Mohon tunggu...
Dono Satrio
Dono Satrio Mohon Tunggu... -

chief researcher Human Study & Neuronomics Q-Pro Nusantara Foundation. Co-creator universal interstudies forum of youth (@UNIFY_Org) focus on unifying paradigm through scientific worldview.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inside Job, Global Financial Meltdown 2008

1 Desember 2013   13:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah film dokumenter yang bisa dikatakan berani dalam hal membongkar fakta dibalik krisis ekonomi 2008.Film yang berjudul Inside Job ini mampu meraih penghargaan yang sangat bergengsi di acara piala Oscar 2011,tidak hanya itu film yang disutradari oleh Charles Ferguson ini sangat kritis serta penuh dengan asal-usul mengapa industri finansial di negeri paman Sam itu bisa bergejolak secara global.Charles Ferguson sebelumnya telah sangat berhasil menguliti motif George W. Bush dalam menginvasi Iraq dalam film No End In Sight. Dengan resume seperti ini, mudah ditebak kalau Inside Job juga disemangati oleh cara pandang liberal yang kombatif terhadap apapun yang dilakukan oleh pemerintahan dan kelompok konservatif di Amerika Serikat.

Tesis utama film ini adalah sesuai dengan conventional wisdom liberal di Amerika Serikat, bahwa krisis finansial adalah hasil dari tidak berdayanya negara dalam meregulasi pasar,dalam hal ini pasar modal yang tumbuh menjadi semakin kompleks seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Ketiadaan regulasi ini datang bukan semata-mata impotensi negara namun juga karena terdapat upaya agresif dari pelaku pasar, di Wall Street terutama, untuk menolak regulasi.Tesis yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh ekonom pemenang Nobel Joseph Stiglitz di Free fall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy.(crisologist) ini kembali memaparkanpersoalan yang dihadapi bersifat mendasar dan sistemik. Dia mengatakan,”Finding root causes is like peeling back an onion”.

Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis keuangan global lebih buruk dari Great Depression pada era 1930-an. Krisis ini telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan menderita(Baca: Washington Post). Sementara itu, menurut Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang menakutkan, Pernyataan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.

Dalam Inside Job, diceritakan bahwa puncak dari penolakan terhadap regulasi yang kemudian menjadi penyebab dari krisis keuangan 2008 adalah di amandemennya Undang-Undang Glass-Steagal Act yang melarang konsolidasi lembaga keuangan besar. Inside Job dengan sinis menyimpulkan bahwa UU tersebut dicabut hanya untuk memberi kesempatan kepada Citigroup untuk melakukan merger raksasa yang memungkinkan dirinya menguasai sektor keuangan dari hulu-ke hilir. Dicabutnya Glass-Steagal Act ini terjadi ketika pasar keuangan Amerika Serikat sedang dibuat mabuk oleh instrumen-instrumen keuangan yang luar biasa kompleks semacam derivatives, yang bisa dibayangkan sebagai kasino, hanya saja melalui derivatives ini apapun bisa diperjudikan, mulai dari harga minyak di masa depan, cuaca, angka pengangguran dan indeks-indeks ekonomi lain.

Tanpa regulasi yang mencukupi semua teknologi industri keuangan yang makin canggih hanya bisa dipahami oleh para pekerja industri keuangan dan paling tidak mereka yang bergelar Ph.D di bidang ekonomi.Lembaga-lembaga keuangan besar semacam Citigroup, Bear Stearns, Lehman Brothers dan Goldman Sachs bisa makin leluasa berjudi dengan bantuan dari lembaga-lembaga rating credit semacam Standards & Poor, Moody serta Fitch yang selalu siap memberi peringkat AAA, tidak peduli seberapa busuk instrumen keuangan yang sedang diperdagangkan. (Salah satu adegan dramatis film ini adalah footage C-SPAN di mana anggota Kongres Carl Levin membentak-bentak Lloyd Blankfein karena mengetahui adanya “shitty deal” namun tetap memberi lampu hijau untuk terjadinya transaksi).Mereka yang bergelut di lembaga-lembaga keuangan tersebut mampu menciptakan ilusi ekonomi dengan menggunakan instrumen-instrumen derivatives seperti collateralized debt obligation (CDO) yang menjadi sasaran permainan judi.

Dengan ilusi ekonomi inilah yang juga digunakan oleh para pemain di Wall Street untuk selalu menghindar dari regulasi. “Kamu bisa membawa seratus Ph.D matematika dan tetap tidak akan mengerti instrumen-instrumen keuangan ini,” demikian yang Alan Greenspan kepada Robert Gnaizda, seorang advokat yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Federal Reserve yang dipimpin oleh Alan Greenspan. Transaksi-transaksi derivative yang bertumpuk satu di antara lain itulah kemudian yang membuat semua rumah kartu itu runtuh di akhir tahun 2007 dan segera berubah menjadi krisis keuangan global.Dengan semakin bebas memperbanyak instrumen-instrumen keuangan maka para broker itu semakin punya kesempatan mendapat keuntungan. Karena seberapa busuk pun instrumen keuangan yang diperdagangkan, mereka tetap akan mendapat komisi dan bonus yang segera berubah menjadi jet pribadi, rumah di Hamptons atau apartemen ultra-mahal di Upper East Side atau seberang Central Park.

Dengan alur cerita semacam ini, sesungguhnya tidak ada yang baru dengan film Inside Job. Bahkan penjahat dalam film ini juga masih yang itu-itu juga, orang-orang anti-regulasi semacam Alan Greenspan, Robert Rubin, Larry Summers, Timothy Geithner, Henry Paulson. Di pihak lain, pahlawannya karakter seperti Eliott Spitzer, Dominique Strauss-Kahn yang sosialis, ekonom Nouriel Roubini dan serta kapitalis anti fundamentalis pasar George Soros. (Salah satu kejutan penting di film ini adalah kemunculan Spitzer, bekas Jaksa Agung New York yang rajin memprosekusi penjahat Wall Street serta Dominique Strauss-Kahn yang ketika diwawancarai untuk film ini masih menjabat sebagai direktur pelaksana International Monetary Fund (IMF).

Kedua orang ini punya nasib yang hampir sama, jatuh dari posisi yang sangat tinggi karena masalah seks entah mereka dijebak atau melakukan kesalahan atas keinginan sendiri itu masalah lain. Kejatuhan mereka karena masalah seksual ini juga sekaligus mencerminkan betapa gawat dan jahatnya urusan yang berkaitan dengan finansial dan industri keuangan, sesuatu yang juga coba dibuktikan oleh Inside Job. Dalam film ini digambarkan, lengkap dengan wawancara dengan germo-germo kota New York, tentang betapa besarnya kontribusi Wall Street terhadap industri prostitusi kota ini, karena narkoba dan pelacur memang menjadi sarana sah untuk menjamu nasabah dan pelaku industri keuangan yang lain.

Satu-satunya hal baru dari Inside Job adalah keberanian sutradara untuk mengarahkan telunjuk kepada para akademisi, ilmuwan-ilmuwan ekonomi dari universitas terkemuka Ivy League Amerika Serikat yang telah secara sadar menjadi bagian industri keuangan Wall Street dengan menerima posisi sebagai direktur, komisaris, peneliti atau konsultan di lembaga-lembaga semacam Goldman Sachs, Citigroup atau  Standards & Poor serta paling tidak melakukan penelitian dan memberi rekomendasi tentang instrumen derivatives sebagai penyelamat ekonomi dunia, serta memberi angin surga tentang stabilitas ekonomi dunia ketika sesungguhnya sudah ada di tepi jurang. Para ilmuwan tersebut juga memberi layanan yang disebut sebagai “economic academic experts-for-hire industry” dengan mendirikan firma konsultansi semacam the Analysis Group, Charles River Associates, Compass Lexecon, and the Law and Economics Consulting Group (LECG).

Bagian yang paling menarik dari film ini justru ketika sutradara Charles Ferguson dengan begitu galaknya mencecar profesor-profesor terhormat itu dengan pertanyaan yang menggugat keterlibatan mereka di industri keuangan. Dan dengan sangat berhasil Ferguson menampilkan mereka seperti tertangkap basah dalam kejahatannya. Dalam wawancara mereka banyak yang hanya diam, tersenyum canggung, atau bahkan marah-marah tanpa jawaban yang menolak atau mengafirmasi tuduhan sang sutradara.

Profesor Ekonomi Harvard Martin Feldstein, arsitek deregulasi ekonomi era Reagan yang kemudian menjadi komisaris AIG, hanya diam termangu ketika Charles Ferguson menanyakan keterlibatanya di sektor keuangan swasta. Glenn R. Hubbard dari Columbia University yang juga menjadi penasihat ekonomi George W. Bush malah marah dan mengusir Ferguson ketika menanyakan tentang sebuah paper yang memberi tentang optimisme terhadap instrumen derivatives yang dia co-author dengan seorang ekonom Goldman Sachs. Sementara, Larry Summers dari Harvard, Laura Tyson dari Berkeley yang sekarang menjadi komisaris Morgan Stanley sama seperti Alan Greenspan, Geithner,dan Paulson menolak diwawancara untuk Inside Job.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun