Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Fenomena Menyontek akan Abadi?

9 Januari 2023   22:42 Diperbarui: 13 Januari 2023   09:29 1755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi viral sejumlah siswa mengenakan topi anti-menyontek selama ujian perguruan tinggi di Filipina. Foto: Twitter/FAUZA4IR via Kompas.com

Salah seorang guru berkeluh kesah, " Mengapa nilai ujian si X lebih besar dari nilai ujian si Y?". Kebingungan tersebut terjadi karena menurutnya, si X lebih rajin dan cenderung lebih paham dalam pembelajaran sehari-hari. Sedangkan Y menurutnya memiliki pemahaman yang jauh lebih rendah jika dibanding si Y.

Dugaan penyebab dari kebingungan seorang guru tersebut tak lain adalah "mencontek" atau dalam penulisan bakunya yaitu menyontek. Kebiasaan menyontek dapat dikatakan sebagai tindakan curang, karena menjawab pertanyaan atau soal ujian di luar cara berpikirnya sendiri.  

Kenyataan tentang perilaku menyontek menegaskan bahwa penilaian memang tak mungkin dilakukan hanya sekali waktu, apalagi hanya ketika ujian. Belum lagi, cara menyontek siswa yang makin "ajaib".

Kini menyontek bukan hanya dapat dilakukan dari siswa kepada siswa, namun juga dari mesin pencari digital, dengan mengucap keyword pertanyaan kepada "google", opsi jawaban pun bermunculan. Bahkan, untuk sekedar memberi jawaban "refleksi" ( opini pribadi) saja terkadang ada saja siswa yang melihat dan menyalin jawaban dari google.

Fakta tersebut bertambah miris jika mengingat ratusan peserta ujian CPNS melakukan kecurangan dengan cara yang begitu canggih. Tercatat 359 peserta CPNS didiskualifikasi karena melakukan kecurangan.

Sebagaimana kabar dari kompas.com, Selasa (26/4/2022), bahwa "modus operandi yang dilakukan para pelaku adalah dengan menggunakan aplikasi remote access pada pelaksanaan seleksi dengan Computer Assisted Test (CAT). "  Selain itu, perangkat khusus bernama "micspy" yang disembunyikan dibalik baju peserta juga bagian dari cara curang dalam mengerjakan soal ujian.

Kita, sebagai guru, boleh saja mengira kalau penyebab dari perilaku menyontek adalah karena  siswa memiliki level kognitif yang pemahamannya kurang atau dibawah standar. 

Selain itu, siswa yang menyontek juga cenderung tidak menghargai kemampuan diri sendiri atau tidak percaya diri sehingga ia takut salah. Namun kita harus melihat kemungkinan lain, bahwa jangan-jangan perilaku menyontek bukan sekedar berkaitan dengan level kognitif maupun kepercayaan diri, namun juga karena kebiasaan sejak masih kecil.

Penelitian tantang fenomena menyontek 

Fakta siswa menyontek sejak sekolah dasar dapat kita temukan pada penelitian-penelitian di luar Indonesia. Fenomena kecurangan atau menyontek ketika ujian ini rupanya telah terjadi sejak lama dan bahkan tidak hanya di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh Ann Bushway dan William R. Nash dari Texas A&M University, tahun 1977, dalam makalah penelitian berjudul School Cheating Behavior.

Makalah tersebut merupakan hasil studi kepustakaan, berisi analisis penelitian dari lintas era ( tahun ke tahun), yang berkaitan dengan latar belakang penyebab perilaku menyontek.

Hampir semua penelitian yang dianalisis oleh Ann Bushway dan William R itu menyatakan bahwa tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi, atau tekanan secara administratif baik dari instansi pendidikan, guru atau orang tua,  menyebabkan banyak siswa menyontek.  

Alat anti menyontek di Thailand (Sumber: Kompas.com)
Alat anti menyontek di Thailand (Sumber: Kompas.com)

Misalnya, penelitian di tahun 1965 yang dilakukan Cornehlsen terhadap 200 siswa sekolah menengah atas ( SMA), yang melaporkan bahwa 33% siswa perempuan dan 55% siswa laki-laki merasa harus menyontek ketika kesuksesan atau "keberhasilan hidup" mereka terancam.

Kebiasaan curang dalam ujian itu rupanya sudah terjadi sejak usia dini. Dalam penelitian terkait di tahun 1969,  melaporkan data sekitar 24% anak perempuan dan 20% anak laki-laki mengakui bahwa mereka mulai menyontek sejak kelas satu SD. 

Selain itu, 17% anak perempuan dan 15% anak laki-laki mulai di kelas delapan (SMP), dan 13% anak perempuan dan 9% anak laki-laki mulai menyontek sejak duduk di kelas tujuh ( SMP). Bahkan tercatat pula sekitar 40% kecurangan dalam ujian terjadi di kalangan mahasiswa pascasarjana.

Kecurangan menjadi solusi atas nama keberhasilan

Saya tidak tahu apakah hal serupa juga terjadi di Indonesia. Jika fenomena menyontek ini adalah habbit atau kebiasaan sejak kecil ini, lantas bagaimana solusi mengatasi perilaku curang terhadap siswa yang sudah dewasa?

Terkait semua penyebab tadi, strategi untuk mengatasi kecurangan atau perilaku menyontek sudah dilakukan. Sebagaimana yang dikutip Ann Bushway dan William R. Nash dari penelitian tahun 1970, bahwa lima strategi pengondisian telah dilakukan.

Kondisi pertama, membangun kondisi "kontrol" dengan memberi instruksi ujian secara langsung di kelas.  

Kondisi kedua, sosialisasi atau pemberitahuan untuk menghargai nilai kejujuran. 

Kondisi ketiga, diskusi umum sebelum hari ujian, siswa dibangun kesadarannya untuk mendapatkan alasan  tepat untuk tidak menyontek di ujian nantinya.  

Kondisi keempat,  memberi ancaman hukuman yang relevan dengan test ( ujian). Kondisi kelima, memberikan ancaman hukuman yang tidak relevan sekalipun.

Temuan penelitian yang ada cenderung  menunjukkan bahwa perilaku menyontek tetap ada, atau belum dapat diatasi sepenuhnya. Lewat strategi pengondisian semacam itu hanya membuat peluang menyontek lebih kecil.  

Dalam hal ini, perilaku menyontek terkecil ada pada kondisi yang membuat  siswa merasa akan "tertangkap" atau ketahuan.

Penjelasan-penjelasan tersebut membuat pertanyaan muncul dalam benak, "apakah fenomena menyontek ini akan abadi? Khususnya dalam dunia pendidikan kita?"  Artinya, kecurangan ini sulit ditiadakan 100 %, jika kesadaran tentang kejujuran telah kalah dengan ketakutan akan gagal sejak siswa masih kecil.

Fenomena tersebut mirip dengan peribahasa" besar pasak dari pada tiang". Besar angan-angan keberhasilan berbanding terbalik dengan kemampuan, maka kecurangan menjadi solusi atas nama keberhasilan.

Marendra Agung J.W. 8-9 Januari 2023

Sumber literatur penelitian: Review of Educational Research Fall 1977, Vol. J7, No. J, Pp. 623-632. School Cheating Behavior. Ann Bushway William R. Nash, Texas A&M University. ( https://www.jstor.org/stable/1170002)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun