Mohon tunggu...
Dian Prasetiyo
Dian Prasetiyo Mohon Tunggu...

La Fattucheira

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Balada Sumilah (Karya WS Rendra)

15 Desember 2011   17:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:13 2756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com



Ballada Sumilah

Tubuhnya lilin tersimpan di kerabda

Tapi halusnya putih pergi kembara

Datang yang berkabar bau kemboja

Dari sepotong bumi keramat di bukit

Makam dari bau kemenyan

Sumilah!

Rintihnya tersebar selebar tujuh desa

Dan di ujung setiap rintih diserunya

-Samijo! Samijo!

Bulan akan berkerut wajahnya

Dan angina takut nyuruki atap jerami

Seluruh kandungan malam pada tahu

Roh Sumilah meratap dikungkung rindunya

Pada roh Sumijo kekasihdengan belati pada mata.

Dan sepanjang malam terurai riwayat duka

Bagini mulanya:

Bila pucuk bamboo ngusapi wajah bulan

Ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya

Dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama

Malam muntahkan serdadu Belanda dari utara

Tumpah darah lelaki

O kuntum-kuntum delima ditebas belato

Dan para pemuda beibukan hutan jati

Tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi

Demi hati berumahkan tanah ibu

Dan pancuran tempat bercinta

Samijo berperang dan mewarnai malam

Dengn kuntum-kuntum darah

Perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang

Terkunci pintu jendela

Gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada

Ngeri mengepung hidup hari-hari

Segala perang adalah keturunan dendam

Sumber air pancar yang merah

Bebungan berwarna nafsu

Dinginnya angina pucuk pelor, dinginnya mata baja

Reruntuklah semua merunduk

Bahasa dan kata adalah batu yang dungu

Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu

Dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai

Kerna musuh tahu benar arti darah

Memberi minum dari sumber tumpah ruah

Nyawanya kijang diburu terengah-engah

Waktu siang mentari menyedap peluh

Dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali

Di satu semak menggumpal daging perawan

Maka diserunya bersama derasnya darah:

-Siapa kamu?

-Daku Sumilah daku mendukung duka!

Belanda berbulu itu membongkar pintu

Dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia

-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!

-Belum lagi! Demi air daraku merah belum lagi!

Takutku punya dorongan tak tersangka

Tersungkur ia bersama nafsunya kesumur

-O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah

Koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu

Lenyaplah segala kerna tiada lagi kau pumya

Bunga yang terpitih dengan kelopak-kelopak sutra

-Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!

Demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri

Di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya

Dan demi berita noda teramat cepat karena angina sendiri

Noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati

Lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya

Dan Samijo kerahkan segenap butir darah

Lebih setan dari segala kerbau jantan

Bila dukanya terkaca pada bulan keramik putih

Antara bebatang jati dengan rambut tergerai

Sumilah yang malang mendamba Samijonya

Menyuruk musang, burung gandil nyanyikan balada hitam

Satu tokoh menonggak di tempat luang

Dan berseru dengan nada api nyala:

-Berhenti! Sebut namamu!

Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:

-Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku

Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu

-Tiada kupunya Sumilah. Sumilahku mati!

-Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!

Bulan keramik putih tanpa dara

Warna jingga apimu. Padamkan!

Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!

Bulan keramik putih bagai pisau cukur

Sayati awan dan malam yang selalu meratap

Samijo menatap dan menatap amat tajamnya

-Samijo, ambil tetesan darahku pertama

Akan terkecap daraku putih, daramu seorang

Batang demi batang adalah balutan kesepian

Malam mengempa segala terperah sendat napas

Samijo menatap dan menatap amat tajamnya

-Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu

Kau bantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada

Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam

Warna pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:

-Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu

Jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa

Aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!

Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan

Lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati

Tertingga! Sumilah digayuti koyak-moyaknya

Sedihlah yang bercinta kerna pisah

Lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya

Dan segalanya itu tak’kan padam

Kokok ayam jantan esoknya bukanlah tanda menang

Adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang

Karena warga desa jumpai mayat Samijo

Nemani guguran talok depan tangsi Belanda

Merataplah semua meratap

Kerna yang mati menggenggam dendam

Di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia

Kerna dendamnya siksa air matanya terus kembara

Menatap kehadiran Sumilah, dinginya tanpa percaya

Dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa

Gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai

Sumilah! Sumilah!

Tubuhnya lilin tersimpa di keranda

Tapi halusnya putih pergi kembara

Rintihnya tersebar selebar tujuh desa

Dan di ujung setiap rintih diserunya:

-Samijo! Samijo!

Matamu tuan begitu dingin dan kejam

Pisau baja yang mengorek noda dari dada

Dari tapak tanganmu angina napas neraka

Mendera hatiku berguling lepas dari rongga

Bulan jingga, telaga kepundan jingga

Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun