Biasanya Lola pulang kampung dua bulan sekali . Hanya untuk sungkem pada orangtua di Solo. Ngicipin kuliner kampong halaman. Makan nasi liwet dan wedang Ronde. Pandemi membuat cerita berbeda. Setahun setengah Lola tidak pulang. Hanya  telponan saja. Sebulan sekali ke orangtua. Lola jarang  video call atau zoom. Pas lebaran saja.
Usia sudah 35 tahun. Â 10 tahun Lola menjadi peneliti LIPI. Hasil penelitiannya sudah banyak. Â Ada puluhan. Semua karya berjilid itu tersimpan rapi di dokumentasi LIPI. Tak ada yang diimplementasi. Padahal biaya penelitian besar sekali. Waktunya lama. Otak dan tenaga diperas keras. Seolah tak dihargai.Â
Lola sedih, karyanya hanya tersimpan di lemari kaca. Di jurnal jurnal lmiah. Tak hanya karyanya. Ada ribuan hasil penelitian bernasib sama. Penelitian di Indonesia masih mengejar output. Yang penting selesai. Dapat biaya penelitian. Bukan outcome, hasilnya bisa dipraktekan. Bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Kebanyakan peneliti tak peduli dengan outcome. Sudah dibayar dan masuk jurnal. Ya sudah. Apalagi pemerintah. Tidak terlalu memikirkan follow upnya. Yang penting didanai risetnya. Titik.
Lola tidak suka hasil penelitiannya hanya jadi pajangan. Pernah Ia minta pimpinan LIPI Â menekan instansi pemerintah terkait. Implementasikan hasil pertanian. Apalagi hasil penelitian Lola mendapat Award Internasional. Dunia sudah mengakui. Implementasinya kosong. Sang pimpinan berjanji. Berjuang menyampaikan aspirasi. Tak lama kemudian dia malah diganti.
Lola sedih. Meski dana dari APBN besar. Namun hasilnya tak dirasakan rakyat. Dia tak banyak menikmati. Tiga Adiknya kuliah. Biayanya besar sekali. Semua dia yang menanggung. Untuk kebutuhan sendiri Lola mengalah. Demi pendidikan adiknya. Karena pendidikan dapat mengubah nasib.Â
Lola tinggal di kos kosan di Pasar Minggu. Jakarta. Kos-kosan murah tanpa AC. Tiap hari dia naik Kopaja ke LIPI. Kadang ojek online. Kalau buru-buru. Rela berdesakan-desakan di angkutan umum. Keringetan  dan tak nyaman. Makan pun sederhana. Di warteg.
Jika dana penelitiannya di tabung. Cukup buat beli rumah dan mobil.  Pakaian  bagus. Tapi tidak dilakukannya. Dia ingin memberi legacy pada keluarganya, pada negaranya. Baginya kehidupan pribadinya tidak penting. Bukan konsumsi publik.
Usia nya sudah matang. Belum menikah. Lebaran sebelum pandemi ia pulang ke Solo. Sang Ibu  mewanti wanti agar Lola segera menikah. Bahkan sang Ibu sudah mencarikan jodoh. Anak temannya seorang pengusaha kaya. Duda. Tapi Lola menolak.
Sudah banyak yang menawarkan kenalan ke Lola. Dari teman, kerabat keluarga, dan kolega. Tapi Lola selalu menanggapi enteng. "Kalau sudah jodoh nanti juga ketemu," ujar Lola. Itu saja jawabnnya. Dari lebaran ke lebaran. Tidak berubah. Konsisten.
***