Teman-teman langsung setuju dengan penuh antusias. Aku segera berlari pulang untuk mengambil sepedaku. Aku harus sangat hati-hati agar tidak membangunkan ibu. Dengan perlahan, aku menuntun sepeda keluar dari rumah. Tapi saat melewati pintu, ban sepedaku menabrak kayu dengan suara glodak!
Aku menahan napas sesaat, takut ibu atau kakak-kakakku terbangun. Tapi rumah tetap sunyi. Aku segera menutup pintu kembali dan bergegas menuju jalan raya, bergabung dengan teman-teman yang sudah siap dengan sepeda mereka.
Kami mulai mengayuh sepeda dengan semangat, memburu suara drumband yang terus terdengar samar. Kali ini, kami mengarah ke selatan hingga mendekati pasar Ngringin yang berada di pojok perempatan Patangpuluhan. Tapi setelah sampai di ujung jalan, celakanya suara itu justru mengalun lirih dari arah timur.
Tanpa pikir panjang, kami bersepakat untuk mengejarnya ke timur, menuju Tamansari, melewati jembatan Kali Winongo. Sepanjang jalan, kami tetap berisik, bercanda, dan tertawa kecil di antara kayuhan sepeda kami.
Tapi entah bagaimana, di tengah keseruan itu, kami tidak menyadari satu hal: suara drumband itu telah hilang.
Kami baru sadar ketika hampir mencapai perempatan Tamansari. Kami segera berhenti, saling memberi isyarat untuk diam, lalu menajamkan pendengaran.
Tidak ada suara drumband.
Kami menunggu, berharap suara itu muncul kembali. Tapi yang terdengar justru suara kaki kuda delman, plak ketipak ketipak, mungkin delman itu sedang menuju Pasar Gede untuk mencari penumpang pagi.
Kemudian, suara lain menyusul.
"Sahuuuur... sahuuuur..."
Suara para warga yang membangunkan sahur di bulan puasa kala itu mulai memenuhi udara.