai sholat Idulfitri di lapangan, suami mengajak silaturahim ke tante di Lamongan dan kakak di Tuban mumpung ada mobil pinjaman dari kantor.

Waduh acara dadakan banget ini, udah telanjur masak nasi untuk makan siang dan malam. Ya udahlah diiyain aja apa maunya suami sekalian niatnya mampir ke masjid Namira. 

Maksud hati bertamunya nggak usah woro-woro karena belum tentu keluarga Lamongan dan Tuban merayakan Idulfitri di hari Jumat. Berhubung kami nyasar karena sudah lama nggak silaturahim ke Lamongan, akhirnya terpaksa menelepon sang tuan rumah dan juga kakak di Tuban untuk mendapatkan gambaran alamat.

Ternyata keluarga tante sudah berbuka di hari Jumat tetapi sholat Idulfitriya ikut yang Sabtu. Bisa ya begitu? Entahlah semua kembali kepada keyakinan masing-masing.

Nah yang safari ke Tuban ini kami sungkan sebab di Tuban sudah disediakan berbagai makanan yang buru-buru disiapkan padahal keluarga Tuban memilih Idulfitri Sabtu. Unik dan lucu ya, hari raya bisa seperti memilih jawaban soal ujian pilihan ganda. Namun dengan kejadian ini kita diingatkan kembali tentang pentingnya toleransi.

Di keluarga kami tidak ada yang mengklaim bahwa Idulfitri yang benar hari Jumat atau Sabtu, saling menghargai saja, nggak usah dibuat ribut antar saudara.

Di Masjid Namira kami juga mendapat pelajaran tentang toleransi, pihak masjid tetap menyediakan air minum di showcase, beberapa pengunjung pun minum dengan santainya, meski usai sholat Jumat Dewan Takmir Namira mengumumkan bahwa Masjid Namira menyelenggarakan sholat Idulfitri di hari Sabtu.

Safari Sidoarjo-Lamongan-Tuban pulang pergi melelahkan sekali, sampai rumah menjelang Isya dan kami segera pergi tidur diiringi gema takbir dari masjid perumahan. Keesokan hari usai masjid perumahan menyelenggarakan sholat Idulfitri, seperti biasa tetangga tampaknya saling bersalaman, tapi kami sekeluarga memilih melanjutkan tidur karena badan tak bisa diajak kompromi.

Anak-anak sudah pada ribut, "Libur lebaran kemana nih Pa, mumpung ada mobil pinjaman" Ayahnya punya rencana dadakan ke Yogya, duh tapi pengalaman beberapa tahun lalu kalau pas libur nasional Yogya macetnya minta ampun.

Waktu itu dua hari di Yogya hanya ke Malioboro dan Borobudur, rencana ke Prambanan batal karena hujan deras, ke Parangtritis batal karena udah putus asa kejebak macet di jalann dan pilih balik ke penginapan.

Beruntung saat bulan Ramadan lalu kami sempat menginap di Jogokariyan sepulang dari pondok Gontor Magelang menjemput si sulung usai tuntas pengabdian. 

Vibes Ramadan 1444 H di Jogokariyan, Dokpri
Vibes Ramadan 1444 H di Jogokariyan, Dokpri

Bahagia sekali merasakan vibes Ramadan di Jogokariyan, apalagi keesokan harinya dalam perjalanan pulang nekad mampir Heha Sky View. Heha saat itu relatif sepi karena bulan puasa nggak banyak orang rekreasi, jadi bisa puas-puasin menikmati dan mengabadikann pemandangan view Merapi, tetapi ya gitu deh, karena jalan-jalan dalam kondisi berpuasa tenggorokan rasanya kering sekali.

Bersama keluarga di Heha Sky View, Dokpri
Bersama keluarga di Heha Sky View, Dokpri

Si bungsu juga ragu-ragu mendukung ide Ayahnya berlibur ke Yogya, padahal sebenarnya Ramadan trip kemarin belum puas bener. Masih ingin ke Heha Ocean View, Parangtritis, Prambanan, Tebing Breksi. Ya udah deh akhirnya batal ke Yogya, dan di hari Minggu memutuskan main ke sekitar Jawa Timur yang nggak terlalu jauh dari rumah. Pemandian Pacet tujuannya, duh di sini dapat pengalaman ngga enak banget.

Loh meski lebaran dua versi, jalanan masih aja padat, sempat terjebak kemacetan di beberapa titik. Setiba di gerbang bayar HTM per orang 15 ribu, retribusi mobil 5 ribu tapi ternyata parkir di dalam masih kena palak 20 ribu berkedok "sekalian cuci mobil." Masuk lokasi pemandian bayar lagi, tapi ngapain masuk kalau nggak ingin berendam di pemandian air panas.

Saya dan suami nunggu anak-anak di luar lokasi kolam, nyari tempat duduk susah, ngga ada pemandangan apa-apa selain orang jualan. Beneran ilfil dibuat. BeTe berat. Libur lebaran kami gini amat. Ngga ada makanan khas lebaran masa kecilku dulu semacam opor ayam, sayur bambu muda, telur bumbu petis, sambal goreng hati sapi dan kentang atau ketupat. Ingin menikmati pengalaman lebaran yang seru dan mengasyikkan tinggal wacana yang belum tamat.

Ingatan saya terlempar ke masa lalu, ketika almarhumah mama bercerita jika anak-anak tetangga depan rumah tak pernah pulang di hari raya atau sebelumnya, karena mereka memilih berwisata. Saya sempat bercerita sekilas jika di perumahan rata-rata para tetangga juga mudik usai sholat Idulfitri.

Saya sempat bertanya ke mama apakah boleh jika kelak mudiknya usai lebaran saja, sebab merepotkan banget naik kendaraan umum saat berpuasa, toh hampir setiap bulan saya menjenguk beliau. Raut wajah mama saat itu menunjukkan gurat kecewa meski yang terlontar dari bibirnya "Terserah aja, mana yang tidak memberatkanmu" Mengingat percakapan itu membuat saya menyesal dan sedih saat ini. Tanpa kehadiran orang tua dan hiruk pikuk mudik hidup terasa sepi.

Libur lebaran pun nggak semenarik yang dibayangkan. Ah namun saya tak mau terpuruk lebih lama, tersadar bahwa pengalaman lebaran tahun ini bisa menjadi pelajaran, bahwa meski tak bisa menikmati liburan seru dan telah yatim piatu, saya masih memiliki keluarga inti.

Berapa banyak orang yang melalui lebaran dalam kondisi mengenaskan. Jika saya merutuk terus menerus karena libur lebaran yang tak berkesan rasanya percuma berpuasa Ramadan.

Saya mungkin tak bisa memutar waktu untuk kembali dan memperlakukan kedua orang tua lebih baik lagi, namun saya masih bisa mengoptimalkan hari-hari untuk beramal dengan niatan untuk orang tua serta diri sendiri.

Satu lagi, mudah-mudahan tahun depan bisa merasakan vibes lebaran di Yogyakarta, syukur-syukur bisa beriktikaf hingga Syawalan di Jogokariyan yang sudah membuat kami jatuh cinta dengan vibes Ramadannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun