Hujan sore turun tanpa jeda, membasahi atap seng rumah sederhana di pinggir kota kecil itu. Di sebuah kamar berwarna biru muda, Lila terduduk di atas ranjangnya. Bahunya terguncang, wajahnya basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti.
"Dia ninggalin aku, Bu..." suara Lila parau, pecah di antara isakannya. "Dia milih perempuan lain. Aku nggak ngerti... apa aku kurang baik? Kurang cantik? Atau memang aku nggak pantas dicintai?"
Sari, ibunya, berdiri sejenak di ambang pintu. Perempuan itu berusia awal lima puluhan, wajahnya teduh meski garis waktu sudah terukir di sudut matanya. Ia menatap putrinya dengan sorot mata yang mengerti. Betapa ia pernah berada di titik itu---di mana dunia terasa runtuh hanya karena satu orang pergi.
Perlahan Sari melangkah masuk. Ia duduk di samping putrinya, menepuk bahu yang masih bergetar.
"Nak," katanya lembut, "aku ingin kau tahu... ini bukan pertama kalinya rumah ini mendengar tangisan karena ditinggalkan orang yang dicintai. Dulu, ibumu juga pernah menangis sekeras itu."
Lila mengangkat wajahnya, matanya sembab. "Ibu juga...?"
Sari mengangguk. Napasnya ditarik dalam, seolah menarik kembali ingatan yang dulu ingin ia kubur.
"Waktu itu, aku seusiamu. Bedanya, aku menangis bukan karena pacar, tapi karena suami yang memilih perempuan lain. Ayahmu."
Sunyi seketika mengisi kamar itu. Lila tertegun, seolah baru benar-benar memahami luka ibunya.
"Aku menangis berhari-hari," lanjut Sari. "Kupikir, hidupku sudah berakhir. Aku bahkan merasa tak ada lagi alasan untuk bangun dari ranjang. Tapi ternyata, waktu mengajariku sesuatu: hidup tidak berhenti hanya karena ada seseorang yang pergi."
Lila menelan ludah. "Tapi... rasanya sakit sekali, Bu. Aku nggak tahu gimana caranya bisa bangun lagi."
Sari meraih tangan putrinya erat-erat. "Rasa sakit itu wajar, Nak. Air mata itu bukan tanda kelemahan. Itu cara hati membersihkan dirinya dari racun. Tapi jangan biarkan air mata itu menenggelamkanmu. Biarlah ia jadi hujan yang menyuburkan, bukan banjir yang menghanyutkan."