"Iya, jelas. Tapi dari mana suaranya?" aku membalas, masih berusaha mencari arah sumber bunyi itu.
Kami mencoba menebak. Ada yang bilang dari timur, ada yang yakin dari utara. Tapi bagiku, suara itu terasa mengalun lirih, berputar arah, seolah-olah bergerak bersama angin pagi.
Kami sepakat untuk mencari tahu. Dengan semangat anak-anak yang penasaran, kami mulai berjalan ke arah timur, menuju Jalan besar, Jl. Piere Tendean, Yogyakarta. Saat tiba di sana, suasana masih gelap. Lampu jalan masih redup, hanya beberapa rumah yang menyalakan lampu minyak atau bohlam kecil yang sinarnya cukup temaram untuk menerangi teras beberapa rumah ditepi jalan itu.
Aku mencium aroma embun yang menempel di tanah dan dedaunan. Jauh di ujung jalan, terlihat seorang bapak tua dengan sarung melilit tubuhnya, duduk di depan rumahnya sambil menghisap rokok klobot. Ia tampak tidak terganggu dengan suara drumband yang samar itu.
"Dari mana suara itu?" tanya seorang teman.
"Seperti dari utara," sahut yang lain.
Tapi ada juga yang bersikeras suaranya berasal dari timur. Kami mulai kebingungan. Suara itu seperti berpindah-pindah tanpa arah yang jelas.
Saat kami mulai ribut berkerumun di pinggir jalan, beberapa orang dewasa mulai keluar rumah, heran dengan kelakuan kami. Dari kejauhan, Pak Sukiman, seorang tetangga pemilik toko kelontong di tepi Jl. Tendean, hanya bersarung tanpa baju, berdiri di teras rumahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hei, ojo rame-rame! Ati-ati main di jalan!" serunya memperingatkan.
Kami hanya nyengir lalu menjawab serempak "Nggih...", dan kembali fokus pada perburuan suara misterius ini. Karena merasa berjalan kaki terlalu lambat, aku punya ide.
"Ayo pakai sepeda!"