Mohon tunggu...
Drajad Hari Suseno
Drajad Hari Suseno Mohon Tunggu... Administrasi - Perawakan sedang

Wiraswasta, pernah bekerja sebagai Corporate Secretary di badan usaha jalan tol.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gonjang Ganjing Demokrat

7 Maret 2021   13:41 Diperbarui: 7 Maret 2021   14:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang facebooker menulis status dengan pesan inti, "Pengambil-alihan kursi ketum Demokrat ugly dan kasar". Narasi itu bisa dibenarkan dalam satu sudut pandang, namun juga bisa debatable dipandang dari sudut lain. Mengapa? Karena politik adalah kepentingan, bagaimana berkuasa, maka legalitas menjadi nomor dua. Konteks ini seturut dengan premis, "Politics is the art of the impossibility", politik adalah seni dari ketidak-mungkinan. Yang "tidak mungkin" menjadi "mungkin". Segala cara seolah menjadi "sah"dilakukan. Kalau bahasa orde baru, "menghalkan segala cara".

Bung Karno turun dari kepresidenan, Pak Harto lengser dari kursi kekuasaan, Habibie diganjal Sidang Istimewa, Gus Dur diturunkan dari kursi presiden, itu semua menunjukkan peristiwa politik yang inkonstitusional atau paling tidak designed constitutionally atau didesain agar tampak konstitusional. Di level partai juga begitu. Intrik dan friksi internal partai terjadi hampir di semua partai. Yang paling kini terjadi di internal Partai Demokrat, melahirkan kubu AHY dan Moeldoko.

Kata-kata sakti "sesuai AD/ART" menjadi senjata utama untuk mengelabuhi kesadaran publik, atau justifikasi pembenaran tindakan politik dari setiap kubu yang ingin merebut maupun mempertahankan kekuasaan politik. Dalam kadar dan norma tertentu sejatinya ada ukuran universal untuk mengatak benar atau salah. Tapi sekali lagi, dalam politik itu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang salah menjadi benar dan sebaliknya.

Sedikit merunut kebelakang, secara sepintas AHY terpilih menjadi Ketum Demokrat secara aklamasi. Yakin AHY terpilih secara murni aklamasi tanpa pengkondisian? Itu satu catatan yang perlu dicurigai. Mengapa pemilihan Ketum Demokrat tidak seperti sebelum-sebelumnya? Misalnya Kongres Demokrat di Bandung, terjadi persaingan sengit antara Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, Andi Malarangeng. Bagaimana AHY melenggang mulus menjadi Ketum Demokrat mem-bypass para seniornya?

Secara kasat mata AHY naik ke tampuk kekuasaan tertinggi partai, nyaris tanpa perjuangan dan proses jatuh bangun sebagai kader. AHY bahkan belum pernah menduduki jabatan struktural partai baik dari tingkat DPC sampai DPP. Bahwa dia pernah menjadi Ketua Satgas, itu bukan jabatan struktural, tapi fungsional, ditunjuk oleh Bapaknya selaku Ketum Partai Demokrat, sifatnya adhoc alias sesaat sesuai kebutuhan saja. Sebagai Ketua Satgas, AHY juga tidak menorehkan prestasi gemilang, misalnya mampu meningkatkan kursi legislatif atau meraup advantage partai secara signifikan.  

Lalu cara AHY dalam memilih "anggota kabinetnya". Entah bagaimana mekanismenya, AHY tidak cukup akomodatif kepada para senior dan pendiri partai. Mudah ditebak, akan muncul ketidak-puasan kolektif. Faksi-faksi yang sebelumnya bersebarangan, disatukan oleh kepentingan yang sama, mendongkel kursi Ketum Demokrat. Tidak peduli lagi AHY anaknya SBY, apalagi pamor dan pengaruh SBY semakin kendur.

Kudeta partai, hampir pasti tidak bisa disembunyikan, atau diam-diam. Dibutuhkan keberanian, penggalangan, taktik dan strategi, termasuk tebal muka dan kuping, yang penting tujuan tercapai. Dibutuhkan mental dan tekad spartan, dan tentu saja modal dana besar. Pendongkelan kursi Ketum memerlukan momentum untuk "pecah telor" sehingga bola liar politik bisa menjadi bola salju isu utama di medsos dan media mainstream.

Momentum itu menemukan jalannya ketika AHY, dalam suatu konferensi pers, menyatakan ada upaya kudeta kursi Demokrat 1. Menjadi lebih panas ketika AHY berani menyinggung kekuasaan pemerintah dengan mengkait-kaitkan adanya pejabat tinggi Negara, yang seolah sedang menjalankan misi Pemerintah mendongkel AHY. 

AHY bahkan ngawur ketika urusan internal partai dibawa ke ranah Pemerintah dengan berkirim surat kepada Presiden Jokowi seolah ingin mengkonfirmasi atau investigatif apakah ada keterlibatan istana atau Presiden dalam upaya kudeta kursi Ketum Demokrat. Langkah ini tidak saja absurd, tapi lebay seperti cicak menantang buaya.

Gonjang-ganjing Partai Demokat menjadi semakin liar ketika Ketua Majelis Pertimbangan Partai, SBY yang kebetulan bapaknya AHY, mulai terbuka menyebut keterlibatan Moeldoko dalam upaya kudeta tersebut. Bagai api disiram bensin, Moeldoko yang sebelumnya cool, mulai menunjukkan taringnya, "Saya jangan ditekan-tekan, karena saya yakin bisa, sangat bisa melakukan hal-hal yang kita yakini". 

Gonjang-ganjing ini juga bisa jadi momentum bagi AHY untuk menunjukkan kepiawaiannya mengatasi masalah, mempertahankan jabatan Ketum, ujian kepemimpinan bagi AHY. Rupanya situasi tidak mereda bahkan menjadi tambah panas hingga KLB Demokrat terselenggara, dengan aroma "siapa kuat, dia yang menang" mengabaikan prasyarat dan syarat formal.

Andai AHY tidak menantang Presiden, tidak berkirim surat kepada Presiden dan mengumumkan kepada publik, andai AHY secara gently merangkul sowan kepada para pendiri dan senior, andai AHY tidak menempatkan diri sebagai orang paling berkuasa di partai dan memecat kader-kader senior, andai AHY tidak menyalak tapi rendah hati mendekati memohon dukungan dari para pendiri partai dan kader senior, gonjang-ganjing ini bisa menjadi lain.

Andai SBY tidak post power syndrome, andai SBY tidak baperan dan lebay, andai SBY sadar bahwa dirinya tidak sekuat dulu, andai SBY sadar bahwa Moeldoko memiliki kartu truf dan instrumen bulldozer menggeser AHY dalam kapasitasnya sebagai KSP, andai SBY tidak menantang Moeldoko, kejadiannya juga bisa lain. Tapi manakala bahasa kekuasaan yang mengemuka, tentu feedback dan effects-nya bisa berbeda pula.

SBY seperti post power syndrome. Bahwa benar dia pernah menjadi presiden dua periode, bahwa benar dia yang mengangkat Moeldoko, tapi hari ini situasinya berbeda. SBY sekarang tidak seperti SBY sebagai presiden yang bisa memerintah Moeldoko. 

SBY tidak bisa menarik simpati publik dengan cara playing victims dikhianati mantan anak buahnya, SBY dianggap childish ketika menempatkan Moeldoko sebagai pribadi yang "tak tahu diri" dalam konstelasi politik. 

SBY akan dianggap cengeng dan lemah ketika membuat narasi "Moeldoko itu nggak tahu diri. Pernah jadi anak buah, diangkat jadi Panglima, diberi kepercayaan dan posisi strategis dalam pemerintahan, tapi sekarang "nylenthak" dari belakang". Sekali lagi, ini politik Bung, yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Demokrat sekarang, secara factual, terpecah menjadi dua kubu, AHY dan Moeldoko. Masing-masing mengaku sah. Masing-masing mengaku sesuai AD/ART. Masing-masing mengklaim berkuasa atas struktur partai. Kejadiannya hampir sama dengan gonjang-ganjing PPP sehingga melahirkan kepemimpian ganda. Kubu AHY telah memperoleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Kubu Moeldoko pun menurut perkiraan tampaknya juga akan memperoleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. 

Alasannya dan caranya sederhana. Dibangun opini publik bahwa kepemimpinan AHY berakhir dengan adanya KLB Demokrat di Medan. Masing-masing kubu tinggal berebut simpati kader dan simpatisan partai. Masing-masing kubu akan membangun narasi paling benar. Masing-masing kubu akan saling menggugat. Pemerintah pun bisa jadi akan digugat kubu AHY jika memberikan pengesahan kubu Moeldoko.

Gonjang-ganjing Demokrat ini, sesungguhnya juga mengingatkan kita atas terjadinya "pengambilan-alihan kekuasaan PKB" oleh Muhaimin Iskandar. Waktu itu Gus Dur berujar, "Kepemimpinan PKB diambil alih oleh bla bla bla...atas bantuan Pemerintah". Padahal saat itu SBY menjadi presiden RI. Apakah artinya konflik internal Partai Demokrat menjadi karma Demokrat dan SBY? Embuuh...

Surakarta, 7 Maret 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun