"Orang-orang bilang, kadang-kadang pasukannya lewat dari Pantai Selatan menuju Merapi. Mereka bergerak dalam pawai, suara genderang mereka menggetarkan tanah, tapi tak ada yang bisa melihatnya," ibu berkata sambil tersenyum samar.
Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Apakah benar suara itu berasal dari arwah tentara Mataram? Atau benar pasukan Nyi Roro Kidul sedang berbaris melintasi kota?
Saat itu, aku hanya bisa membayangkan. Aku belum pernah mendengar suara itu sendiri. Tapi semua berubah pada subuh itu, di suatu pagi di tahun 1976.
Udara subuh di Yogyakarta begitu dingin, menusuk kulit. Dari balik beberapa genting kaca di atap kamarku, aku bisa melihat langit yang masih pekat, tanpa bintang, seolah terbungkus kabut tipis. Suasana begitu sunyi, hanya sesekali terdengar suara jangkrik dari pekarangan rumah.
Kala itu entah karena apa, aku terbangun, nglilir, sekitar pukul tiga pagi. Awalnya, aku setengah sadar, masih berada di antara mimpi dan kenyataan. Rasanya masih ingin meneruskan tidur di subuh itu, tetapi yang ada mata ini sulit diajak terpejam lagi. Lalu kemudian, perlahan-lahan, ditengah keheningan pagi itu  aku mulai mendengar suara lirih yang mengalun dari kejauhan.
Dredeb deb db  deb... dredeb deb deb......
Aku mencoba membuka mata lebih lebar sambil mengernyitkan dahi. Suara itu begitu pelan, hampir seperti bisikan angin. Aku mencoba menajamkan pendengaran, memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi. Apakah ini suara drumband gaib yang selama ini diceritakan ibu dan teman-teman?
Selagi aku terus mengamati suara seperti drumband itu, dari luar rumah, samar-samar terdengar suara teman-temanku. Rupanya mereka juga terbangun. Apakah mereka juga mendengar suara itu?. Aku berjingkat turun dari tempat tidur, melangkah pelan agar tidak membangunkan ibu dan kakak-kakakku. Aku mendengar napas ibu yang masih teratur di kamar sebelah. Hening sekali.
Aku berjalan menuju pintu depan rumahku, menahan napas saat tanganku perlahan melepas slarak, ganjal kayu pintu. Dengan sangat hati-hati, aku mendorongnya sedikit agar bisa keluar tanpa suara. Udara dingin langsung menyergap tubuhku saat aku mengintip ke luar.
Di jalan kampung Ketanggungan yang lengang itu, beberapa temanku sudah berdiri, mengendap-endap seperti pencuri. Wajah mereka terlihat tegang tapi juga penuh semangat.
"Kowe krungu ora?" salah seorang temanku bertanya dengan suara setengah berbisik, menanyakan apakah aku mendengar apa yang mereka dengar, suara lirih mengalun, suara drumband.