Beberapa tahun ini, selain menjalani tugas sebagai pengajar, sering tanpa direncanakan saya terkondisi menjadi tempat curhat dan teman sharing mahasiswa. Sebagai kelompok yang secara usia kronologis telah meninggalkan kategori remaja dan memasuki awal masa dewasa, mereka tak luput dari banyak sekali persoalan baik individual maupun sosial. Persoalannya pun beragam, dari persoalan yang biasa seperti masalah studi dan jatuh cinta, sampai yang perlu disikapi dengan serius seperti luka batin masa kecil yang terbawa sampai sekarang dan memengaruhi semua aktivitas mereka. Hanya maaf, saya tidak akan mendeskripsikan masalah mereka di sini. Tidak ada pikiran untuk menkhianati kepercayaan mereka. (Salam dua jari).
Dari sekian banyak masalah yg pernah diceritakan mahasiswa, beberapa masalah serius pernah membuat saya ikut pusing memikirkan cara memberikan bantuan yang tepat kepada mereka. Sampai kadang terlintas ide menyarankan beberapa kepada rekan-rekan yang menangani masalah klinis agar bantuan yang diberikan lebih tepat. Masalahnya, merekomendasikan seseorang untuk ditangani psikolog akan menimbulkan masalah lain. Kurangnya pemahaman tentang gangguan mental yang perlu ditangani ahlinya bisa menimbulkan citra negatif bagi subyek, dan malah akan memperparah kondisi.
Tulisan ini terinspirasi dari masalah yang pernah muncul dalam sharing bersama beberapa mahasiswa. Sebenarnya bukan masalah yang mereka alami. Dalam sharing itu mereka menceritakan apa yang mereka temui dalam kehidupan mereka, dan beberapa gejala dan ciri mirip, bahkan mendekati topik yang saya tulis ini.
Sebelum mengulas lebih lanjut tentang topik sebagaimana tertera pada judul, perlu dipahami dahulu satu hal penting yang kadang disalahpahami oleh kebanyakan orang. Dalam bidang psikologi, istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu sindrom atau pola perilaku atau gejala mental yang berkaitan dengan penderitaan atau hendaya subyek disebut gangguan mental atau mental disorder dan bukan penyakit mental (mental illness). Sebagai suatu gangguan, ada gejala yang menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikis pada subyek, dan gangguan tersebut menimbulkan disabilitas (keterbatasan/kekurangan kemampuan) dalam aktivitas sehari-hari.
APA itu BPD?
Baiklah, kita akan mulai dengan pertanyaan awal, apa itu Borderline Personality Disorder (selanjutnya disingkat BPD)? Dalam Psikologi (Klinis), BPD, yang diterjemahkan Gangguan Kepribadian Ambang, adalah salah satu gangguan kepribadian yang secara diagnostik diklasifikasikan dalam Cluster B pada DSM-5. Gangguan ini ditandai oleh ketidakstabilan dalam aspek emosi, perilaku, citra diri, kontrol impuls, dan hubungan interpersonal yang tidak stabil.
BPD merupakan gangguan mental yang memengaruhi cara seseorang berpikir dan merasa tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam menjaga hubungan yang stabil, mengatur emosi, dan memiliki citra diri yang konsisten. Gangguan ini biasanya mulai muncul pada masa remaja akhir atau awal dewasa, hadir dalam berbagai konteks, dan lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria.
Apa penyebabnya?
Penjelasan mengenai penyebab gangguan mental ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Dalam pendekatan psikoanalitik khususnya teori objek dari Otto Kernberg, BPD dianggap sebagai hasil dari kegagalan integrasi self-image dan object-image yang stabil pada masa kanak-kanak. Individu dengan BPD mengalami "splitting" (memisahkan objek menjadi baik atau buruk) karena ketidakmampuan untuk melihat orang lain secara holistik. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan dalam hubungan dan identitas.
Pandangan lain dari Aaron Beck dkk. menyatakan bahwa BPD berkembang akibat skema kognitif negatif tentang diri sendiri dan orang lain. Individu dengan BPD memiliki kepercayaan dasar bahwa mereka tidak dicintai, rentan ditinggalkan, dan tidak layak mendapat kasih sayang, sehingga mereka merespons dengan emosi dan perilaku yang ekstrem.
Teori lain yang mencoba memahami BPD Â adalah teori biososial. Marsha Linehan yang menganut teori ini berpendapat bahwa BPD berkembang dari interaksi antara Kerentanan biologis terhadap disregulasi emosi, juga karena lingkungan invalidatif, yaitu lingkungan yang tidak mengakui atau bahkan menghukum ekspresi emosi anak. Lingkungan semacam ini membuat individu tidak belajar cara yang sehat dalam memahami, mengekspresikan, dan mengatur emosi mereka.
Terakhir, ada pula teori dari aliran neurobiologis, yang mencoba melihat gangguan ini dari struktur dan kinerja otak. Studi ini, dengan mengacu pada citra otak menunjukkan bahwa individu dengan BPD memiliki aktivitas abnormal di beberapa bagian otak, khususnya pada amygdala dan prefrontal cortex. Amygdala yang terlalu aktif  membuat subyek sangat sensitif terhadap rangsangan emosional. Sedangkan prefrontal cortex yang kurang aktif menyebabkan kesulitan dalam pengendalian impuls dan pengambilan keputusan.
Baiklah, secara teoritis dapat disimpulkan bahwa BPD merupakan interaksi yang kompleks antara faktor biologis (neurobiologis dan genetik), psikologis (trauma masa kecil, pengasuhan), dan sosial (lingkungan yang invalidatif). Gangguan ini bukan hanya "masalah emosi" biasa, melainkan kondisi psikologis yang membutuhkan pemahaman holistik dan pendekatan terapi jangka panjang yang berfokus pada regulasi emosi, hubungan interpersonal, dan pemulihan identitas diri. Meski cukup umum terjadi, BPD seringkali disalahpahami dan membawa stigma negatif bagi penderitanya.
Indikasi BPD
Pertanyaan berikut, bagaimana mengenal dan mengetahui masalah BPD? Mengacu pada kesimpulan dari teori maupun praktik yang ada dalam bidang klinis, ada beberapa gejala yang umum dijumpai pada penderita BPD.
Dalam beberapa kasus, individu yang mengalami BPD mengalami perasaan takut ditolak dan ditinggalkan. Perasaan ini bukan hanya pada hal-hal yang ekstrem, tetapi juga terhadap hal-hal kecil, misalnya takut terhadap perpisahan meskipun perpisahan itu sesaat. Kadang, pada kasus yang berbeda, ketakutan akan penolakan dan ditinggalkan itu bahkan hanya ada dalam pikiran subyek sendiri. Ketakutan ini bisa muncul ketika orang terdekat tidak segera merespon pesan Whatsapp yang dikirim, tidak memberi kabar, tidak segera menerima panggilan telpon. Biasanya tindakan ini tidak direkayasa atau manipulatif, tetapi bagi subyek yang menderita, perpisahan dan ditinggalkan merupakan hal yang sangat menyakitkan.
Indikasi lainnya, subyek penderita menjalani suatu hubungan interpersonal yang intens namun tidak stabil. Dia yang pada menit sebelumnya penuh cinta kasih bisa menjadi penuh kebencian pada menit berikutnya. Subyek bisa mengalami hal yang disebut splitting, melihat orang lain sebagai yang sangat baik, juga sangat jahat pada saat yang bersamaan atau hampir bersamaan. Subyek bisa sangat benci dengan seseorang, namun pada saat ketika yang dibenci menjauh malah subyek ingin agar orang itu jangan pergi. (Rumit kan?).
Selanjutnya, subyek memiliki citra diri yang tidak stabil atau rasa identitas yang kabur. Penderita BPD seringkali tidak memiliki rasa identitas yang jelas. Mereka bisa merasa sangat yakin dengan siapa diri mereka, lalu berubah drastis dalam waktu singkat. Indikasi ini dapat muncul dalam bentuk perubahan nilai hidup, tujuan, jenis pekerjaan yang diinginkan, atau bahkan orientasi seksual. Contoh: pada siang hari merasa percaya diri dan mencintai diri sendiri, namun pada malamnya merasa tidak berharga dan membenci diri.
Gejala lain bisa ditunjukkan dengan perilaku impulsif biasanya terjadi di dua atau lebih area yang bisa membahayakan diri, seperti belanja berlebihan, seks berisiko, mengonsumsi alkohol berlebihan sampai narkoba, binge eating (makan berlebihan). Ada kalanya subyek mengalami suasana hati bisa berubah drastis dalam hitungan jam, dan tidak selalu berhubungan dengan peristiwa nyata. Perubahan emosi bisa sangat ekstrem, dari bahagia menjadi sangat marah lalu putus asa dalam satu hari. Perasaan ini bisa berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari. Bisa juga subyek merasa kekosongan atau kehampaan dalam diri, kemarahan yang meledak tak terkendali dan diluapkan dengan cara kekerasan baik fisik, psikis maupun verbal.
Dalam kondisi paling ekstrim, penderita bisa saja mengalami paranoid, curiga bahwa orang lain akan menyakiti mereka, atau mengalami disasosiasi. Subyek merasa bahwa mereka tidak nyata, melayang keluar dari tubuh mereka. Gejala paling serius adalah ancaman melukai diri sendiri. Subyek bisa menggundulkan rambutnya sendiri, melukai diri sendiri menggunakan berbagai sarana yang bisa digunakan seperti pisau, api dll.
Penanganan
Gejala BPD sangat mengganggu fungsi sosial, akademik, dan emosional seseorang. Namun, dengan diagnosis dini dan penanganan yang tepat, banyak individu dengan BPD bisa pulih, kembali normal, hidup sehat dan produktif. Meski tergolong serius, BPD bisa diatasi dengan pendekatan yang tepat. Terapi psikologis merupakan metode utama dalam penanganannya, seperti menggunakan Dialectical Behavior Therapy (DBT)Â untuk membantu penderita BPD mengatur emosi dan mengurangi perilaku merusak diri. Selain itu dapat digunakan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengubah pola pikir negatif dan meningkatkan kontrol diri, juga terapi kelompok dan dukungan sosial sehingga subyek merasa dimengerti dan tidak sendirian dalam perjuangannya. Dalam beberapa kasus, penggunaan obat-obatan juga dapat direkomendasikan untuk mengatasi gejala tambahan seperti depresi, kecemasan, atau gangguan suasana hati.
Pencegahan dan Penanganan BPD dalam Konteks Pendidikan
Pendidikan, khususnya di lingkungan sekolah dan kampus, dapat ikut berperan dalam dalam mendeteksi dan mencegah berkembangnya gejala BPD. Meskipun secara umum lembaga-lembaga pendidikan memiliki keterbatasan dalam mendiagnosis dan menangani BPD, namun dapat diupayakan suatu program pencegahan yang relevan untuk menghindari BPD. Hal ini dapat dilakukan dengan merancang suatu program atau kurikulum yang terintegrasi dengan pembelajaran emosional. Salah satu contohnya adalah desain pembelajaran emosional dan sosial (Social-Emotional Learning/SEL). Â Hal ini dapat membantu siswa mengenal dan mengelola emosi secara sehat, membangun empati dan hubungan interpersonal yang sehat dan mengembangkan self-awareness dan self-regulation.Â
Merancang dan menerapkan model sekolah atau kampus inklusif yang ramah bagi semua warga sekolah pun dapat dibuat dan diterapkan. Menciptakan lingkungan yang penuh empati dan pengakuan terhadap perasaan siswa maupun mahasiswa dapat mencegah berkembangnya pola interaksi yang maladaptif. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lingkungan invalidatif, yang mengabaikan, merendahkan, mengejek/menghina, atau menyepelekan emosi peserta didik diyakini menjadi salah satu faktor penyebab BPD. Para pendidik perlu mengenal tanda-tanda awal gangguan emosi dan kepribadian, serta perlu memahami cara merespons peserta didik yang emosinya tidak stabil tanpa mempermalukan atau menghakimi, kemudian menerapkan pendekatan yang sensitif trauma (trauma-informed approach).
Jika ada siswa yang menunjukkan gejala BPD (misalnya perubahan emosi ekstrem, ketakutan ditinggalkan, atau perilaku impulsif), maka diperlukan langkah penanganan yang tepat. Beberapa langkah penanganan yang dapat dilakukan pihak sekolah/kampus antara lain menyediakan layanan konseling individual guna membantu siswa mengenal pola pikir dan perasaannya, membangun komunikasi yang sehat antara lembaga pendidikan dan orang tua untuk memastikan dukungan sosial-emosional yang cukup. Dalam kasus yang lebih serius, lembaga pendidikan dapat memberikan rekomendasi penanganan kepada profesional, misalnya psikolog atau psikiater, jika kondisi membutuhkan intervensi lebih lanjut.
Sekolah/kampus perlu dijadikan sebagai tempat aman. Harus menjadi ruang di mana siswa merasa dihargai, didengar, dan tidak dihakimi. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengedukasi peserta didik dan pendidik tentang gangguan kepribadian dan kesehatan mental agar stigma terhadap siswa dengan kondisi seperti BPD berkurang. Dukungan teman sebaya bisa sangat membantu dalam meningkatkan rasa memiliki dan menurunkan rasa keterasingan.
Dalam konteks pendidikan, pencegahan BPD berakar pada penguatan karakter emosional, lingkungan yang validatif, dan pendidikan yang berorientasi pada kesejahteraan mental siswa. Sedangkan penanganannya memerlukan kolaborasi antara guru, konselor, keluarga, dan tenaga profesional. Semakin dini intervensi dilakukan, semakin besar peluang untuk mencegah berkembangnya gangguan kepribadian yang lebih parah di masa dewasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI