Belakangan ini santer diberitakan dan viral kasus moge yang melibatkan Dirut Garuda, Ari Askhara. Kebanyakan isi pesannya/beritanya sangat subyektif dan hanya melihat dari kacamata minus dan buram.
Untuk itu kita mesti bijak menyikapi dan melihat dari kacamata yang lebih lebar dan jernih. Tulisan ini adalah opini pribadi, tidak mewakili perusahaan, juga bukan sebagai pembelaan, namun tetap dalam kerangka supaya obyektif dan berimbang.
Secara pribadi saya kenal Ari Askhara. Dia pernah jadi Komisaris di salah satu anak perusahaan BUMN, saya Corporate Secretary-nya. Kami berinteraksi setiap ada rapat gabungan Direksi-Komisaris, karena saya selalu ikut hadir menjadi note taker-nya. Dia memang hebat. Muda, enerjik, produktif dan berorientasi hasil. Mengutip pemberitaan Harian Kompas, 14 Mei 2018, Ari dinilai sebagai pimpinan yang mengubah lingkungan kerja lebih dinamis, humanis, efisien, dan tak ketinggalan zaman dalam memanfaatkan teknologi.
Di lingkungan Kementerian BUMN dia terkenal menjadi salah satu rising star, karirnya cemerlang meroket. Hasil asesmen di Kementerian BUMN selalu teratas. Dalam waktu empat tahun, dari tahun 2014-2018, Ari Askhara tour of duty menduduki lima jabatan Direksi di tiga BUMN. Tahun 2014 jadi Direktur Keuangan Pelindo III, tahun 2015 jadi Direktur Keuangan Garuda, lalu Direktur Human Capital Wijaya Karya, Direktur Utama Pelindo III, dan terakhir tahun 2018 diangkat menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia. Mungkin dia satu-satunya Direksi di Kementerian BUMN yang paling sering tour of duty menjadi Direksi BUMN.
Sebelum menjadi Direksi BUMN, dia seorang profesional bekerja di beberapa institusi keuangan/perbankan di Singapura. Lalu dia diminta pulang ke Indonesia, jadi Direktur Keuangan Pelindo III, merangkap Komisaris di tempatku bekerja. Dia benahi kinerja keuangan Pelindo III. Rangkap jabatan sebagai Komisaris itu yang seharusnya memberinya pendapatan ganda, tapi Ari menolaknya. Dia hanya mau menerima pendapatan dari satu sumber dalam jabatannya, sebagai Direktur Keuangan di Pelindo III. Sedangkan honorarium komisaris dari perusahaan tempatku bekerja diminta disetor ke kas Pelindo III.
Setelah sukses restrukturisasi keuangan Pelindo III, dia diangkat jadi Direktur Keuangan Garuda Indonesia, dia lakukan refinancing utang Garuda, sukses. Lalu diangkat jadi Direktur SDM (Human Capital) di Wijaya Karya, nggak sampai setahun, dia diangkat lagi jadi Direktur Utama Pelindo III (balik lagi ke rumah lama).
Sebagai Dirut, dia lakukan efisiensi besar-besaran, sampai keuntungan Pelindo III yang biasanya ratusan milyar naik mendekati 2 trilyun. Dia benahi semua, termasuk SDM yang tidak kompeten dia mutasi atau ganti. Dia terapkan GCG secara efektif dan terarah ke produktifitas kerja di setiap lini perusahaan, sampai cucu perusahaan. Yang tidak siap, tidak akuntabel dia libas.
Sukses di Pelindo III, dia diminta membenahi Garuda yang terus merugi. Di sini dia lebih garang lagi. Banyak pengeluaran yang nggak perlu dipangkas, efisiensi, perbaikan kinerja sampai hal terkecil termasuk catering. Setiap sen dia selamatkan demi perbaikan kinerja keuangan Garuda.Â
Barangkali banyak pejabat Garuda gerah karena kenyamanannya terganggu, ladang basahnya mengering, sehingga banyak yang tidak suka dengan Ari. Tapi hasilnya, kinerja keuangan Garuda membaik, jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi banyak pejabat tidak suka.
Mengenai laporan keuangan yang di make up itu benar. Ceritanya begini. Transaksi kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dengan PT Mahata Aero Teknologi yang merupakan piutang masuk ke pos pendapatan dan sudah dibukukan oleh perusahaan. Ini memang tidak lazim. Piutang yang belum terbayar sudah dihitung menjadi pendapatan. Garuda yang pada tahun 2017 masih rugi, dalam Laporan Keuangan tahun 2018 mencatatkan laba bersih US$809 ribu. Garuda untung.Â
Ini mencengangkan sekaligus mengundang tanya. Dua Komisaris Garuda (salah satunya Chaerul Tanjung yang punya sekitar 25% saham Garuda) mempermasalahkan. Mereka tidak mau menanda-tangani Laporan Keuangan. Kisruh itu akhirnya mengundang Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan investigasi. Hasilnya, laporan dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan standar pelaporan dan akuntansi. Garuda harus memperbaiki Laporan Keuangan dan mengumumkan kembali ke publik. Sementara OJK memberi denda senilai Rp100 juta kepada masing-masing komisaris dan direksi secara kolektif. Kantor Akuntan Publik yang mengaudit dikenakan sanksi, dibekukan satu tahun oleh Menteri Keuangan. Jadi nggak benar kalau sampai diusut polisi.
Soal serikat pekerja, di Garuda terbelah dua. Ada yang membela Ari, ada yang menyerang. Tapi kebanyakan yang terekspos yang menyerang.
Kinerja Ari sangat bagus. Semua BUMN yang dia tangani sukses dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Dia termasuk orang bersih dalam hal keuangan. Yakin tidak korupsi. Hanya saja, terkait hobinya dengan moge/Harley membuat dia terlena. Besar kemungkinan dia dijebak rivalnya, bisa juga dia sendiri memang khilaf. Tapi apa pun, dia sudah kepeleset menyalah-gunakan wewenang/fasilitas jabatan karena hobbynya.
Dia terjebak antara hobby dan aturan impor, dilematis. Dia pengin punya moge harley klasik, adanya di luar negeri, tapi nggak bisa ngimpor resmi ke Indonesia karena memang ada larangan impor barang (moge) bekas. Maka dia coba-coba selundupkan lewat pesawat yang baru dibeli. Celakanya, ketahuan.Â
Bisa ditebak, pasti ada yang nggak suka lalu melaporkan ke bea cukai. Terbongkarlah kasus ini. Bagaimana pun dia memang salah dan harus siap menerima risikonya.
Dia tersandung moge, sebenarnya masalah sepele. Tapi memang kadang ketika kita selalu melihat ke atas, lupa bahwa di bawah ada batu kecil yang bisa membuat kita tersandung. Tidak pernah ada orang tersandung batu besar, kecuali menabrak.
Ari Askhara orang Bali, dia sangat percaya karma. Dia tersandung. Segala kebaikan dan segudang prestasi yang dia torehkan seolah terkubur dengan penggunaan wewenang demi hobi.Â
Ibarat panas setahun dihapus dengan hujan sehari. Ari tetap orang hebat, orang yang telah berjasa untuk negeri tercinta Indonesia ini. Tapi terlalu kuat opini yang menghajarnya. Selain itu, ada para pejabat baru yang butuh mangsa untuk legacy. Ari lagi apes, kasusnya lantas bergulir.
Barangkali kejadian ini bisa menjadi renungan hidupnya, apa itu karma. Dan tulisan ini mudah-mudahan memberikan pandangan obyektif dan berimbang, tidak hanya dilihat dari kacamata minus dan buram.
Denpasar, 10 Desember 2019
Drajad Hari Suseno
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI