Tak lupa, ada Liberika, si paling unik. Meskipun hanya sekitar 1 persen dari areal kebun, Liberika menuntut perhatian lebih karena karakteristiknya istimewa. Bijinya lebih besar, tahan hama, mampu tumbuh di dataran rendah bahkan tanah gambut---seperti Liberika Bengkayang di Kalimantan Barat---dan menawarkan cita rasa yang khas, kerap digambarkan sebagai smoky, woody, atau earthy. Membangkitkan Liberika adalah strategi diferensiasi produk Kopi Nusantara yang cerdas.
Dari Hulu ke Hilir: Edukasi dan Apresiasi di Roastery dan Jogja
Kisah di balik cangkir kopi ini tidak hanya soal data ekspor, melainkan juga soal upaya perbaikan kualitas di akar rumput. Tengoklah Alinda Kusuma, pemuda tani kopi Robusta di Lampung. Berkat pendampingan praktik pascapanen yang lebih baik, kualitas Robusta-nya meningkat, sehingga harganya di tingkat pengepul naik sekitar 15%. Kesaksiannya menunjukkan bahwa perbaikan kualitas adalah kunci menaikkan derajat Kopi Nusantara.
Lebih lanjut, pandangan dari pelaku industri hilir menguatkan pentingnya edukasi dan apresiasi terhadap keragaman ini. Ayuri Murakabi, dari Dongeng Kopi Roastery yang aktif dalam edukasi bersama Komunitas Kopi Nusantara di berbagai kota termasuk Jogja, sering menekankan bahwa memahami kopi bukan hanya soal ngopi, tetapi juga merawat prosesnya dari hulu ke hilir.
"Kopi terbaik Nusantara adalah yang mampu diceritakan. Mulai dari Arabika dengan proses natural yang eksplosif, Robusta yang diolah khusus untuk espresso yang kuat, hingga Liberika yang mengejutkan dengan karakter earthy-nya. Tugas kita sebagai pelaku industri dan roastery adalah mengedukasi agar penikmat kopi tahu cerita di balik rasa itu," katanya.
Perdebatan Arabika versus Robusta versus Liberika sejatinya adalah narasi tentang keseimbangan. Robusta memberikan kita ketahanan volume dan basis ekonomi yang kuat. Arabika menawarkan nilai premium dan citra spesialti di pasar global. Sementara Liberika memberikan keunikan rasa dan ketahanan agrikultur.
Memilih kopi yang "paling cocok" bagi kita---apakah itu Robusta Lampung yang pahit, Arabika Gayo yang asam buah-buahan, atau Liberika Bengkayang yang earthy---adalah langkah awal mengapresiasi keragaman ini. Kita harus memastikan bahwa kebanggaan kita pada gelar produsen kopi terbesar tidak hanya berhenti pada volume, tetapi juga menanjak pada kualitas dan diferensiasi rasa yang tak tertandingi. Inilah dongeng kopi sejati dari Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI