Mohon tunggu...
Duhita Dundewi
Duhita Dundewi Mohon Tunggu... -

nothing special

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demorkasi dan Anasir Politisasi Agama dalam Pilkada Sumut 2018

26 Juni 2018   19:44 Diperbarui: 26 Juni 2018   19:48 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi memang bukan kebenaran total. Ia adalah tata kuasa (krasi) yang juga dibangun di atas asumsi, paham, dan kepercayaannya sendiri. 

Sebagaimana krasi-krasi lain yang pernah hidup sepanjang sejarah umat manusia, setiap krasi punya pembenarannya sendiri. Demokrasi modern adalah reinkarnasi dari demokrasi klasik yang pernah dipraktikan pada zaman Yunani kuno, di Yunani, dengan kepercayaan pada kemampuan manusia untuk menentukan tata kuasa dan kehidupannya sendiri. Pilkada dan Pemilu Nasional yang kita praktikan di Indonesia sekarang ini adalah praktik demokrasi modern.

Demokrasi modern sendiri adalah revisi dari krasi-krasi yang mendahuluinya. Manusia pernah hidup pada zaman teokrasi, yang mempercayai bahwa pemerintah yang berkuasa adalah pemerintahan Tuhan. Bahwa Tuhan langsung memerintah dan mengatur negara. Hukum negara yang berlaku adalah hukum Tuhan. Pemerintahan dipegang oleh para santo atau ulama dengan segala pelembagaannya.

Apa yang terjadi?

Atas nama Tuhan manusia bisa menguasai manusia lain. Atas nama Tuhan sekelompok manusia boleh  menindas, mengeksploitasi, bahkan memperbudak manusia lain. Ingat baik-baik, bahwa perbudakan terbesar manusia terjadi ketika kebanyakan manusia mempercayai tata kuasa teokrasi itu. Monumen-monumen besar keagamaan adalah monumen perbudakan. Piramid di Mesir, Borobudur di Jawa, jika diletakkan dalam kerangka sejarah agama-agama dunia, akan terlihat sebagai jejak perbudakan manusia atas nama tuhan dan agama.

Butuh waktu ribuan tahun bagi manusia untuk bisa menyadari bahwa tuhan dan agama kerap menjadi alat politik paling efektif untuk menguasai manusia lain. Butuh ratusan tahun lagi bagi manusia untuk menemukan dan merumuskan sendiri suatu tata kekuasaan yang lebih mungkin mengurangi, bahkan menghilangkan, eksploitasi manusia atas manusia lain atas nama tuhan dan agama. 

Manusia masih harus melewati zaman ketika para raja dan bangsawan berkuasa (aristokrasi), dengan hak-hak istimewa berdasar darah dan keturunan. Sabda raja adalah sabda tuhan. Lalu manusia mengalami pembelahan, di mana ada sekolompok kecil manusia yang berkuasa untuk memerintah dan mengatur kehidupan sebagian besar manusia lainnya hanya karena mereka memiliki 'darah biru' darah tuhan. Akhirnya manusia masih harus melakoni fase sekularisasi di mana kekuasaan tuhan harus dipisahkan dari kekuasaan negara.

Teokrasi dan aristokrasi sama bengisnya terhadap manusia. Itu sebabnya mereka telah terkubur sekian lama dalam sejarah. Tapi segala yang pernah terjadi di masa lalu, bisa terjadi lagi di masa depan. Itu hukum sejarah. Itu terjadi terhadap sejarah demokrasi klasik yang reinkarnasi menjadi demokrasi modern sekarang ini.

Saat ini di indonesia, sudah menyeruak anasir-anasir yang berusaha menghidupkan lagi gagasan teokrasi. Masalahnya bukan pada Tuhan dan agama itu sendiri, melainkan pada cara-cara sekelompok orang menafsirkan Tuhan dan agamanya. Perlahan namun pasti mulai terbentuk lagi hirarki sosial baru yang mengacu kepada hirarki keagamaan. 

Sekelompok kecil orang memiliki otoritas berlebih untuk mengatur dan memerintah manusia lainnya. Orang-orang itu tidak bisa diajak lagi untuk berdiskusi secara terbuka, dan mereka lebih suka menilai dan menghujat dengan menggunakan idiom-idiom keagamaan secara arbiter.

Di Jawa Barat berdengung 'intruksi dari beberapa ulama' untuk memilih psangan pemimpin yang 'dianggap' sebagai representasi kepentingan agama. Perhatikan kata 'inturksi' itu. Bukankah kata itu penegasan adanya otoritas? Kata-kata intruksi itu kemudian bertaburan di dinding-dinding sosial-media banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun