Mohon tunggu...
Domi Maghu
Domi Maghu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis adalah senjata terbaik mengungkap kemunafikan.

Saya adalah seorang mahasiswa ilmu administrasi negara. Saat ini sedang menyelesaikan studi di kota malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Sumba sebagai Obyek Wisata Tanpa Kesadaran Kelas

14 Mei 2020   00:00 Diperbarui: 14 Mei 2020   02:20 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada bulan Februari hingga April kita bisa menyaksikan Budaya pasola, dan pada bulan agustus sampai dengan Desember anda bisa menyaksikan berbagai pesta adat, mulai dari woleka, tarik batu kubur, gali tulang, hingga Ritual marapu lainnya.

Banyak Turis yang datang di daerah tersebut, baik turis lokal maupun turis dari negara luar, dengan memegang kamera di tangan dan sebagian coba beradaptasi dengan budaya Sumba dengan berpakain sama, Coba berbaur.

Setiap momen di potret oleh mereka, bahkan tempat yang di anggap paling kramatpun di potret oleh mereka, satu per-satu hingga manusianya, semuanya memandang positif segala acara Turis tersebut dengan bangga.

Dalam ingatan orang tua, yang saya pernah dengar cerita mereka, dengan perkataan agak meninggi mereka berkata mereka heran dengan cara potong kerbau yang ada di kita, mereka heran dengan cara sembah kita terhadap marapu/Dewa, mereka heran dengan budaya Tenun kita.

Vauvenergues seorang filsuf prancis memberikan saran atas keruwetan cara hidup masyarakat Sumba, "Orang lebih percaya kebiasaan dan tradisi leluhur daripada akal sehat mereka sendiri".

Pernyataan tersebut hanya semacam lampu hijau bagi tradisi berpikir lama yang mestinya kita tinggalkan, Tan Malaka bahkan secara spesifik menyebut Sumba dalam buku 100% indonesia merdeka, apa yang di sebutkan Tan Malaka, adalah agar sekat-sekat berpikir lama yang terus dipelihara, segera di tinggalkan.

Semua anggapan bahwa orang-orang datang memotret itu asing dengan hal yang kalian sedang jalani, memang sangat benar. Budaya-budaya demikian telah di lenyapkan beberapa abad yang lalu, jika saja para orang tua paham, bahwa hal yang mereka lihat itu seperti Fiksi di dunia Nyata.

Budaya Tenun yang di bawah oleh portugis, saat ini portugis tidak lagi menenun tapi justru menggunakan alat yang lebih modern untuk menghasilkan kain yang mereka inginkan tanpa lama-lama dan bertele-tele, jika mereka mau sesuatu mereka bisa produksi sesuai dengan motif yang mereka inginkan.

Cara memotong kerbau secara manual itu mereka anggap sebagai tindakan aneh, nenek moyang mereka telah melewati itu semua, saat ini jika mereka mau potong sapi atau kerbau tidak perlu lagi libatkan puluhan orang, cukup satu orang dan pekerjaan menjadi lebih mudah dan dalam waktu sinhkat.

Mereka tidak lagi peduli ketika potong kerbau, tidur pakai sisi kanan atau sisi kiri, karena yang lebih penting bagi mereka adalah kerbau tersebut di potong, mereka tidak perlu lagi ukur tanduk karna yang penting bagi mereka adalah berapa banyak daging yang di hasilkan.

Saat ini ketika anda masih menyembah batu dan kayu, saat itu moyang mereka telah lewati, dan hingga saat ini mereka berada di sebuah peradaban yang Rasional, dimana sembah-sembahmu itu sudah di anggap sebagai tontonan keanehan bagi mereka.

Kalau anda periksa apa yang mereka pikirkan, ko,o masih ada ya? Hal-hal begini di dunia. Pertanyaan itu akan membawa mereka pada akal eksploitasi yang kejam.

Ketika apa yang mereka pikirkan, dianggap tidak ada halangan di sini untuk merampas segala sesuatunya dengan mudah, ditambah lagi kaum terpelajarnya yang brengsek, hanya melihat keuntungan di bandingkan kelestarian lingkungan hidup masyarakat, yang secara kesadaran belum punya kemampuan untuk mempergunakan Sumber daya yang ada untuk mempertahankan Eksistensi manusianya.

Dimulai dari sinilah katakan selamat datang pada kehancuran peradaban Sumba yang anda bangga-banggakan itu secara berlebihan, karena sebentar lagi mungkin masuk di lubang kuburan yang kita gali, dan yang menanam kita adalah mereka yang tadinya, selfi-selfi dengan kita.

Apa yang kita banggakan, yaitu foto-foto dll, ke depan sebagai tuan Rumah di tanah itu akan menjadi obyek wisata semata, di mana orang-orang yang berpikiran maju mempermainkan semuanya, mulai dari budaya hingga manusianya.

Semua orang bangga ketika Turis panggil dengan membayar uang 100 ribu/orang, di minta untuk memperagakan budaya pasola misalnya. Semuanya menganggap mereka telah menipu Turis dengan hanya berdiri sebentar lantas bisa dapat uang dengan cepat dan mudah.

Tapi kalau manusia yang berpikir, kok bisa ya sesuatu yang sakral jadi tidak sakral di mata Turis? Jangan-jangan budaya kita memang tidak sakral, tapi kita yang terlalu bodoh? Tidak pernah ada semacam keberanian untuk mengatakan tidak pada yang namanya tindakan melanggar Moral tradisi.

Dan pada akhirnya saya cukupkan sampai di sini, saya tahu jika banyak di antara kalaian yang merasa tulisan ini tidak bermoral dan sok tahu, tapi yang jelas saya menulis tentang apa yang saya lihat, yang kemungkinannya akan jadi bencana kedepan bagi kemanusian jika terus di pertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun