Mohon tunggu...
Pandapotan Silalahi
Pandapotan Silalahi Mohon Tunggu... Editor - Peminat masalah-masalah sosial, politik dan perkotaan. Anak dari Maringan Silalahi (alm) mantan koresponden Harian Ekonomi NERACA di Pematangsiantar-Simalungun (Sumut).

melihat situasi dan menuliskan situasi itu

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

UKW PWI Sumut, Menggaransi Wartawan Profesional?

8 September 2018   00:38 Diperbarui: 8 September 2018   01:32 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis, mengkritik dan kontrol sosial menjadi tugas wartawan. foto: dokumen pribadi

Pernah suatu ketika, seorang wartawan di Pematangsiantar 'curhat' kepada saya. Dia bilang begini. Sekarang 'Wartawan Unit Pemko Siantar' syaratnya harus anggota PWI. Panjang lebar mendengar penjelasannya, ternyata Pemko Siantar akan memberi 'Dana Pembinaan Pers' atau apalah istilah lainnya. Dana Pembinaan Pers itu diberikan kepada wartawan yang tergabung dalam unit itu, dengan catatan harus anggota PWI. Padahal dana pembinaan pers dimaksud bersumber dari APBD Pemko Siantar yang nota benenya uang rakyat, bukan uang pribadi Walikota.

Jika ini yang terjadi, wartawan yang tergabung dalam unit itu hanya akan memberitakan topik seremoni saja, misalnya berita gunting pita, pelantikan, upacara atau sejenisnya. Tidak akan pernah lagi kita temukan pemberitaan mengkritik pejabat di Pemko Siantar itu.

Ini juga yang bikin saya heran. Seolah-olah hanya PWI, organisasi wartawan yang diakui. Padahal ada banyak lagi organisasi di luar sana. Mengapa ini bisa terjadi?

Menurut saya, ini sebuah bentuk pembodohan! Wartawan selalu diiming-imingi kucuran uang APBD yang diterima para kuli tinta itu 2 kali dalam setahun itu. Padahal sejujurnya, nilai nominalnya tak seberapa. Sebagai imbal baliknya, wartawan yang nota benenya anggota PWI yang tergabung dalam Wartawan Unit itu seolah diminta agar jangan mengkritik pemerintah. Padahal yang saya tahu fungsi wartawan itu bebas mengkritik dan kontrol sosial. Melihat ada yang salah, kritis dalam pemberitaan. Tapi apa daya, gara-gara uang APBD wartawan kita seolah diperdaya.

Saya yakin hal-hal seperti ini masih banyak kita temukan, terutama di instansi-instansi pemerintah daerah lainnya. Sialnya, praktik 'bagi-bagi uang APBD' dalam bentuk Dana Pembinaan Pers seperti itu juga masih kita temukan di lembaga legislatif. Tak percaya? Silakan buktikan di Sekretariat DPRD Medan.

Saya berharap jika hingga sekarang pemerintah masih mengucurkan Dana Pembinaan Pers untuk 'Wartawan Unit' yang digerogoti dari APBD, sebaiknya hentikan semua itu! Pemerintah jangan ikut-ikutan melakukan praktik pembodohan. Biarlah APBD itu diberikan kepada rakyat dalam bentuk perbaikan infrastruktur dan lainnya. Karena faktanya Dana Pembinaan Pers itu sering membuat sikap profesionalisme wartawan unit tergadaikan. Akibatnya profesi yang sejatinya mulia, malah justru abal-abal.

Kita berharap PWI sebagai organisasi wartawan terbesar dan tertua di negeri ini bisa juga bersikap profesional. Setidaknya, mulailah dari hal-hal terkecil. Misalnya mengadakan kegiatan seremoni, termasuk UKW PWI tak perlu ditopang instansi lain. Kalau tak mampu bikin kegiatan dengan biaya sendiri, mending tidak usah bikin kegiatan kalau pada akhirnya menggadaikan profesionalisme kita.

Dengan modus 'Proposal Kerjasama' yang disebar di sana-sini, menurut saya hal itu sebagai bentuk ketidakprofesionalan kita. Jadi jangan terburu-buru berharap anggota PWI akan bersikap profesional di lapangan sementara organisasi induknya saja 'tarsani' alias tarik sana-sini! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun