Mohon tunggu...
Pandapotan Silalahi
Pandapotan Silalahi Mohon Tunggu... Editor - Peminat masalah-masalah sosial, politik dan perkotaan. Anak dari Maringan Silalahi (alm) mantan koresponden Harian Ekonomi NERACA di Pematangsiantar-Simalungun (Sumut).

melihat situasi dan menuliskan situasi itu

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

UKW PWI Sumut, Menggaransi Wartawan Profesional?

8 September 2018   00:38 Diperbarui: 8 September 2018   01:32 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis, mengkritik dan kontrol sosial menjadi tugas wartawan. foto: dokumen pribadi

UKW PWI Sumut (Uji Kompetensi Wartawan) yang digelar PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sumatera Utara, Rabu (5/9/2018) hingga Kamis (6/9/2018) di Medan benar-benar menggelitik hati dan pikiran saya. Seorang wartawan online di Medan yang baru saja ikut UKW PWI mengatakan UKW PWI sebuah garansi wartawan menjadi seorang profesional. Dengan kata lain, seorang wartawan yang sudah mengikuti UKW PWI berarti sudah profesional.

Dia mengutarakan hal itu mengutip kalimat seorang petinggi PWI Sumut saat menutup kegiatan itu di hari terakhir UKW PWI di Medan, Kamis (6/9/2018).

Dalam tulisan ini, saya ingin membahas tentang profesionalisme seorang wartawan. Tentang bagaimana seorang wartawan bekerja secara profesional di lapangan, bagaimana hubungan wartawan dengan narasumber.

Ada yang aneh dalam syarat untuk ikut dalam UKW PWI itu. Salah satu persyaratannya dengan menyerahkan 20 nomor telepon penting narasumber di lapangan.

Nantinya nomor-nomor telepon itu akan dihubungi manakala seorang penguji UKW PWI meminta si wartawan mengadakan wawancara via telepon dan menuliskannya dalam sebuah berita. Konon, nomor telepon para pejabat daerah ini penting, inilah membuktikan wartawan bersangkutan sudah 'profesional' dengan bisa menjaga hubungan baik yang terjalin selama ini.

Sejujurnya ini justru menggelitik hati dan pikiran saya. Faktor kedekatan si wartawan dengan pejabat (narasumber) di lapangan tidak boleh dianggap sebagai sikap profesional, hanya lantaran mampu menjaga hubungan baik dengan para narasumber.

Sebagai alumni media grup Jawa Pos bermarkas di Medan (Sumatera Utara), hampir 9 tahun saya belajar dan mengecap pendidikan di grup media JPNN ini, tak pernah sekalipun saya diajarkan untuk dekat-dekat apalagi sampai kompak dengan pejabat atau narasumber. Yang saya tangkap sejauh ini, agar pemberitaan benar-benar netral, si wartawan dilarang keras dekat-dekat dengan pejabat. Jadikanlah pejabat itu sebatas narasumber.

Tapi mengapa UKW PWI menganggap ini sebuah penilaian baik? Menurut saya, ini salah kaprah!

Logikanya, bagaimana mungkin si wartawan memproduksi sebuah pemberitaan yang 'menggigit' ketika berita itu melibatkan kasus korupsi pejabat bersangkutan yang notabenenya selama ini sudah 'berkawan' dengan si wartawan? Saya yakin, si wartawan akan sulit membuat berita yang 'gereget'. Karena faktor kedekatan dengan pejabat itu, akibatnya tulisan wartawan tak bakal 'pedas' lagi. Bakal ada faktor ketidakjujuran di situ. Makanya UKW PWI Sumut adalah salah kaprah ketika harus menyerahkan 20 nomor telepon orang narasumber/pejabat daerah dan menelepon mereka. Intinya 20 nomor telepon itu tak boleh dijadikan tolok ukur bagi seorang wartawan apakah dia sudah profesional atau tidak.

Pentingkah UKW PWI?

Dalam tulisan ini, saya ingin mempertanyakan seberapa penting Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar PWI. Benarkah UKW itu penting hingga dapat menggaransi wartawan bekerja profesional di lapangan? Sejauh ini sudah ada 9.344 wartawan yang telah lulus UKW. Pertanyaannya, berapa persen diantara mereka yang benar-benar profesional menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial di lapangan?

Saya menilai, UKW PWI seperti yang digelar PWI Sumut Rabu (5/9/2018) hingga Kamis (6/9/2018) di Medan itu tidak terlalu penting! Persoalan profesionalisme seorang wartawan bukan didasarkan oleh UKW yang diselenggarakan PWI. Bahkan rasanya, PWI tidak berhak mengatakan seorang wartawan belum profesional kalau tidak lulus UKW PWI. Tanpa UKW PWI pun, wartawan bisa bekerja profesional, bukan?

Sejauh yang saya tahu, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tak lebih hanya sekadar organisasi profesi wartawan. Toh di negeri ini organisasi wartawan tak cuma PWI. Ada organisasi lain yang masih eksis misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Korps Wartawan Republik Indonesia (KOWRI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan masih banyak lagi organisasi wartawan.

Tapi belakangan mengapa PWI seolah-olah menjadi lembaga penentu profesionalisme seorang wartawan? Ini yang aneh! Saya menilai, profesionalisme seorang wartawan bisa dibuktikan dengan berita yang diproduksinya di perusahaan media massa tempat dirinya bekerja. Selain itu, dapat mempertanggungjawabkan isi pemberitaan yang telah diterbitkan media massa manakala nantinya akan terbentur hukum atau muncul gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan.

Kembali ke persoalan PWI, di satu sisi memang saya bisa maklum. PWI merupakan sebuah organisasi wartawan terbesar di negeri ini. Itu karena PWI punya nasib bagus, terlahir duluan  dibanding organisasi wartawan lainnya. Sayangnya, PWI yang katanya independen justru bekerjasama dan menggandeng pemerintah (termasuk Pemkab, Pemko atau Pemerintah Provinsi) di daerah-daerah.

Dengan modus bikin kegiatan seremonial, PWI seolah menciptakan proyek 'ini itu' dengan mengirimkan proposal kerjasama ke instansi pemerintah, termasuk swasta. Kalau boleh berkata jujur, realisasi kerjasama yang sering diberikan instansi pemerintah/swasta ke PWI bentuknya pun macam-macam. Bisa berbentuk  fasilitas hingga narasumber/pembicara di acara seremoni itu.

Sejatinya PWI bisa berkaca. Mengajarkan sikap profesional kepada setiap anggotanya. Karena kedepan kita berharap PWI bisa mandiri, mampu mengadakan kegiatan tanpa ditopang atau dibantu pihak lain termasuk instansi pemerintah/swasta. Silakan PWI mendidik seluruh anggotanya untuk benar-benar bekerja profesional di lapangan. Kalau sudah begitu, kita tak menemukan lagi ada organisasi wartawan yang 'kasak kusuk' minta-minta bantuan ke instansi pemerintah/swasta.

Intinya, sepanjang PWI masih menjalin kerjasama dengan pihak lain, sepanjang itu pulalah PWI sendiri akan sulit menjadi organisasi wartawan yang profesional. Profesional di sini, maksudnya tidak berharap bantuan pihak lain. ''Masak bikin kegiatan seremoni, minta-minta dulu baru jadi,'' begitu istilah orang Medan.

Bentuk  Pembodohan

Rasanya ada yang aneh beberapa tahun ini. Di Pemko Pematangsiantar misalnya. Pemko Pematangsiantar sejak lama telah menyeleksi wartawan yang akan bergabung dalam 'Wartawan Unit Pemko Siantar.' Syaratnya harus anggota PWI!

Inilah salah satu persoalannya. Apa iya, untuk meliput kegiatan atau meminta info dari Pemko Siantar, harus menjadi anggota PWI dulu? Terus, bagaimana dengan wartawan yang belum/tidak mengantongi Kartu PWI, apa mereka bukan wartawan? Padahal mereka bisa menulis dan artikelnya tayang di media tempatnya bekerja. 

Saya malah jadi curiga, untuk bergabung dalam Wartawan Unit Pemko Siantar' mengapa syaratnya harus anggota PWI? Benarkah hanya PWI, organisasi wartawan yang diakui pemerintah? Jika benar begitu, pemerintah sebaiknya membubarkan saja organisasi lainnya.

Pernah suatu ketika, seorang wartawan di Pematangsiantar 'curhat' kepada saya. Dia bilang begini. Sekarang 'Wartawan Unit Pemko Siantar' syaratnya harus anggota PWI. Panjang lebar mendengar penjelasannya, ternyata Pemko Siantar akan memberi 'Dana Pembinaan Pers' atau apalah istilah lainnya. Dana Pembinaan Pers itu diberikan kepada wartawan yang tergabung dalam unit itu, dengan catatan harus anggota PWI. Padahal dana pembinaan pers dimaksud bersumber dari APBD Pemko Siantar yang nota benenya uang rakyat, bukan uang pribadi Walikota.

Jika ini yang terjadi, wartawan yang tergabung dalam unit itu hanya akan memberitakan topik seremoni saja, misalnya berita gunting pita, pelantikan, upacara atau sejenisnya. Tidak akan pernah lagi kita temukan pemberitaan mengkritik pejabat di Pemko Siantar itu.

Ini juga yang bikin saya heran. Seolah-olah hanya PWI, organisasi wartawan yang diakui. Padahal ada banyak lagi organisasi di luar sana. Mengapa ini bisa terjadi?

Menurut saya, ini sebuah bentuk pembodohan! Wartawan selalu diiming-imingi kucuran uang APBD yang diterima para kuli tinta itu 2 kali dalam setahun itu. Padahal sejujurnya, nilai nominalnya tak seberapa. Sebagai imbal baliknya, wartawan yang nota benenya anggota PWI yang tergabung dalam Wartawan Unit itu seolah diminta agar jangan mengkritik pemerintah. Padahal yang saya tahu fungsi wartawan itu bebas mengkritik dan kontrol sosial. Melihat ada yang salah, kritis dalam pemberitaan. Tapi apa daya, gara-gara uang APBD wartawan kita seolah diperdaya.

Saya yakin hal-hal seperti ini masih banyak kita temukan, terutama di instansi-instansi pemerintah daerah lainnya. Sialnya, praktik 'bagi-bagi uang APBD' dalam bentuk Dana Pembinaan Pers seperti itu juga masih kita temukan di lembaga legislatif. Tak percaya? Silakan buktikan di Sekretariat DPRD Medan.

Saya berharap jika hingga sekarang pemerintah masih mengucurkan Dana Pembinaan Pers untuk 'Wartawan Unit' yang digerogoti dari APBD, sebaiknya hentikan semua itu! Pemerintah jangan ikut-ikutan melakukan praktik pembodohan. Biarlah APBD itu diberikan kepada rakyat dalam bentuk perbaikan infrastruktur dan lainnya. Karena faktanya Dana Pembinaan Pers itu sering membuat sikap profesionalisme wartawan unit tergadaikan. Akibatnya profesi yang sejatinya mulia, malah justru abal-abal.

Kita berharap PWI sebagai organisasi wartawan terbesar dan tertua di negeri ini bisa juga bersikap profesional. Setidaknya, mulailah dari hal-hal terkecil. Misalnya mengadakan kegiatan seremoni, termasuk UKW PWI tak perlu ditopang instansi lain. Kalau tak mampu bikin kegiatan dengan biaya sendiri, mending tidak usah bikin kegiatan kalau pada akhirnya menggadaikan profesionalisme kita.

Dengan modus 'Proposal Kerjasama' yang disebar di sana-sini, menurut saya hal itu sebagai bentuk ketidakprofesionalan kita. Jadi jangan terburu-buru berharap anggota PWI akan bersikap profesional di lapangan sementara organisasi induknya saja 'tarsani' alias tarik sana-sini! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun