Kebijakan perpajakan dan sistem administrasi terpadu. Perdirjen Pajak No. 11/PJ/2025 ditetapkan 22 Mei 2025 dan berlaku segera. Peraturan ini disusun dalam rangka implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP), dengan tujuan memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, dan peningkatan pelayanan fiskal. Dasar hukum PER-11/PJ/2025 adalah UU KUP, UU PPh, UU PPN/PPnBM, UU Bea Meterai dan peraturan pelaksana terkait (termasuk PMK 81/2024 pasal 465 tentang SIAP). Kewenangan Dirjen Pajak mengatur tata cara administrasi pajak diamanatkan oleh UU KUP pasal 23 ayat (7). Dengan demikian PER ini adalah peraturan teknis internal DJP (unit eselon I) yang menjabarkan kewajiban pelaporan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas.
Isi Pokok Regulasi
PER-11/PJ/2025 mengatur bentuk, isi, dan cara pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) untuk berbagai jenis pajak dan situasi, meliputi:
- PPh Pasal 21/26 (Pegawai/ORP):
- SPT Masa PPh21/26 (Pasal 3) berfungsi untuk melaporkan penghitungan PPh 21/26 yang terutang, pembuatan bukti potong, dan penyetoran pajak dalam satu masa pajak. SPT ini mencakup PPh Pasal 21 dan 26 terkait pekerjaan/jasa Orang Pribadi.
- Pemotong PPh wajib membuat Bukti Potong Elektronik (eBupot) atas setiap pemotongan dan menyerahkannya ke penerima penghasilan, serta melaporkannya melalui SPT Masa PPh21/26. Dengan terbitnya SIAP, bukti potong dicetak melalui modul e-Bupot di portal WP atau sistem terintegrasi DJP.
- Data wajib dalam e-Bupot: NPWP pemotong, NPWP/NIK penerima, Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (jika ada cabang), dan tanda tangan elektronik pemotong. Bentuk formulir baru antara lain BPA1, BPA2, BP21, BP26 (diatur Pasal 6) untuk berbagai kategori pegawai/penerima (PNS/TNI/Polri, pegawai tetap, bukan pegawai tetap, WNA, dsb).
- SPT Masa PPh Unifikasi: Dirjen memperkenalkan SPT Massal "Unifikasi" untuk melaporkan pemotongan/pemungutan beberapa jenis PPh sekaligus (misal PPh 21, 23, 26) dalam satu masa pajak. Bukti Potong Unifikasi (Formulir BPPU untuk domestik, BPNR untuk nonresiden) dibuat melalui modul e-Bupot dan ditandatangani elektronik.
- PPN/PPnBM (Faktur Pajak):
- Setiap PKP wajib memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pungut (Pasal 30 ayat 1). Faktur harus berbentuk elektronik dan memuat keterangan penyerahan (Pasal 30(3)). Faktur untuk konsumen akhir (selain PKP) boleh tidak mencantumkan identitas pembeli.
- e-Faktur: Dibuat elektronik menggunakan modul di Portal Wajib Pajak atau aplikasi perpajakan terintegrasi DJP (penyedia jasa aplikasi). Setelah dibuat, eFaktur wajib di-upload ke DJP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya, dan hanya dianggap sah jika mendapat persetujuan DJP. Nomor seri faktur diberikan otomatis saat upload.
- Faktur Kertas (Force Majeure): Pasal 30(8) mengizinkan PKP menerbitkan faktur kertas khusus bila terjadi keadaan kahar (bencana alam/sosial) yang mengganggu e-Faktur. Faktur kertas dibuat sesuai format Lampiran D dan kemudian harus di-upload ke sistem e-Faktur setelah sistem pulih (diatur Pasal 61).
- Pelaporan Pajak Masukan Tidak Dikreditkan (B3): Jika PKP memiliki pajak masukan yang tidak dikreditkan (misalnya pilih tidak dikreditkan), wajib melaporkannya dalam formulir B3 -- Daftar Pajak Masukan Tidak Dikreditkan dalam SPT Masa PPN. Lampiran E PER-11 mengatur penggunaan Formulir B3 untuk kasus ini.
- Bea Meterai:
- SPT Masa Bea Meterai (Pasal 77-78) digunakan oleh pemungut meterai untuk melaporkan pemungutan dan penyetoran meterai. Struktur SPT terdiri dari formulir induk (L1) dan lampiran:
- L1 -- Induk SPT Masa Meterai.
- L2 -- Daftar pemungutan menggunakan Meterai Elektronik.
- L3 -- Daftar dokumen yang tidak bisa dibubuhi Meterai Elektronik (termasuk meterai teraan digital).
- L4 -- Daftar dokumen yang mendapat pembebasan bea meterai.
(Seluruh SPT Masa Meterai berbentuk dokumen elektronik.)
- Informasi yang harus dilaporkan meliputi jumlah dokumen dan nilai meterai yang dipungut, cara pemungutan, dan jumlah penyetoran per periode. Direktorat Jenderal Pajak menyediakan data pembubuhan meterai elektronik/tera digital untuk pengisian L2--L3 (Pasal 79).
- SPT Masa Bea Meterai (Pasal 77-78) digunakan oleh pemungut meterai untuk melaporkan pemungutan dan penyetoran meterai. Struktur SPT terdiri dari formulir induk (L1) dan lampiran:
- SPT Tahunan Pajak Penghasilan:
- Aturan PER-11 menambah lampiran SPT Tahunan Badan. Pasal 85(1)b menetapkan hingga 22 jenis lampiran yang mungkin harus diisi WP Badan, sesuai kriteria. Contoh lampiran:
- Lampiran 1A--1L: Rekonsiliasi laporan keuangan per sektor usaha (wajib memilih satu sesuai jenis usaha).
- Lampiran 2: Daftar kepemilikan (afiliasi).
- Lampiran 3: Daftar PPh yang dipotong/dipungut pihak lain.
- Lampiran 4: Penghasilan yang bersifat final atau bukan objek pajak.
- Lampiran 5: Rekap peredaran bruto (omzet).
- Lampiran 6: Daftar angsuran PPh 25 tahun berjalan.
- Lampiran lainnya (7--14) meliputi kompensasi rugi, fasilitas tarif 31E, penyusutan/amortisasi, transaksi afiliasi, RPT/LB, fasilitas investasi, fasilitas PPh Badan, dan penggunaan sisa lebih.
- Format dan petunjuk pengisian lampiran disertakan dalam lampiran peraturan. SPT Tahunan WP Badan wajib disusun sesuai contoh format (rupiah/dolar) dan dilengkapi lampiran sesuai ketentuan.
- Aturan PER-11 menambah lampiran SPT Tahunan Badan. Pasal 85(1)b menetapkan hingga 22 jenis lampiran yang mungkin harus diisi WP Badan, sesuai kriteria. Contoh lampiran:
- Ketentuan Umum Lainnya:
- Bentuk, isi, dan cara penyampaian SPT Masa PPh 25 bagi bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak Publik, dan lainnya diatur (Pasal 2(1)e).
- Tata cara umum SPT (penyampaian, tanda tangan, penerimaan/diproses DJP) dijelaskan (Pasal 2(2), Bab III).
- Persyaratan formal faktur, konsekuensi denda jika tidak sesuai, serta masa pajak penghitungan kredit disesuaikan dengan ketentuan KUP dan PPN.
Analisis Hukum Ketentuan
- PER-11/PJ/2025 bersifat administratif-teknis, menegaskan tata cara pelaporan tanpa mengubah substansi tarif atau objek pajak. Semua ketentuan baru harus konsisten dengan asas-asas hukum pajak.
- Dirjen Pajak bertindak berdasarkan mandat UU KUP Pasal 23 ayat (7), yang memberi wewenang mengatur tata cara pungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Dengan demikian PER ini adalah pelaksanaan kewenangan tersebut, serta pelengkap PMK 81/2024 (SIAP) yang menuntut digitalisasi penuh pelaporan perpajakan.
- Beberapa ketentuan PER-11 memperkuat atau mensyaratkan penggunaan sistem elektronik (e-Faktur, e-Bupot, portal DJP). Hal ini sesuai perubahan UU KUP/UU pajak yang mengamanatkan transaksi elektronik. Sebagai peraturan turunan (Direktur Jenderal), PER-11 tidak boleh bertentangan dengan UU PPh, PPN atau PMK; ia hanya menjabarkan teknis pelaksanaannya.
- Dalam praktiknya, PER ini menyederhanakan beberapa prosedur (misalnya form unifikasi) namun juga menambah beban pelaporan (lampiran tambahan). Analisis: kebijakan ini didukung oleh regulasi lebih tinggi (permen, UU) agar core tax system bekerja efektif, sehingga secara hukum sah.
Implikasi Praktis bagi Perusahaan dan Praktisi Pajak
- Persiapan Sistem & SDM: Perusahaan harus memperbarui sistem informasi (ERP/penggajian) untuk mengeluarkan eBupot PPh21/26 sesuai format baru dan menghasilkan faktur pajak elektronik (via portal DJP atau API resmi). Tim IT dan pajak perlu sinkronisasi dalam implementasi teknis (sertifikat elektronik, modul e-Faktur).
- Pendidikan dan Prosedur Internal: Departemen pajak/keuangan perlu memahami detil formulir baru (BPA1/BPA2/BP21/BP26, BPPU/BPNR, formulir L1--L4, dsb) dan mengedukasi staf tentang cara isi/submit yang benar. Membuat SOP internal untuk: pembuatan dan upload e-Faktur, pengisian e-Bupot dengan data NPWP/NIK lengkap, serta penanganan formulir lampiran SPT Tahunan baru.
- Ketelitian Data: Harus diperhatikan pencantuman NPWP dan Nomor Identitas Usaha dengan benar dalam e-Bupot (Pasal 5). Misalnya, pemotong dengan beberapa kantor harus mencantumkan nomor identitas masing-masing cabang dalam bukti potong. Begitu juga data pendukung di lampiran SPT (kode sektor, detail transaksi) harus akurat.
- Lapor Tepat Waktu: Karena e-Faktur hanya sah setelah upload sebelum tenggat (tgl.20), perusahaan mesti menjadwalkan dan mengawasi proses upload faktur. Keterlambatan atau kelalaian upload dapat menghilangkan hak kredit PPN dan menimbulkan sanksi.
- Handle Situasi Kahar: Jika terjadi gangguan sistem (misalnya bencana), perusahaan dapat menerbitkan faktur kertas khusus sesuai PER-11 (Pasal 30(8)). Namun, setelah sistem pulih, data faktur tersebut wajib diunggah ke e-Faktur untuk divalidasi. Perlu prosedur internal untuk skenario ini.
- Pelaporan Pajak Masukan: Praktisi harus mengingatkan klien PKP untuk tetap isi Formulir B3 jika ada pajak masukan tak dikreditkan. Bila tidak, informasi perpajakan tidak terekam lengkap dalam SPT.
- Penggunaan Fasilitas Coretax: Wajib Pajak dianjurkan memanfaatkan modul-modul SIAP (portal WP, e-Bupot, e-Faktur, e-Lapor) yang disediakan DJP agar sesuai PER-11. Misal, permohonan revaluasi aset kini via modul administrasi di portal (sejalan dengan PER-8/PJ/2025).
- Pelaporan Lengkap: Contoh: perusahaan manufaktur besar harus lengkapi Lampiran 1A (rekonsiliasi keuangan industri) dan lampiran tambahan lain (misal 11A) saat SPT Tahunan. Konsultasikan hal ini dengan konsultan pajak dan akuntan perusahaan agar data yang dilaporkan memadai.
Perbandingan dengan Ketentuan Sebelumnya
- Penggantian PER Lama: PER-11/PJ/2025 banyak menggantikan ketentuan Direktorat Jenderal lama. Misalnya, Perdirjen No. PER-03/PJ/2022 (Faktur Pajak) dan No. PER-11/PJ/2022 (perubahan PER-03/2022) dicabut/tersusun ulang untuk kebutuhan SIAP. Ketentuan lama hanya berlaku terbatas (misal untuk PKP tertentu di PER-13/PJ/2024).
- e-Faktur: Sebelumnya e-Faktur hanya bisa dibuat melalui situs DJP; PER-11 menambahkan opsi via modul di portal atau penyedia aplikasi terintegrasi (Pasal 40). Kodifikasi NSFP dan format faktur mengikuti lampiran yang sama, tapi mekanisme pembuatan lebih fleksibel. Batas waktu upload faktur diperjelas (20 hari bulan berikutnya).
- e-Bupot: Penggunaan e-Bupot sudah ada (PER-1/PJ/2020), tetapi PER-11 menyatukan dan meng-detailkan berbagai jenis formulir bukti potong (BPA1/2, BP21, BP26, BPPU, BPNR) serta integrasi e-signature secara eksplisit. Formulir "Unifikasi" adalah penyesuaian baru dari ide konsolidasi multiple jenis potongan menjadi satu SPT.
- SPT Masa Bea Meterai: Sebelumnya SPT meterai diatur terpisah (PMK 124/2024); PER-11 memasukkan (Pasal 77--79) dan menetapkan format baru elektronik (L1--L4).
- SPT Tahunan WP Badan: Lampiran SPT Tahunan kini lebih banyak dibanding dulu. PER lama (sampai 2024) paling hanya punya Lampiran penghasilan final atau afiliasi terbatas; sekarang ada 22 jenis lampiran komprehensif.
- Pembatalan/Perbaikan Dokumen: Ketentuan pembetulan Faktur atau Bukti Potong (Pasal 52--53, 60--62) disesuaikan dengan elektronifikasi (misalnya pembatalan e-Faktur via modul). Prosedur lama banyak dikonsolidasikan.
- Dukungan Legislatif: PER-11 menindaklanjuti pengaturan UU Cipta Kerja yang merevisi UU PPh, PPN, BM; sehingga banyak istilah dan kode pajak di-update sesuai ketentuan terbaru (misalnya implementasi tarif 11%).
Contoh Kasus / Ilustrasi Penerapan
- Faktur Kertas karena Bencana: PT X terkena banjir sampai jaringan internet terputus. Sesuai Pasal 30(8), X mengeluarkan faktur pajak kertas (mengikuti contoh lampiran PER-11) untuk pembeli BKP. Begitu keadaan pulih, X meng-upload faktur tersebut ke sistem e-Faktur untuk mendapat persetujuan DJP.
- Pajak Masukan Tidak Dikreditkan: CV Y membeli barang kena pajak dengan PPN Rp5 juta namun memilih tidak dikreditkan (misalnya karena belum diklaim fasilitas). CV Y wajib mencatat ini di Formulir B3 SPT Masa PPN bulan itu, meskipun pajaknya tidak dihitung sebagai kredit.
- Bukti Potong Cabang: PT Z memotong gaji karyawan di kantor pusat dan kantor cabang berbeda kota. Dalam e-Bupot, PT Z harus mencantumkan Nomor Identitas Usaha masing-masing lokasi sesuai Perdirjen 5(2). Misal, setiap bukti potong cabang memiliki NPWP perusahaan dan KODE tempat kegiatan cabang.
- Lampiran SPT Tahunan: PT M (perusahaan manufaktur) yang memenuhi kriteria harus mengisi Lampiran 1A (laporan fiskal industri) pada SPT Badan. Ia juga melaporkan Lampiran 11A (rincian biaya tertentu) dan Lampiran 3 (daftar PPh potong 3rd party) sesuai jenis aktivitas usahanya.
- Formulir Unifikasi: Kantor akuntan memotong fee konsultan dalam negeri (PPh Pasal 21) dan fee konsultan luar negeri (PPh Pasal 26) kepada satu pihak pada bulan Juni. Kini mereka membuat satu Bukti Potong Unifikasi (Formulir BPPU) yang mencatat kedua pemotongan tersebut sekaligus, sesuai Pasal 18.
Risiko Kepatuhan & Strategi Mitigasi
- Risiko Kesalahan Format: Salah isi lampiran (misalnya salah memilih Lampiran 1 sektor usaha) atau kelalaian upload e-Faktur bisa menyebabkan penolakan SPT atau denda administrasi. Mitigasi: Buat checklist internal, gunakan modul DJP resmi (pastikan format ter-update), dan uji coba pengisian SPT sebelum pelaporan.
- Risiko Data Tidak Sinkron: Data NPWP/NIK/Alamat yang tidak konsisten antara Sistem Akuntansi dan DJP (misal NPWP lama, perubahan nama) dapat memicu perbedaan data di e-Faktur/e-Bupot. Mitigasi: Lakukan rekonsiliasi data secara periodik, update data NPWP/izin usaha, dan manfaatkan fitur pengelolaan profil WP di portal DJP.
- Risiko Kelalaian Tanggal: Tidak memenuhi tenggat upload e-Faktur (20 hari) atau setoran pajak (PPh21/26) tepat waktu akan berujung denda. Mitigasi: Atur pengingat jadwal dan verifikasi otomatis di sistem, serta alur kerja berjenjang untuk supervisi sebelum tanggal jatuh tempo.
- Risiko Keadaan Kahar: Meskipun ada kelonggaran faktur kertas, pengusaha harus mencatat peristiwa bencana secara dokumentatif agar dapat dibuktikan jika perlu (surat resmi penetapan situasi darurat DJP). Mitigasi: Simpan bukti pendukung (laporan bencana, surat edaran DJP), dan persiapkan mekanisme cetak faktur cadangan.
- Risiko Compliance Review: Pelaporan tidak lengkap (mis. melewatkan Form B3 atau lampiran SPT) dapat memicu pemeriksaan pajak. Mitigasi: Lakukan quality control internal (audit kecil pasca-SPT), dan jika memungkinkan, konsultasikan hasil laporan ke konsultan pajak sebelum final.
Rekomendasi Implementasi
- Sosialisasi Internal: Segera informasikan perubahan PER-11 kepada seluruh tim pajak/keuangan. Adakan workshop atau training tentang formulir baru (BPPU, L1--L4, dsb).
- Optimalkan Sistem: Pastikan sistem akuntansi dan payroll perusahaan di-update dengan modul e-Bupot/e-Faktur terbaru. Koordinasi dengan vendor software atau DJP agar integrasi lancar.
- Perbarui SOP/Prosedur Kerja: Buat prosedur tertulis baru yang mencakup langkah-langkah pembuatan/upload dokumen elektronik, pemeriksaan lampiran SPT, dan penanganan situasi khusus (kahar).
- Pengawasan dan Uji Coba: Lakukan simulasi pelaporan SPT dan faktur pada periode transisi (misal Maret--April 2025) untuk mengidentifikasi potensi masalah. Libatkan divisi IT dan compliance dalam pengujian.
- Monitoring Kebijakan Pajak: Pantau publikasi DJP dan konsultasikan dengan ahli pajak isu interpretasi pasal-pasal baru (misal kriteria wajib lampiran SPT). Gunakan sumber resmi (JDIH, paultikasi DJP) untuk klarifikasi.
- Kolaborasi Intern--Eksternal: Bentuk tim lintas fungsi (keuangan, IT, legal) untuk memastikan implementasi PER-11. Pertimbangkan juga berkonsultasi dengan kantor akuntan publik atau konsultan pajak agar sesuai best practice.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI