Mohon tunggu...
Zaini K. Saragih
Zaini K. Saragih Mohon Tunggu... Dokter - dr. Zaini K. Saragih Sp.KO

Dokter spesialis olahraga, praktek di beberapa rumah sakit di Jakarta. Mantan dokter timnas dan komite medis PSSI. Saat ini sebagai chairman Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) dan Indonesia representative board SEARADO (South East Asian Ragional Anti Doping Organization)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

"Non Compliant Doping". Artinya (Rusia) Tidak Boleh Ikut Olimpiade

6 Desember 2017   20:16 Diperbarui: 6 Desember 2017   20:45 2376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.kolotv.com

Belakangan ini dunia olahraga prestasi (di bawah IOC) mengalami kehebohan terkait fenomena pelarangan bertanding akibat pelanggaran doping. Pada olimpiade Rio 2016, atlet Rusia dilarang bertanding, minggu ini IOC kembali mengeluarkan larangan bertanding bagi atlet Rusia di olimpiade musim dingin Pyongchang 2018. 

Agar tidak merugikan atlet, IOC membuat pengecualian bagi atlet yang berlatih diluar sistem pemerintah Rusia, dapat mengikuti olimpiade secara independen (tidak mewakili negara). Ini artinya Rusia sudah 2 kali diberikan sanksi larangan mengikuti Olimpiade karena masalah doping.

Keputusan IOC ini merupakan kasus lanjutan dari temuan skandal doping tahun 2016. Setelah olimpiade Rio, WADA sudah memberikan berbagai langkah yang harus dilakukan pemerintah Rusia (dalam hal ini RUSADA -- organisasi pengawasan doping Rusia), sayangnya upaya tersebut masih belum memuaskan, sehingga Rusia dianggap sebagai negara yang tidak patuh terhadap kode anti doping dunia (non compliant to World Anti-Doping Code), konsekuensi non complaint adalah tidak dapat mengikuti kompetisi Internasional dan tidak dapat menjadi tuan rumah event olahraga internasional. 

Kejadian ini sebenarnya mempermudah saya untuk menjawab pertanyaan, bagaimana jika Indonesia (LADI) dijatuhi hukuman non compliant, seperti yang terjadi akhir tahun 2016. Program pengawasan doping bukan seperti program high performance, yang menyita perhatian publik, namun kegagalan program pengawasan doping akan menjadi fatal, medali dicabut, mematikan karir atlet atau bahkan negara dapat dilarang mengikutkan atletnya dalam kompetisi internasional.

Scandal doping di Rusia, menjadi peristiwa besar karena proses pelanggaran doping dilakukan secara masif, terstruktur dan sistematis, dengan melibatkan organisasi pengawasan doping (Rusada), laboratorium anti doping serta kementrian olahraga Rusia. Kejadian yang mirip seperti ini sebetulnya disinyalir terjadi di beberapa negara lain di dunia. Seperti pengakuan seorang dokter China (Xue Yinxian) tentang doping sistematis di China sekitar tahun 80-90-an, WADA sedang melakukan investigasi tentang hal ini.

Kenapa ini terjadi? Dunia olahraga memiliki sifat sportif, jujur dan adil, namun olahraga juga telah menjadi propaganda politik di berbagai negara. Dengan olahraga yang berprestasi seolah-olah menunjukkan supremasi negara tersebut atas negara lain. Selain itu di dalam negeri, prestasi olahraga internasional juga seakan-akan meyakinkan rakyat bahwa kebijakan pemerintah telah berjalan sangat baik sehingga mampu unggul dibanding negara lain. Dulu semasa perang dingin jelas sekali persaingan ini terlihat antara negara blok timur dan blok barat.

Yang menjadi pertanyaan, dengan adanya WADA, bagaimana sistem yang ada saat ini sehingga dapat terjadi upaya manipulasi dalam pengawasan doping. Tugas sports science adalah mengupayakan peningkatan performa fisik manusia, baik itu berupa cara/teknik atau bahan (substrat). Namun keterbatasan etika penelitian mengakibatkan banyak upaya tersebut hanya menjadi ilmu teori atau mungkin berkembang di laboratorium dicobakan pada hewan coba. 

Tapi jika kondisi keilmuan tersebut bertemu dengan kepentingan politis, maka muncullah manipulasi ilmiah sehingga upaya tadi secara diam diam diuji cobakan kepada atlet. Setiap temuan baru, jika tidak ada dalam kelompok larangan WADA, tidak dikategorikan sebagai doping, kecuali ditemukan bukti upaya tersebut meningkatkan performa fisik, sehingga kemudian akan dimasukkan dalam daftar terlarang. Itulah sebabnya WADA selalu meng-update daftar terlarang setiap tahun.

Walaupun belum ada penelitiannya, namun saya menduga bahwa jika sports science di suatu negara berkembang dengan pesat, sistem pengawasan dopingnya pasti juga ikut berkembang. Kedua hal ini selalu berjalan beriringan. Jika melihat negara kita, selama ini pengawasan doping nyaris tidak berkembang, yang mengindikasikan sports science di Indonesia juga tidak berkembang. Melihat begitu banyaknya pusat pendidikan olahraga baik swasta maupun negeri, hal ini menyedihkan. 

Apa yang diteliti ilmuan olahraga kita?  Atau apakah ada gap antara dunia sports science dengan dunia olahraga praktis. Sederhananya jika kita lihat dunia kedokteran, dengan banyak pusat pendidikan kedokteran (swasta dan negeri) kiprah mereka cukup diakui di dunia Internasional, dan banyak hasil penelitiannya yang digunakan di praktek sehari-hari, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Yang terjadi saat ini, menurut hemat saya, karena kebijakan olahraga kita nyaris tidak terstruktur dan tidak sistematis. Kebijakan yang dijalankan hanya berifat copy paste dan ad-hoc, dengan program jangka pendek. Akibatnya secara keseluruhan kita dapati dunia olahraga kita nyaris tidak berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun