Saya sebenarnya bukan seorang ahli dalam komentator sepakbola. Selama beberapa tahun terakhir, tulisan saya pun jarang sekali menyinggung soal sepakbola.Â
Bukan karena saya tidak mengerti permainan yang identik dengan 11 pemain dan satu bola itu, tetapi lebih karena saya percaya ada pundit dan komentator yang lebih layak mengulasnya secara mendalam.
Namun, situasi Timnas Indonesia yang belakangan ini penuh dinamika membuat saya ingin angkat suara, meski secara sederhana dan apa adanya.
Ketika PSSI memutuskan untuk memecat pelatih Shin Tae-yong (STY) di tengah kompetisi kualifikasi Piala Dunia 2026, saya memilih untuk diam dulu.Â
Keputusan itu datang tiba-tiba dan mengejutkan banyak pihak, termasuk saya. Kecewa? Tentu. Tapi ada alasan tersendiri mengapa saya tidak segera berkomentar.Â
Saya tahu bahwa keputusan ini bukan hanya soal hasil di lapangan, tapi juga berkaitan dengan politik internal dan dinamika organisasi di tubuh PSSI.
Shin Tae-yong memang merupakan pilihan Ketua Umum PSSI terdahulu, Mochamad Iriawan, bukan Erick Thohir yang saat ini menjabat.Â
Namun persoalan bukan hanya soal siapa yang memilih siapa. Melainkan bagaimana perjalanan timnas Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 yang penuh lika-liku dan berakhir dengan kegagalan lolos ke putaran final.
Mari kita kilas balik perjalanan Timnas Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2026.Â
Pada putaran pertama, Timnas Indonesia memulai langkah dengan menghadapi Brunei Darussalam pada 12 Oktober 2023 dengan sistem home-away.Â
Melaju ke putaran kedua, Indonesia yang masuk pot 4 tergabung di Grup F bersama Irak, Vietnam, dan Filipina.
Perjalanan di putaran kedua pun tak mulus. Timnas Indonesia memulai dengan hasil buruk, dibantai Irak 5-1 dan hanya mampu imbang 1-1 melawan Filipina.Â
Namun, semangat bangkit ketika Indonesia berhasil mengalahkan Vietnam dua kali secara beruntun (1-0 dan 3-0).Â
Sayangnya, kekalahan kembali datang saat menghadapi Irak di Jakarta (0-2). Di laga penentu melawan Filipina, Timnas Indonesia berhasil menang 2-0, mengamankan tiket ke putaran ketiga sebagai runner-up grup dengan 10 poin.
Namun, putaran ketiga menjadi ujian berat. Indonesia tergabung di Grup C bersama Jepang, Australia, Arab Saudi, China, dan Bahrain, negara-negara yang sudah langganan tampil di Piala Dunia dan punya sejarah sepakbola yang lebih mapan.Â
Meski begitu, Timnas Indonesia sukses mencuri perhatian dengan hasil imbang melawan Arab Saudi (1-1), Australia (0-0), dan Bahrain (2-2).
Namun kekuatan lawan kembali menghantam saat Indonesia kalah dua kali beruntun dari China (2-1) dan Jepang (0-4).Â
Meski begitu, kemenangan sensasional atas Arab Saudi di kandang sendiri (2-0) memberikan harapan baru.
Di tengah perjalanan tersebut, PSSI justru membuat keputusan berani dengan mengganti Shin Tae-yong dengan Patrick Kluivert, mantan pemain Belanda yang pernah bersinar di Eropa.Â
Keputusan ini mengakhiri kebersamaan Shin Tae-yong dengan Timnas Indonesia yang sudah berjalan selama lebih dari lima tahun sejak Desember 2019.
Selama memimpin Timnas senior Indonesia, Shin Tae-yong mencatat 57 pertandingan dengan persentase kemenangan 45,6 persen (26 kemenangan).Â
Meski belum berhasil membawa gelar juara, prestasi yang ditorehkan tidak bisa dipandang sebelah mata, antara lain: Babak 16 besar Piala Asia 2023, Fase grup Piala Asia U-23 2023, Semifinalis Piala Asia U-23 2024, Lolos ke Piala Asia 2027 dan Lolos ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa alasan utama pergantian pelatih adalah masalah komunikasi yang tidak efektif antara pelatih dengan pemain dan jajaran manajemen.Â
Menurutnya, komunikasi yang baik adalah kunci untuk memastikan program tim dapat berjalan maksimal dan hubungan harmonis di dalam tim sangat diperlukan untuk meraih keberhasilan.
Namun, fakta bahwa Timnas Indonesia akhirnya gagal lolos ke Piala Dunia 2026 tetap menjadi kenyataan yang pahit.Â
Di putaran keempat kualifikasi, Indonesia kalah tipis 2-3 dari Arab Saudi dan dikalahkan Irak 0-1, sehingga peluang tampil di putaran final Piala Dunia yang akan digelar di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko pada Juni hingga Juli 2026 sirna sudah.
Kegagalan ini memicu tuntutan agar pelatih Patrick Kluivert mundur dari jabatannya.Â
Sebuah hal yang wajar dalam dunia olahraga, karena posisi pelatih sangat berhubungan langsung dengan hasil tim.
Erick Thohir sendiri sudah meminta maaf kepada publik atas kegagalan ini, namun permintaan maaf itu tidak cukup mengobati kekecewaan masyarakat yang selama ini mendukung Timnas Indonesia dengan penuh harap.Â
Apalagi melihat upaya besar yang sudah dilakukan oleh pemain, termasuk para pemain naturalisasi yang rela meninggalkan kewarganegaraan asalnya demi membela Indonesia di lapangan.
Data menunjukkan ada cukup banyak pemain naturalisasi yang memperkuat Timnas Indonesia di fase kualifikasi kali ini, antara lain: Maarten Paes, Emil Audero Mulyadi, Mees Hilgers, Jay Idzes, Justin Hubner, Calvin Verdonk, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Kevin Diks, Sandy Walsh, Jordi Amat, Shayne Pattynama, Ivar Jenner, Rafael Struick, Nathan Tjoe-A-On dan beberapa pemain lainnya.
Upaya melakukan naturalisasi ini merupakan langkah serius PSSI untuk memperkuat skuad dengan kualitas pemain yang sudah berkompetisi di level Eropa dan liga-liga papan atas dunia.Â
Namun, sayangnya, langkah ini belum membuahkan hasil maksimal yang diharapkan untuk lolos ke Piala Dunia.
Meski gagal lolos ke putaran final Piala Dunia 2026, Erick Thohir menilai pencapaian lolos ke putaran keempat adalah sebuah sejarah baru bagi sepakbola Indonesia, karena ini adalah pertama kalinya Indonesia berhasil menembus tahap tersebut di kualifikasi Piala Dunia sejak bergabung dalam zona Asia Tenggara.
Namun kenyataan bahwa harapan ke Piala Dunia harus berakhir pada putaran ini tentu menjadi catatan besar bagi seluruh pihak yang terlibat, mulai dari pelatih, pemain, hingga manajemen PSSI.
Saya percaya kegagalan ini harus dijadikan momen introspeksi dan pembelajaran mendalam.Â
Sepakbola Indonesia bukan hanya soal menang dan kalah, tapi juga soal pengelolaan yang profesional, pembinaan pemain muda yang berkelanjutan, serta manajemen organisasi yang harmonis dan berorientasi pada prestasi.
PSSI harus mampu mengambil pelajaran dari dinamika selama lima tahun terakhir, dari era Shin Tae-yong hingga Patrick Kluivert, termasuk mengatasi persoalan komunikasi dan koordinasi internal yang sempat menjadi alasan pergantian pelatih.Â
Pemilihan pelatih bukan hanya soal nama besar, tapi juga kemampuan membangun chemistry dengan pemain dan manajemen.
Selanjutnya, tantangan terbesar adalah membangun fondasi yang kuat untuk masa depan sepakbola Indonesia, mulai dari pengembangan talenta lokal, infrastruktur, hingga sistem kompetisi yang sehat.Â
Jangan sampai kegagalan di kualifikasi Piala Dunia 2026 ini menjadi titik patah, melainkan menjadi batu loncatan menuju prestasi yang lebih besar di masa depan.
Saya berharap, meski harapan ke Piala Dunia 2026 telah berakhir, semangat dan dukungan untuk Timnas Indonesia tidak ikut padam.Â
Sepakbola adalah olahraga yang penuh gairah dan kejutan, dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia bisa menorehkan prestasi membanggakan di pentas dunia.
Bagi saya, keberhasilan sejati bukan hanya dilihat dari apakah Timnas berhasil ke Piala Dunia atau tidak, tapi bagaimana perjalanan dan perjuangan yang ditempuh para pemain dan pelatih, serta bagaimana seluruh elemen sepakbola nasional mampu belajar dan berkembang menjadi lebih baik.
Harapan ke Piala Dunia 2026 memang berakhir sudah, tapi perjalanan sepakbola Indonesia masih panjang dan masih ada kesempatan untuk bangkit dan berprestasi di masa depan.Â
Semoga PSSI dan semua pihak terkait bisa merumuskan strategi yang tepat dan membawa Garuda kembali terbang tinggi di langit sepakbola dunia. Semoga!
#PatrickKluivertOut
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI