Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Kelas Virtual Menjamur di Era Industri 4.0, Akankah Sekolah Punah?

21 Januari 2019   20:00 Diperbarui: 22 Januari 2019   08:13 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar; tradeindia.com

Wacana tersebut telah disadari oleh Menteri Pendidikan, dengan merevisi Kurikulum 2013 tahun 2018.Muhadjir Effendy telah mewanti-wanti hal itu pada suatu kesempatan, bahwa keterampilan berpikir kritis, kreatif, inovatif, berkomunikasi, kerja sama, percaya diri dan kolaboratif, adalah modal yang sangat dibutuhkan untuk memasuki pergaulan Industri 4.0 ( Republika.co.id, 28/4/18).

Lantas, apakah kampanye pembelajaran berbasis teknologi, juga hadirnya distance learning seperti portal Rumah Belajar, Ruang Guru, Quipper, dan sejenisnya, merupakan antisipasi wilayah pendidikan ere 4.0 yang kafah? Dalam arti, apakah pembelajaran online tersebut membuat produktif siswa sebagai calon ujung tombak era industri 4.0?

Siswa: Subjek atau Objek Teknologi?

Binus University telah menerapkan hal semacam itu sejak 2010. Namun, dalam sebuah kesempatan, salah satu dosen dan rektor kampus tersebut, Prof Harjanto Prabowo menyatakan, bahwa permasalahan utama bukanlah teknologinya, tapi bagaimana menyiapkan manusianya. Karena manusia yang akan menggunakan atau menciptakan teknologi tersebut.(Kompas20/7/18).

Boleh dimahfumi, orientasi pembaruan pendidikan kita mestinya bukan dengan mendigitalkan segalanya. Mulai dari e-rapot, modul-modul ajar elektronik, menyulap kelas-kelas menjadi virtual, mendorong guru untuk digital savvy, sementara paradigma dan pendekatan pembelajaran masih terjebak dalam epistemologi objektivisme. Ketika siswa tak ubahnya objek dari sistem yang membuat mereka cenderung pasif. Siswa menjadi konsumen aplikasi, yang hanya mengusap-usap layar android, melihat bank soal, sambil bercita-cita lulus UN dengan nilai tinggi.

Nyatanya, sulit dipungkiri bahwa teknologi dapat menunjang efesiensi pembelajaran bagi peserta didik dan pendidik dalam memenuhi kebutuhan kurikulum. Kendati demikian,bagaimana guru menemani siswa untuk memasuki dunia sosial juga tak kalah penting. Untuk itu, revolusi dan sosialisiasi media pembelajaran berbasis teknologi ada baiknya disertai dengan revolusi pendekatan pembelajaran yang tepat.

Revolusi Paradigma Pembelajaran, Sekolahan Tetap Dibutuhakan 

Pendekatan constructivism cukup relevan sebagai cara pendidikan yang antisipatif terhadap era Industri 4.0. Seperti yang telah dipahami banyak ahli pendidikan mengenai konsekuensi constructivism, bahwa masing-masing individu itu unik dikarenakan interaksi pengalaman mereka yang berbeda. Pendeketaan ini menekankan pembelajaran pada proses sosial ( pengalaman, interaksi antara guru, siswa dan lingkungan lainnya), dengan maksud mengiringi siswa menemukan kecenderungan dirinya dalam kehidupan.

Penerapan Constructivisme untuk itu, pendekatan constructivism jangan sampai dianggurkan, lalu berhenti menjadi sebuah teori, dan wacana penghias kurikulum. Terlebih, bagi guru Bahasa Indonesia, karena menurut saya pendekatan ini sangat terkait dengan sejulah materi Bahasa Indonesia (khususnya di sekolah menengah), sebagai kunci pembentukan keterampilan komunikasi.

Sebagai contoh, ( seperti yang pernah saya terapkan pada materi teks sejarah kelas XII SMA), dengan mengonversi teks ( cerita ) sejarah ke dalam proyek pembuatan film pendek. Materi ajar, murid dan acara hari pahlawan di lingkungan sekitar sebagai tempat pemutaran film, menjadi proses pembelajaran yang saya kondisikan. Kerangka pembelajaran tersebut meliputi (planning) diskusi kelompok, rapat kelas ,pembagian tugas, (observing) riset sejarah, penyusunan skenario, penyiapan properti film, (acting) produksi film dan memutarnya di tengah masyarakat, kemudian (reflecting ) mengunggahnya di youtube dan mengulas atau mengevaluasi nila-inilai dalam film.

Melalui kegiatan pembelajaran tersebut, siswa terdorong untuk komunikatif, percaya diri, kolaboratif, kreatif, dan kritis. Siapa sangka diantara mereka ternyata memiliki minat dan bakat sebagai periset, penyusun skenario, pemegang kamera, videografer, sutradara, pembuat properti ( art), aktor, pemasaran digital, tata rias dan lain-lain. Sehingga mereka dapat meneruskan skill tersebut di perguruan tinggi atau dunia kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun