Mohon tunggu...
Dommy Waas
Dommy Waas Mohon Tunggu... -

Seorang Ayah yang berharap agar anaknya dapat menghargai dan bangga akan pluralitas bangsanya. Senang mempelajari agama-agama lain selain agama yang diyakininya. Selain menuangkan 'kegundahan' lewat artikel juga lewat puisi. Lebih dari itu...masih belajar menulis dengan baik. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menanggapi Statement Pak Suryadharma Ali

24 Februari 2011   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin berbagi pandangan mengenai apa yang diungkapkan Menteri Agama kita, Bapak Suryadharma Ali dalam sebuah berita yang dimuat oleh ANTARA. Entahlah, apa yang dimuat dalam berita tersebut adalah hanya bagian-bagian yang dipilih atau bukan oleh si pemuat berita. Namun amat disayangkan, pernyataan-pernyataan sang menteri ini bisa saja diinterpretasikan sebagai 'angin segar' atau 'lampu hijau' bagi para pengusung 'keteraturan' versi beliau, guna melancarkan pergerakan dan manuver yang lebih dramatik untuk menekan siapa saja yang dianggap berseberangan dengan pandangannya - tentu saja dengan klaim payung hukum dan dukungan pemerintah (kementerian agama). Hal ini justru merupakan 'lampu kuning' bagi mereka yang disebut sebagai penganut aliran 'kebebasan', penggiat HAM, penggiat demokrasi, bahkan yang disebut sebagai Islam liberal, karena kemungkinan akan ada kecenderungan munculnya mobilisasi massa, selain tulisan/artikel yang mendudukan kelompok ini pada posisi berseberangan dengan masyarakat luas.

Jika kita perhatikan isi berita tersebut, terlihat bahwa menteri agama kita ini langsung memposisikan diri cari aman. Nyaris terkesan netral, tapi di bagian-bagian akhirnya, terlihat ketidaknegarawanan beliau. Bisa jadi beliau harus 'setia' pada kesepakatan-kesepakatan partainya (PPP) atau memang sejak awal, beliau punya paradigma demikian. Tapi yang jelas, kita melihat bahwa ada semacam justifikasi terselubung dilakukan oleh beliau. Celakanya, hal ini bisa dimanfaatkan atau diakomodir oleh kelompok-kelompok yang menisbatkan diri berada di pihak aliran keteraturan. Kelompok-kelompok ini - biasanya mengatasnamakan ormas berbasis keagamaan - akan merasa diri berkewajiban bahkan berhak mutlak memperingatkan para penggiat HAM, penggiat demokrasi dan Islam liberal. Hal seperti demikian bukankah biasa terjadi, ketika beberapa fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dikeluarkan, lalu tak lama berselang terjadi intimidasi dan pergerakan masif yang dilakukan oleh sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Tentu, kita berharap tak terjadi demikian. Namun, siapa yang bisa menjamin?

Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan di sini. Pertama, soal UU perkawinan. Saya pikir, UU ini memang perlu digugat, setidaknya direvisi. Mulai dari judulnya saja sudah tak manusiawi: 'UU Perkawinan'. Tidakkah lebih tepat 'UU Pernikahan'? Kalau persoalan pernikahan sesama jenis, memang masyarakat kita secara umum akan menolaknya. Tapi, apakah mereka (WNI) yang mengadakan pernikahan sejenis (homoseksual) di sebuah negara yang UU Pernikahannya mengakomodir kondisi ini, nantinya punya hak yang sama dalam urusan birokrasi dan sebagainya? Singkatnya, apakah mereka bisa kembali ke Indonesia atau harus hengkang menjadi WNA? Adakah hal-hal ini diakomodir oleh UU Perkawinan kita saat ini? Jika disebutkan bahwa pemikiran semacam itu (mengakomodir pernikahan sejenis) tak bisa diterima karena tak sesuai dan sejalan dengan sistem nilai yang berlaku di Indonesia; lalu mengapa UU Perkawinan kita mengakomodir pernikahan heteroseksual (poligami) - yang juga tak sesuai dan sejalan dengan sistem nilai yang berlaku di Indonesia, bahkan juga secara universal? Biasanya hal ini selalu dinisbatkan pada Nabi Muhammad di abad ke-7 Masehi. Meski kita sama-sama tahu, bahwa kultur dan konteksnya jelas berbeda.

Kedua, mengenai kebebasan beragama yang perlu diatur. Apa tidak salah, nih? Koq yang diatur kebebasan beragama? Bukankah 'tidak ada paksaan dalam beragama'? Tidakkah kalimat ini bisa berarti bahwa Tuhan pun tak memaksakan seseorang beragama atau tidak? Saya pikir bukan kebebasan beragama yang perlu aturan. Yang perlu adalah adanya peraturan yang mendorong dan membangun setiap umat beragama, apapun agama/keyakinannya, bisa menumbuhkan toleransi, hormat menghormati, saling bekerjasama, membangun dialog, dan tidak curiga-mencurigai apalagi seenaknya memberi label/stigma 'sesat' atau 'kafir' pada individu, kelompok yang dianggap berseberangan.

Ketiga, soal kitab suci yang diubah. Kitab suci agama mana yang tidak pernah diubah (baca: digubah)? Tidakkah setiap kitab suci berisi kehendak, perintah, nasihat, pelajaran, didikan yang bersumber dari Tuhan, namun dibahasakan oleh manusia (para nabi dan perawi) dalam konteks komunitas dimana kitab suci itu menjadi 'final'? Dalam keterbatasan manusia, dimungkinkan adanya beragam interpretasi terhadap maksud Tuhan yang sesungguhnya, karena kita sebagai manusia -bahkan para nabi - tak akan bisa 100% menangkap maksud Tuhan itu. Tidakkah semestinya umat manusia dalam memahami dan memaknai kitab suci, senantiasa berubah dari zaman ke zaman, selain mengalami perkembangan peradaban yang lebih baik dan manusiawi? Soal penistaan agama, setiap agama punya takarannya masing-masing, jadi semestinya tidak boleh terjadi 'mengukur' penistaan agama berdasarkan takaran agama kita kepada umat beragama lain, dan sebaliknya. UU Penistaan Agama itu sebaiknya memayungi setiap anggota masyarakat, apapun agama dan keyakinannya.

Keempat, sistem atau nilai-nilai dari negara lain yang diadopsi. Pak Suryadharma Ali sebelumnya memberi contoh soal pembuatan kartun Nabi Muhammad di Barat. Secara implisit, ada kesan (maaf jika saya keliru) beliau ingin meletakkan dan menyatakan bahwa sistem/nilai-nilai dari Barat, otomatis tidak akan kompatibel dengan budaya Timur, khususnya Indonesia. Seolah HAM dan demokrasi itu adalah benda asing dari Barat yang tak dikenal dan bukan menjadi bagian dari sistem dan nilai-nilai manusia Indonesia sejak dulu. Memang, kita perlu sistem/nilai-nilai yang sesuai dengan konteks Indonesia. Kita tak bisa copy-paste sistem/nilai-nilai demokrasi ala Amerika di Indonesia, itu jelas. Namun, tak berarti tidak ada sama sekali hal-hal yang bisa diadopsi dari Barat oleh bangsa ini. Pada kenyataannya sistem demokrasi adalah sistem yang paling banyak dianut bangsa-bangsa didunia. Meski memang tetap punya celah dan kelemahan, tapi hingga saat ini, sistem ini adalah masih yang terbaik di antara sistem lainnya. Semestinya beliau tak hanya mencontohkan sistem/nilai-nilai yang tumbuh di Barat, tapi juga sistem/nilai-nilai di dunia Asia (Timur-Tengah), yang juga memiliki kemungkinan ketidakcocokkan dan kecocokkan dengan Indonesia. Hal ini supaya tidak terjadi salah persepsi dimasyarakat kita bahwa segala hal yang berasal dari Barat seolah pasti negatif (destruktif). Pandangan seperti ini justru menyesatkan. Jadi bukan hanya para penggiat HAM dan demokrasi yang harus berpikir ulang, tetapi para penganut ideologi non-demokrasi atau yang ingin menerapkan sistem/nilai-nilai salah satu agama tertentu (sistem misal: sistem khilafah, negara agama, dsb.) pun harus berpikir ulang, karena tak selaras dengan kenyataan pluralitas bangsa ini. Sebagai pejabat negara, semestinya beliau tak memposisikan HAM dan demokrasi itu berseberangan dengan nilai-nilai bangsa kita. Atau bahkan lebih jauh lagi diperhadapkan /dipertentangkan dengan agama.

Kelima, pernyataan beliau: "Sebab, jika dipaksakan akan menimbulkan gesekan sosial dan berimplikasi tingginya ongkos sosial". Pernyataan ini bisa kita interpretasikan sebagai: peringatan, ancaman atau cuci tangan dari tanggung jawabnya. Seolah-olah beliau sedang berupaya untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari munculnya gesekan sosial, tapi bisa jadi sedang melindungi kepentingan dirinya atau kelompoknya. Pernyataan inipun bisa dimanfaatkan dan menjadi justifikasi bagi kelompok-kelompok tertentu dalam bertindak dengan cara kekerasan terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi dan berseberangan.

Keenam, memang ada yang salah dengan filsafat, Pak? Bukankah fakta historis menyebutkan bahwa para tokoh agama yang berbeda (Islam-Kristen), justru bahu-membahu menerjemahkan filsafat Yunani sehingga bisa memperkaya peradaban dunia? Memang jika terlalu berlebihan, apapun bisa berdampak negatif, baik filsafat, sains, bahkan agama. Bukankah ada tertulis: "Janganlah berlebih-lebihan dalam beragama"?

Ketujuh, jika beliau menghimbau para mahasiswa agar menghindari diri dari Islam liberal. Ini bisa dikategorikan semacam intervensi kepada generasi muda untuk berpihak sekaligus 'memberangus'  wacana keislaman. Sebaiknya juga beliau menghimbau agar para mahasiswa yang belajar di negara asing (di Barat, Timur, Timur-Tengah, dsb.) juga mewaspadai/memfilter diri dari pengaruh Islam yang mengusung gerakan transnasional (Wahabisme, Kawarij, Taliban), meski aliran ini cenderung mengklaim mati-matian sebagai ajaran Islam yang 'paling benar' dengan cara-cara yang justru berseberangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Infiltrasi Islam transnasional ini sudah merasuk ke beberapa organisasi Islam besar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah. Untuk lebih jelasnya silahkan mengunduh buku "ILUSI NEGARA ISLAM".

Jadi kepada para generasi muda dan masyarakat Indonesia. Tetaplah waspada terhadap pernyataan-pernyataan yang mengerdilkan intelektualitas masyarakat kita dan menggiring kita pada sudut pandang tertentu secara subyektif. Meski mengatasnamakan kepentingan agama, kepentingan masyarakat/bangsa, bahkan meski itu keluar dari mulut Menteri Agama sekalipun.

For Peace & Humanity

Bandung, 24 Februari 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun