Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak "Ngeyel" dan Fenomena Iming-iming Ada Hantu

22 Juli 2019   20:15 Diperbarui: 22 Juli 2019   20:44 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar milik: Zayyid Husein A

Pada eksperimen itu, Whorf mengamati perilaku orang-orang kepada drum bensin di sebuah gudang.  Sebagian drum masih terisi penuh dengan bensin dan sebagian lainnya telah habis. Drum yang penuh bensin diberi tulisan "drum isi bensin", dan lainnya "drum kosong".

Whorf menemukan, bahwa orang-orang cenderung berhati-hati ketika berdekatan dengan drum bertuliskan "drum isi bensin", dan cenderung lupa untuk waspada ketika berdekatan dengan drum bertuliskan  "drum kosong" bekas bensin, yang sebenarnya uap pada drum bensin kosong ini berpotensi sebagai penyebab kebakaran.

Kesimpulan ekperimen tersebut berujung pada kemungkinan bahwa bahasa memiliki daya untuk menentukan perilaku.

Apabila posisi tulisan diubah, kemungkinan perilaku orang-orang di gudang tersebut akan berbalik . Atau, apabila drum dibiarkan tanpa tulisan maka perilaku orang di sekitarnya pun akan berbeda lagi.

Kembali ke ilustrasi kejadian awal, ketika sang anak malah menjadi rewel saat atau pun setelah pulang dengan iming-iming ada hantu, saya menduga itu  bentuk sederhana dari reaksi yang ia terima dari kalimat yang menyematkan kata hantu sebagai " subjek" penyebab sesuatu, yang terlampau sering ia dengar.

Seperti kalimat " awas ada hantu ayo pulang, "ayo mandi ada hantu lho", dan redaksi sejenisnya. Tentu didukung oleh pengantar tentang reputasi hantu yang sering kali orang  tua berikan kepada anak di rumah.

Selain itu, secara linguistik, anak pada usia ini belum mengerti konteks, simbol, konotasi, rayuan, atau maksud lain dari sebuah ungkapan. Input berupa kalimat yang ia dengar, bunyi dan maknanya secara harfiah ( apa adanya) akan masuk kedalam pikiran.

Maka, dalam fenomena ini sang anak benar-benar merasakan ada hantu, atau ancaman yang seolah-olah dari hantu.

Kalimat-kalimat tadi bisa saja memberi konotasi waspada, tapi bagi nalar yang telah siap. Untuk anak- anak usia berkembang tadi, yang bahkan belum memasuki usia sekolah, kalimat itu bisa jadi buruk.

Karena sang anak akan menerima makna statis " awas ada hantu", sebagai dorongan agar ia lekas pulang, karena ada sesuatu yang berbahaya untuk dirinya.

Artinya, persepsi sang anak sudah terisi dengan sosok yang patut ditakuti demi keselamatannya. Anak telah menangkap bahwa ada sesuatu di luar sana yang memiliki power lebih kuat darinya dan bahkan orang tuanya. Sayangnya, subjek atau pelaku dari penyebab rasa takut itu adalah "hantu".  Lalu boleh jadi outputnya secara tak sadar memengaruhi mental dan sikapnya kelak. Ini mungkin yang menyebabkan muncul sikap mengeyel anak kepada orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun