Belum lagi soal sikap keterbukaan anak pada orangtua. Gegara pengekangan, anak lebih memilih menutup diri, enggan untuk terbuka untuk menyampaikan sesuatu.Â
Ketakterbukaan kerap terlahir karena metode pembatasan orangtua yang tak mempertimbangkan sisi perkembangan anak. Termasuk pembatasan orangtua dalam mengakui relasi anak untuk berpacaran.Â
Berpacaran tak bisa dihindari. Ini menjadi bagian dari perkembangan anak pada level usia tertentu.Â
Maka dari itu, orangtua perlu memahami perkembangan anak. Pemahaman itu dibarengi dengan keterbukaan untuk menerima kenyataan bahwa anak mempunyai tendensi kesukaan pada lawan jenis hingga mempunyai pacaran.Â
Selama tinggal di Filipina dan memperhatikan pola pendidikan orangtua di sini, ada salah satu hal yang menarik saat orangtua melihat anak mereka berpacaran.Â
Orangtua umumnya begitu terbuka apabila anaknya berpacaran. Tak sedikit orangtua begitu bangga dan senang bercerita dan berkenalan dengan pacar dari anak mereka.Â
Bahkan tak sedikit anak yang berani untuk memperkenalkan, membawa pacar mereka ke rumah dan diperlakukan seperti keluarga.Â
Pengamatan saya barangkali masih subjektif karena tanpa data yang akurat. Akan tetapi, saya melihat bahwa pola pendidikan yang saya amati secara pribadi memberikan keterbukaan dan menciptakan pengertian di antara pelbagai pihak, terlebih khusus orangtua, anak, dan si pacar dari anak.Â
Semakin anak terbuka, semakin luas peluang orangtua untuk mengarahkan anak pada bagaimana semestinya berpacaran. Apalagi si pacar dari anak  diperlakukan laiknya anak daripada pacar anak mereka semata.Â
Perlakuan itu tak mengikat si laki-laki/perempuan untuk menjadi menantu di kemudian hari. Toh, tak sedikit yang berpisah dan berpacaran dengan orang lain. Namun, relasi di keluarga tetap berjalan biasa-biasa saja, dan melihat kegagalan berpacaran dari anak sebagai masalah.Â
Pola pendidikan orangtua yang mengetahui anak mereka mempunyai pacar dan mengenal pacar anak mereka memberikan beberapa keuntungan.Â