Lila terdiam. Tangisnya mulai mereda, tapi masih ada sisa gemetar di suaranya. "Kalau begitu... apa yang harus aku lakukan, Bu?"
Sari menatap putrinya lekat-lekat, lalu berkata dengan suara penuh keyakinan:
"Jangan salahkan dirimu sendiri."
"Ketika seseorang memilih pergi, itu bukan berarti kau kurang. Kadang, itu hanya berarti mereka tidak mampu menghargai apa yang kau berikan. Ingat, Nak, kehilangan orang yang tidak bisa melihat nilai dirimu bukanlah kerugian. Itu justru penyelamatan."-
"Pelajari luka, jangan lari darinya."
"Banyak orang buru-buru mencari pengganti untuk menutup rasa sakit. Padahal, hati yang dipaksa sembuh hanya akan robek lagi. Hadapilah sakit itu, pahami, lalu biarkan ia sembuh dengan sendirinya. Luka adalah guru terbaik." "Bangun dirimu, bukan hanya hubunganmu."
"Perempuan sering lupa, bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari dicintai orang lain. Kau punya mimpi, punya bakat, punya masa depan. Jangan biarkan kepergian seseorang mencuri kesempatanmu untuk bersinar.""Jangan pernah mengemis cinta."
"Kalau ada yang benar-benar mencintaimu, dia tidak akan membuatmu merasa harus memohon untuk dipertahankan. Cinta yang sejati datang dengan kesetiaan, bukan paksaan.""Percaya bahwa waktu membawa obat."
"Dulu aku pikir aku tak akan pernah bisa tersenyum lagi setelah ditinggal ayahmu. Tapi lihatlah sekarang. Aku bisa tertawa, bahkan aku bisa membesarkanmu sendirian dengan hati yang utuh. Semua itu butuh waktu, dan kau pun akan sembuh."
Lila menatap ibunya, matanya kini bukan hanya berair karena sedih, tapi juga karena tersentuh.
"Bu... Ibu bisa sekuat itu karena apa?"
Sari tersenyum lembut, meski ada sedikit getir di baliknya. "Karena aku memilih untuk hidup, Nak. Aku memilih untuk tidak membiarkan luka menguburku. Aku belajar bahwa perempuan yang menangis bukanlah perempuan yang kalah. Perempuan yang menyerah pada luka---itulah yang kalah. Aku ingin kau jadi perempuan yang selalu bisa berdiri, meski lututmu gemetar."
Hening sebentar. Lila menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Hujan di luar mereda, menyisakan aroma tanah yang segar.
"Aku takut, Bu..." bisik Lila. "Takut nggak ada lagi yang bisa sayang sama aku."