Mohon tunggu...
Dr.Jody Antawidjaja
Dr.Jody Antawidjaja Mohon Tunggu... Dosen - Doktor Ilmu Hukum dan profesi Akuntan, dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi serta pengamat sosial, sastra dan seni budaya

Penggiat Hukum Pajak, Ekonomi, Teater dan Sastra yang diawali sebagai aktivis Teater dan Sastra Bulungan yang terjebak sebagian besar waktunya sebagai birokrat dan dosen.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Reformasi Sistem PPN yang Menjadi Heboh, dari Pajak Regresif Menuju Multitarif demi Keadilan Distributif

14 Juni 2021   11:30 Diperbarui: 14 Juni 2021   11:59 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok; Dr. Jody Antawidjaja

Masalah niat pemerintah dalam pengajuan RUU KUP yang ingin mengubah sistem pemungutan PPN ini, seyogyanya pemerintah perlu mengelaborasi grand designnya  secara holistik agar  tidak menjadi isu liar  yang justru menjadi isu kepentingan politik.

Masalah pajak,  harus selalu dipedomani bahwa ruh pajak itu adalah keadilan, yang merupakan asas terpenting dalam pemungutan pajak. Hal ini diejawantahkan dari fungsi pajak yang salah satunya sebagai redistribusi pendapatan. Apapun policy yang akan ditempuh dengan pajak ini harus dikaitkan dengan neutralitas sebagai karakteristik PPN berikut  sifatnya yang regresif sebagai kelemahan pajak ini.

Regresif (Tarif tetap atau tarif Regresif adalah Tarif Pajak yang nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya.)  Artinya, dengan menggunakan tarif tunggal pajak ini proporsional terhadap konsumsi seseorang, tetapi juga regresif terhadap penghasilan tahunan seseorang. Dalam arti, semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang akan semakin rendah porsi PPN yang dibayar. Hal ini sudah barang tentu akan mengusik rasa keadilan. Sebaliknya, bila menerapkan multitarif sebagai upaya untuk mewujudkan rasa keadilan yang distributif, maka netralitas yang menjadi karakteristik dan superioritas pajak pertambahan nilai inipun akan berkurang.

Itulah sebabnya beberapa negara yang mengoperasikan pajak ini menempuh cara: bahwa atas Barang Kena Pajak tertentu yang hanya dikonsumsi kelompok warga tertentu selain dikenakan PPN dikenai juga tambahan pajak lainnya sebagai pembeda. Di Indonesia tambahan atas jenis barang klasifikasi mewah dikenal dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).

Dalam draft RUU KUP, sembako mulai dari beras hingga gula konsumsi dihapus dalam daftar barang yang dikecualikan dari pemungutan PPN.  Beberapa aspek yang  jadi pertimbangan pemerintah adalah termasuk soal besaran belanja pajak (tax expenditure) dari pengecualian PPN. Dari laporan belanja perpajakan yang dirilis tahun lalu, diketahui bahwa belanja pajak dari kebijakan pengecualian PPN adalah sebesar Rp 73,4 triliun pada 2019, atau sekitar 29 persen dari seluruh total belanja pajak Indonesia. Hal ini juga mempertimbangkan rekomendasi OECD, World Bank, dan IMF yang merekomendasikan Indonesia untuk bisa mengurangi jumlah barang/jasa yang dikecualikan dari PPN. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi  broadening tax base.

Keberpihakan pemerintah kepada masyarakat bawah khususnya atas keterjangkauan barang kebutuhan pokok dapat dilakukan melalui dua alternatif, yaitu

  • pengecualian PPN yang berisiko memiliki potensi alokasinya tidak tepat sasaran karena atas barang yang sama juga dinikmati oleh kalangan menengah-atas, disatu sisi, dan disisi lain adalah
  • keberpihakan bisa dilakukan melalui belanja, yaitu subsidi maupun bantuan sosial atau program lainnya.

Sedangkan Bantuan sosial pemerintah yang dipastikan akan dicairkan pada tahun ini meliputi program sembako, bantuan pangan ton tunai (BNPT), bantuan sosial tunai, kartu prakerja, hingga subsidi token listrik. Khusus program sembako dan BNPT saja, pemerintah menargetkan penerima bantuan ini siap disalurkan selama periode Januari sd Desember 2021 hingga 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan alokasi anggaran Rp 45,12 triliun. Bantuan yang lain adalah Program Keluarga Harapan dengan anggaran Rp 28,71 triliun untuk 10 juta keluarga penerima, Program Bantuan sosial Tunai dengan anggaran sebesar Rp. 12 triliun untuk 1,2 juta penerima..

Konsumen barang-barang tersebut memiliki daya beli yang jauh berbeda, sehingga fasilitas PPN tidak dikenakan atas barang/jasa tersebut memicu kondisi tidak tepat sasaran. Orang yang mampu bayar justru tidak membayar pajak karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN.

Sebagai informasi, diketahui bahwa beberapa negara juga diketahui melakukan penataan ulang sistem PPN baik melalui perluasan basis pajak serta penyesuaian tarif. Paling tidak terdapat 15 negara yang menyesuakan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4 persen. Sementara, tarif PPN di Indonesia cenderung lebih rendah, yakni 10 persen.

Demikian pula halnya atas perlakuan pengecualian PPN di Indonesia yang terlalu banyak dan bisa dinikmati semua orang membuat penerimaan PPN tak optimal. Indonesia merupakan negara dengan fasilitas pengecualian terbanyak sehingga kadang distortif dan tidak tepat dibandingkan pengecualian pajak yang ada pada berbagai negara seperti Thailand, Singapura, India, dan China.

Di Thailand misalnya, pengecualian hanya diberikan untuk properti tempat tinggal, logam berharga, barang untuk keperluan investasi, jasa keuangan, dan sewa properti tempat tinggal. Beda lagi dengan China yang hanya memberikan pengecualian di Zona Ekonomi Spesial. Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Yang mampu membayar pajak tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun