" Iya deh, Kakak!" jawab Qonia mengesankan canda. Marsul ketawa bahagia. Ini salah satu hal yang membuat Marsul menyukai Qonia. Sebab, Qonia selalu kekeh dengan kata sapaan itu. Wanita yang paham unggah-ungguh, pikir Marsul.
   " Acaranya sudah mulai dari tadi, Kak ?" Qonia menjeling setiap kali berbicara. Marsul membiarkan kaca helmnya terbuka, agar wajah ayu di dalam kaca spion itu lebih kentara. Marsul suka sekali memandangi mata bening Qonia.
  " Tenang Nia, masih panjang kok. Pertunjukan ebeg itu beda dengan kuda lumping yang keliling ke rumah-rumah." Sekuat apa pun Marsul menyetel lidahnya, betapa pun suaranya disaingi deru mesin kendaraan di sekitar, tapi logat bicara Marsul tetap nyata terdengar. Dialek itu selalu menimbulkan kesan lucu bagi Qonia..
  " Untung tanggal merah. Berasa di kebumen ya, Kak?" Qonia kembali melempar canda. Lagi-lagi Marsul ketawa bahagia. Semesta benar-benar mendukung, pikir Marsul. Sepanjang cempaka putih hingga kawasan industri, jalan raya tidak padat seperti biasanya. Mirip semester pendek yang berkekuatan lebih untuk nilai mata kuliah, perjalanan itu pun terasa singkat namun penuh makna di hatinya.
   Kain penutup corak batik mulai Marsul lucuti dari daun telinga, turun ke hidung, dan beringsut ke bawah dagu. Tidak peduli lagi soal polusi udara, ia hanya ingin leluasa bicara dengan wanita di balik punggungnya. Tema obrolan pun merambat kemana saja. Tentang perkuliahan, cita-cita, lagu kesukaan hingga makanan.
  "Nia, nanti setelah liputan kita makan pancong balap, yuk?" Marsul telah merencanakan suatu adegan di warung langganannya. Sedangkan Qonia tidak tahu, bahwa ada secarik kertas bersemayam di dalam kantung flanel pasar senen yang dikenakan Marsul.
***
   Panggung gembira dengan level setinggi lutut orang dewasa itu berdiri di samping tembok gudang pabrik. Di belakang panggung tersebut motor yang tidak enak dipandang itu berhenti.
 " Nanti wawancara Ibu Pri ya. Pembina komunitas ini."
 "  Iya Kak, Itu perlu banget buat data."
   Qonia menuju ke sebelah kiti panggung dan menemukan orang-orang duduk lesahan di dalamnya. Bapak-bapak sedang memainkan perangkat musik gamelan. Tiga wanita muda bersimpuh menyanyikan lagu. Tepat di hadapan panggung, berderet aneka sajian di atas meja panjang. Terlihat bergelas-gelas kopi hitam, dua ikat pisang, serta tumpukan kembang aneka warna. Sedangakan di sebelah kanan panggung terdapat permukiman warga. Tampak rombongan tim penari memadati sebuah rumah. Marsul baru saja pamit ke sana.