Mohon tunggu...
Dr.Jody Antawidjaja
Dr.Jody Antawidjaja Mohon Tunggu... Dosen - Doktor Ilmu Hukum dan profesi Akuntan, dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi serta pengamat sosial, sastra dan seni budaya

Penggiat Hukum Pajak, Ekonomi, Teater dan Sastra yang diawali sebagai aktivis Teater dan Sastra Bulungan yang terjebak sebagian besar waktunya sebagai birokrat dan dosen.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Untuk Maju, Negara Perlu UU Omnibus Law, Jangan Biarkan Terjebak dengan Kepanikan Pandemi dan Gangguan Oportunis

27 Oktober 2020   10:49 Diperbarui: 27 Oktober 2020   11:07 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Tb. Djodi R. Antawidjaja | dok. pribadi

Banyak jebakan di hutan. Jebakan yang dibuat pemburu untuk binatang buruannya. Jebakan banyak tidak hanya dihutan, di kota juga tidak kalah banyak. Jebakan copet didalam bus kota oleh kelompok pencopet, dengan satu pencopet menjebak korban untuk tidak sadar kalau dompetnya dikutit pencopet temannya. Atau jebakan ranjau darat disaat perang. Yang jelas, jebakan dibuat untuk sang korban terlena dan tidak waspada, seakan keadaan aman dan biasa saja. 

Ada satu istilah lagi, yang disebut jebakan kelas menengah atau disebut middle income trap juga semakin banyak dibahas. Jebakan kelas menengah (middle income trap) adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Indonesia kuatir kena jebakan itu dan pada posisi sudah dibibir lubang jebakan, begitulah kira-kira.

Negara yang masuk ke dalam kategori jebakan pendapatan kelas menengah akan kehilangan keunggulan kompetitif mereka dalam mengekspor barang-barang jadi karena harus membayar biaya produksi dan investasi plus biaya transaksi serta biaya agensi lain yang tinggi dan melelahkan. 

Pada saat yang sama, negara ini tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan negara-negara maju di pasar dengan nilai tambah yang tinggi. Akibatnya, negara-negara yang baru saja terindustrialisasi (seperti Afrika Selatan dan Brasil) belum keluar dari kelompok pendapatan menengah selama beberapa dasawarsa karena produk nasional bruto per kapita mereka tersangkut dalam kisaran $1.000 hingga $12.000. Negara-negara ini menghadapi masalah berupa investasi yang rendah, pertumbuhan industri sekunder yang lambat, diversifikasi industri yang kurang dan kondisi lapangan kerja yang buruk.

Presiden Joko Widodo dalam pelantikannya sebagai presiden terpilih periode 2019 - 2024 setahun yang lalu telah menyampaikan, bahwa kita punya potensi untuk dapat keluar dari jebakan penghasilan menengah. Diyakini, melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Indonesia bisa terlepas dari jebakan kelas menengah, dan untuk meningkatkan dan mengentaskan Indonesia dari middle income trap, Indonesia akan bisa menjadi negara yang efisien, regulasinya simpel, dan memberi kesempatan rakyat untuk berusaha secara mudah.

Selang sehari setelah RUU Ciptaker di ketok palu oleh DPR, reaksi beberapa lembaga luar negeri memberi respon positif pada Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR. Reaksi dunia terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ternyata cukup menggembirakan. Seakan memberi sinyal bahwa upaya Indonesia dalam menarik investor luar diartikan sebagai keberanian negara ini dalam menutup jalan para opportunis dan 'tukang palak' disetiap proyek investasi sebagaimana layaknya hambatan rent seeker yang biasa terjadi di negara berkembang.

Beberapa reaksi pujian di antaranya adalah Moody's, Bank Dunia, Fitch Rating, dan Asia Development Bank (ADB). Seluruh lembaga asing tersebut pun memuji langkah pemerintah Indonesia yang membuat peraturan tersebut dengan melihat adanya perubahan yang positif atas sejumlah permasalahan yang dihadapi Indonesia selama ini, terutama soal regulasi yang berbelit. 

Bank Dunia menilai UU ini mampu membantu menarik investor, menciptakan lapangan kerja, dan memerangi kemiskinan. Mereka juga berharap aturan teknis yang memadai dapat memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Dunia meramalkan pemulihan ekonomi dan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Selain itu, tiga pengelola dana global yakni Morgan Stanley, JP Morgan, dan CGS-CIMB juga menganggap UU Cipta Kerja bisa berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Mereka menyatakan aturan ini bisa menghasilkan kebijakan moneter yang lebih kuat, inflasi stabil, penurunan struktural suku bunga, percepatan infrastruktur, hingga mendorong usaha kecil.

Pandangan beberapa lembaga internasional terhadap UU Cipta Kerja ini melihat suatu harapan yang positif untuk recover dan perkuatan ekonomi secara sustainability.  Rata-rata institusi yang bergerak dalam sektor bisnis merespons baik UU ini, dan pandangan dari sejumlah lembaga asing tersebut membuat sinyal positif atas UU Cipta Kerja, tetapi di sisi yang lain justru mendapat penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia, padahal ini akan bisa berdampak positif terhadap konsolidasi fiskal, dan undang-undang ini akan membawa perubahan nyata. 

Ironisnya, massa yang menggelar demo besar-besaran dengan dana penyelenggaraan demo yang tidak sedikit yang terjadi di negeri ini justru menjadi sangat mengganggu niat mulia pemerintah dalam mengentas status negara ini menjadi negara yang lebih terhormat dan keluar dari status negara yang berpenghasilan menengah. 

Dampak yang diharapkan para 'bowheer' demo jelas dapat diterka, bahwa demo yang akan digelar diharapkan akan menjadi berita besar keseluruh dunia, agar dunia internasional jangan lagi percaya kepada pemerintah Indonesia yang sah saat ini, menakut-nakuti para investor papan atas dalam menginvestasikan dananya ke Indonesia, juga niat pihak tertentu untuk membuat perekonomian menjadi turbulence, rush serta secara ekstrim berpeluang mengganti pemerintahan, yang pada gilirannnya para donatur demo tentunya ingin mendapatkan kekuasaan, maupun mempertahankan cara koruptif masa keemasan orde baru sebagaimana hasil ladangnya sebelum jaman transparansi seperti saat ini. Ibarat perang, musuh memanfaatkan momentum menyerang negara yang sedang kena musibah penyakit menular dan berharap gampang ditundukkan mumpung lagi lemah fisik dan ekonominya. 

Tujuan inti Omnibus Law adalah menarik investor dunia serta menuju perekonomian negara yang kompetitif, dengan menyasar pada tiga hal besar, yaitu UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Undang-undang ini diharapkan dapat memperkuat kebijakan moneter, inflasi yang relatif stabil, dan dapat mempercepat belanja infrastruktur. Tujuan utama dibentuk dan disahkannya undang-undang ini adalah agar penanaman modal asing dapat berjalan lebih lancar dan makin bertambah dengan kebijakan fiskal yang lebih akomodatif, kompetitif  dan berkeadilan. 

Masih ingatkan kisah kunjungan 33 pengusaha multinasional yang keluar dari China mau merelokasikan investasinya akibat perang dagang Amerika-China pertengahan tahun lalu? Ini sangat mengecewakan, karena kunjungan mereka ke Indonesia saat itu tidak satupun yang balik lagi. Sebanyak 23 memilih berinvestasi ke Vietnam, dan 10 lainnya memilih ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. 

Artinya, tak ada satu pun dari 33 perusahaan yang melirik untuk berinvestasi ke Indonesia. Sebagian besar memilih berinvestasi di Vietnam dengan alasan investasi di Indonesia proses perizinannya yang rumit, waktu yang panjang, dan tarif pajak yang mahal, dengan skor Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha yang tidak mendukung. 

Kemudahan berusaha di Indonesia masih kalah karena jumlah prosedur yang harus dilalui mencapai 10 buah dengan waktu rata-rata 19,6 hari. Sedangkan Vietnam sudah mampu mencapai perizinan dengan 8 prosedur saja selama 17 hari. Tarif Pajak Penghasilan di Vietnam tahun lalu 20% dan per 1 juli 2020 yang lalu Vietnam menurunkan tarif PPh nya menjadi 15-17%. Sedang di Indonesia, tahun itu masih di tarif 25%, dan baru tahun ini dan tahun depan mulai turun ke 22%, yang selanjutnya 20% mulai tahun 2023.

Konsep Reformasi Perpajakan amandemen ke enam sejak tahun 1983 memang telah lama masuk prolegnas untuk dibahas tersendiri. Tapi momentum Omnimbus Law sudah melebur beberapa substansi dalam RUU khusus Omnibus Law Perpajakan yang rencana awalnya dibuat berdiri sendiri  ke dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sekarang. 

Bahkan, mengingat perlunya kecepatan dan dinamika pengesahan UU sesuai dengan kepentingannya, beberapa poin penting RUU Omnibus Law Perpajakan sudah masuk dalam Perpu No. 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU No. 2/2020. Sisanya, ditampung dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Begitu juga isu penting dalam RUU Omnibus Law Perpajakan mengenai penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, yang kemudian menjadi 20% untuk tahun 2023 telah masuk dalam UU No. 2/2020. Pemajakan terhadap aktivitas ekonomi digital juga sudah masuk di dalam UU tersebut, sehingga dalam RUU Omnibus Law Perpajakan, hanya mengubah 4 hal pengaturan pokok yaitu peningkatan daya tarik investasi, keadilan dan kesetaraan berusaha, kualitas sumber daya manusia, dan kepatuhan pajak sukarela yang seluruhnya masuk pada klaster 5, Kemudahan Berusaha, pada Bab VI bagian ketujuh. 

Undang-Undang Omnibus Law merupakan momentum Indonesia keluar dari jebakan negara kelas menengah. Reformasi di bidang perpajakan sudah jadi keniscayaan untuk bergulir. Arah kemudi sudah saatnya berubah. Dimensi fungsi pajak yang biasanya lebih banyak ke fungsi penerimaan negara yang optimal (budgeter), untuk mendanai belanja negara, kali ini lebih kearah fungsi mengatur (regulerend) yang banyak berperan dalam kondisi mengutamakan stimulus ekonomi sekaligus juga menghadapi masa pandemi, sehingga tidak lagi memaksakan penerimaan pajak yang optimal. 

Tak kurang dari Dirjen Pajak yang memperkirakan berbagai kebijakan insentif pajak yang semula akan diatur dalam omnibus law perpajakan, akan memangkas penerimaan negara lebih dari 80 triliun. Klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan berpengaruh pada penerimaan negara tahun ini, Namun, kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha yang dapat berdampak positif pada penerimaan pajak dalam jangka panjang. Kemudahan dan kepastian berusaha, adalah kunci bagi investasi dan daya saing Indonesia. Secara tidak langsung, ini akan menjadi kunci perluasan basis pajak.

Omnibus Law Cipta Kerja dibidang perpajakan merevisi empat undang-undang  yakni aturan terkait Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak dan Retribusi Daerah.

Revisi UU PPh antara lain dilakukan pada pasal 2 terkait subjek pajak luar negeri. Pemerintah mengubah rezim perpajakan wajib pajak orang pribadi dari worldwide income tax system menjadi teritorial.

Warga Negara Asing yang tinggal lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan menjadi subjek pajak luar negeri, sedangkan WNI yang berada di luar Indonesia dalam periode yang sama serta memenuhi sejumlah persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri. Keistimewaan diberikan pemerintah pada WNA yang memiliki keahlian tertentu yakni dengan memberikan insentif pembebasan PPh selama empat tahun sejak ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri. Insentif bagi tenaga ahli asing itu diberikan dalam rangka menggenjot investasi (Pasal 4 UU PPh).

Langkah lain juga dilakukan pemerintah dengan memberikan pembebasan PPh untuk dividen dari dalam negeri maupun luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia. Namun, khusus dividen dari luar negeri, penghapusan pajak dilakukan jika investasi paling sedikit mencapai 30% dari laba setelah pajak dan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tak diperdagangkan di BEI.

Poin-poin tersebut masuk dalam perubahan pasal 4 terkait objek pajak yang dikecualikan. Selain dividen, penambahan objek PPh yang dikecualikan mencakup setoran dana haji dan dana yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji, serta sisa dana lebih lembaga sosial dan keagamaan. Ketiga lembaga tersebut kini dibebaskan dari pembayaran PPh.

Tak hanya memberikan insentif, pemerintah meringankan sanksi dan denda perpajakan dengan mengubah sejumlah pasal dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sanksi administrasi atas keterlambatan pembetulan dan penyetoran pajak diubah dari sebesar 2% per bulan menjadi suku bunga acuan BI ditambah 5% dibagi 12 bulan. Dengan suku bunga acuan BI saat ini sebesar 4%, maka bunga atas sanksi administrasi menjadi 1,5% per bulan dari total kurang bayar pajak. (Pasal 8 UU KUP)

Di sisi lain, ketentuan imbalan bunga atas keterlambatan pembayaran pengembalian pajak yang harus dibayar pemerintah juga diturunkan dari 2% per bulan menjadi suku bunga acuan dibagi 12 bulan. Dengan kondisi suku bunga saat ini, maka imbahan bunga turun menjadi 0,33% per bulan. (Pasal 11 UU KUP).

Denda yang lebih ringan juga diberikan pemerintah pada ketentuan terkait pasal penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam pasal 44B UU KUP, Menteri Keuangan Sri Mulyani dapat meminta Jaksa Agung menghentikan penyidikan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan. Namun, penghentian penyidikan dapat dilakukan jika wajib pajak melunasi utang atau kurang bayar pajak ditambah dengan denda empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Dalam omnibus law, besaran denda dipangkas menjadi tiga kali dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Upaya pemerintah untuk membantu pengusaha dalam bidang perpajakan tak sampai di situ. Ketentuan pajak daerah yang selama ini menjadi momok bagi para pengusaha turut diatur dalam omnibus law.

Pemerintah menyelipkan satu bab terkait kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi dalam pasal 114 UU Cipta Kerja yang mengatur sejumlah ketentuan perubahan pada UU Nomor 28 Tahun 2009. Dalam bab tersebut, pemerintah pusat dapat mengatur tarif pajak dan retribusi daerah sesuai dengan kebijakan fiskal nasional.

Evaluasi juga akan dilakukan pemerintah pusat pada peraturan daerah terkait PDRB untuk menguji kesesuaikan antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kebijakan fiskal nasional. (Pasal 156A UU PDRD)

Sementara itu, revisi dalam UU PPN dan PPnBM, mencakup pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan untuk setoran modal pengganti saham. Kemudian pengkreditan barang dan/atau jasa dan/atau ekspor kena pajak, pajak masukan atas perolehan barang kena pajak, impor barang kena pajak, serta pemanfaatan barang kena pajak di luar dan dalam daerah pabean. (Pasal 9 UU PPN/PPn.BM)

Pemerintah saat ini sedang dapat ujian yang cukup berat. Perjuangannya dalam mengangkat derajat Indonesia menjadi negara yang terhormat dan sejajar dengan negara maju cukup berat. Ibarat bekerja siang dan malam dengan kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala jadi niscaya, apalagi para pengganggu yang tidak ingin melihat negara ini maju, para cukong politik sangat bernafsu ingin mengganjal upaya pemerintah ini. Lawan tidak menduga dimasa pandemi yang sulit ini pemerintah masih menggunakan jurus gemilang omnibus law yang seharusnya jurus bertahan dari kesulitan ekonomi. 

Pemerintah masih percaya dan yakin bahwa kita pasti bisa keluar sebagai pemenang, bisa menata ulang perekonomian, dan masih melihat prediksi PDB kita yang masih bisa lebih besar lagi, dan celah Tax Gap kita masih cukup besar, artinya masih terdapat potensi atau peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak yang masih besar. 

Menurut penelitian Mc Kinsey, total potensi penerimaan yang belum dapat tergali di Indonesia adalah sebesar 123 hingga 185 triliun rupiah. Tax gap ini berasal dari PPh Orang Pribadi sebesar 50%, PPh Badan dan PPN sebesar 20-30%. Menurut data Susenas Tax gap antara Potensi PPh OP, serta PPN dan PPnBM dengan realisasi saat sebelum pandemi juga cukup besar, sedangkan pada periode 2008 sd 2011 tax gap ratio cenderung konstan.

Meminjam istilah Dahlan Iskan, mudah-mudahan Bus Omni sampai ke terminal berikutnya dengan selamat diperjalanan. Selamat dari preman-preman terminal seperti preman khusus yang tugasnya mencopet penumpang, ada yang menyedot bensin, maupun yang memalak sopir. Banyak yang butuh uang menjelang pilkada. Bila aman, tak pelak lagi, periode kedua kepresidenan Jokowi ternyata benar-benar untuk membenahi hukum. Dan membangun terminal. Inshaa Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun