Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak "Ngeyel" dan Fenomena Iming-iming Ada Hantu

22 Juli 2019   20:15 Diperbarui: 22 Juli 2019   20:44 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar milik: Zayyid Husein A

Menjelang magrib di sebuah lingkungan tetangga, seorang anak umur 4 tahunan sedang merengek -rengek sambil menuntun sepedanya. Nampak mimik wajah kesal di wajahnya. Beberapa jenak sebelumnya, sang anak baru saja menerima ajakan dari orang tuanya,

" Awas ada hantu, ayo pulang  nak!"
"...  nanti diculik hantu lho!"

Berulang kali kalimat dengan nada serupa diterima sang anak tatkala ia keasikan bermain. Ajaibnya, sang anak menuruti ibunya dan pulang. Tapi gawatnya, selepas momen itu,  sang anak kerap kali bersikap sebaliknya. Menjadi rewel, mengeyel, dan  menolak apa yang dikehendaki orang tuanya.

Fenomena tersebut belakangan saya temui, dan rupanya banyak dari kawan saya yang juga lazim menyaksikan fenomena ini dengan adegan yang variatif. Lantas timbul pertanyaan di benak saya, apakah ancaman-ancaman orang tua dengan redaksi " ... ada hantu" berhubungan dengan anaknya yang cenderung jadi ngeyel ?     

Pertanyaan itu membawa saya pada psikolinguistik, yaitu ilmu interdisipliner yang mengakar pada psikologi ( ilmu kejiwaan/ mental) dan linguistik ( ilmu kebahasaan). Teori psikologi kognitif dari  Jean Pieget dan Hipotesis Sapir-Whorf kerap dijadikan landasan oleh para akademisi psikologi maupun linguistik untuk mengembangkan kajian di masing-masing bidang keilmuan.

Pada perkembangannya,  psikologi dan linguistik akhirnya dianggap mampu bekerja sama untuk memahami manusia.  Dalam asumsi, semacam lebah dan bunga, bahasa dan pikiran manusia merupakan dua hal yang saling memengaruhi. Sehingga, hubungan antara pikiran dan bahasa menghasilkan cara manusia dalam memandang dunia ( realita).

Kembali kepada ucapan " awas ada hantu" tadi. Menurut saya ada yang tidak tepat pada kalimat yang digunakan orang tua.  Sebab, secara kognitif di usia berkembang anak ( golden age) atau yang disebut Pieget dengan tahap Praoperasi ( setidaknya ketika anak berumur di bawah 7 tahun),  anak masih dalam tahap "menerima", dalam arti apa saja yang masuk akan langsung diserap tanpa penolakan ( kritik ).

Hal ini yang disebut Pieget dengan Perceptually bound, tatkala daya tangkap (pikiran) seorang anak sedang pada level yang terbatas, yakni apa yang dilihat atau didengar saja.

Apabila saya boleh berandai-andai, mungkin saja ketika  menuturkan " awas ada hantu ayo pulang", sang ibu telah menuntun anak untuk takluk hanya kepada hantu dan mempersilakan anak untuk  berani melawan orang tuanya atau (ngeyel).

Andaian ini berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf (Linguistic Determinisme), bahwa bahasa memiliki daya untuk mempengaruhi manusia, bukan hanya pada pikiran tapi sampai pada perilakunya.

Salah satu ekperimen yang memicu lahirnya hipotesis ini ialah ketika Whorf ( pengikut Sapir) menganalisis laporan tentang kebakaran. Pembahasan ini dapat ditemui di jurnal LINGUA, VOL 13, NO 2, 2016 ( Pusat Kajian Budaya Surakarta).

Pada eksperimen itu, Whorf mengamati perilaku orang-orang kepada drum bensin di sebuah gudang.  Sebagian drum masih terisi penuh dengan bensin dan sebagian lainnya telah habis. Drum yang penuh bensin diberi tulisan "drum isi bensin", dan lainnya "drum kosong".

Whorf menemukan, bahwa orang-orang cenderung berhati-hati ketika berdekatan dengan drum bertuliskan "drum isi bensin", dan cenderung lupa untuk waspada ketika berdekatan dengan drum bertuliskan  "drum kosong" bekas bensin, yang sebenarnya uap pada drum bensin kosong ini berpotensi sebagai penyebab kebakaran.

Kesimpulan ekperimen tersebut berujung pada kemungkinan bahwa bahasa memiliki daya untuk menentukan perilaku.

Apabila posisi tulisan diubah, kemungkinan perilaku orang-orang di gudang tersebut akan berbalik . Atau, apabila drum dibiarkan tanpa tulisan maka perilaku orang di sekitarnya pun akan berbeda lagi.

Kembali ke ilustrasi kejadian awal, ketika sang anak malah menjadi rewel saat atau pun setelah pulang dengan iming-iming ada hantu, saya menduga itu  bentuk sederhana dari reaksi yang ia terima dari kalimat yang menyematkan kata hantu sebagai " subjek" penyebab sesuatu, yang terlampau sering ia dengar.

Seperti kalimat " awas ada hantu ayo pulang, "ayo mandi ada hantu lho", dan redaksi sejenisnya. Tentu didukung oleh pengantar tentang reputasi hantu yang sering kali orang  tua berikan kepada anak di rumah.

Selain itu, secara linguistik, anak pada usia ini belum mengerti konteks, simbol, konotasi, rayuan, atau maksud lain dari sebuah ungkapan. Input berupa kalimat yang ia dengar, bunyi dan maknanya secara harfiah ( apa adanya) akan masuk kedalam pikiran.

Maka, dalam fenomena ini sang anak benar-benar merasakan ada hantu, atau ancaman yang seolah-olah dari hantu.

Kalimat-kalimat tadi bisa saja memberi konotasi waspada, tapi bagi nalar yang telah siap. Untuk anak- anak usia berkembang tadi, yang bahkan belum memasuki usia sekolah, kalimat itu bisa jadi buruk.

Karena sang anak akan menerima makna statis " awas ada hantu", sebagai dorongan agar ia lekas pulang, karena ada sesuatu yang berbahaya untuk dirinya.

Artinya, persepsi sang anak sudah terisi dengan sosok yang patut ditakuti demi keselamatannya. Anak telah menangkap bahwa ada sesuatu di luar sana yang memiliki power lebih kuat darinya dan bahkan orang tuanya. Sayangnya, subjek atau pelaku dari penyebab rasa takut itu adalah "hantu".  Lalu boleh jadi outputnya secara tak sadar memengaruhi mental dan sikapnya kelak. Ini mungkin yang menyebabkan muncul sikap mengeyel anak kepada orang tuanya.

Sebab, dalam pandangan sang anak,  orang tuanya bukanlah  " subjek" sebagai penyebab rasa takut yang dalam pemahamannya adalah hantu.  Maka, ketika orang tua menghendaki sang anak melakukan sesuatu pada situasi yang lain ( tanpa iming-iming hantu) reaksi "ngeyel" pun muncul.

Oleh karena itu, ada baiknya " subjek" dalam kalimat rayuan untuk pulang, makan, dan aktivitas lainnya harus diubah. Khawatirnya, secara tidak sadar rasa takut anak itu semakin menjadi eksklusif, khusus untuk hantu.

Atau, metode komunikasi orang tua untuk merayu anak mungkin bisa diganti sama sekali, tanpa harus merayu dengan menakut-nakuti, terlebih dengan hantu. Terlepas dari pertanyaan awal  terkait fenomena ini, tanda tanya lain pun bisa saja muncul kembali.

Seperti misalnya,  mengapa dari "ribuan" kosakata terpilih kata " hantu " untuk menempati " subjek " pada redaksi rayuan orang tua? Apakah bagi orang tua  memang "hantu" yang pantas menempati posisi subjek pada kalimat itu? Apakah prang tuan menuturkannya dengan sadar? Atau hanya spontanitas?

Bekasi. 16 Juli 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun