Ada relawan yang menggendong anak kucing yang nyaris mati kehausan, ada pula yang mencoba menyelamatkan keledai dengan luka di kakinya.Â
Dalam situasi serba kekurangan, mereka tetap berusaha mengobati burung yang sayapnya robek, memberi makan ayam yang tinggal tulang, dan mengubur hewan yang tak bisa diselamatkan.
Kondisi ini makin diperparah oleh kelangkaan obat hewan, pakan, dan air bersih. Infrastruktur yang hancur mengakibatkan terganggunya sistem distribusi, dan blokade yang terus diperpanjang membuat bantuan dari luar sangat terbatas.Â
Bahkan, kebun binatang yang tersisa di Gaza pun tidak luput dari dampak. Hewan-hewan di sana kelaparan, stres, dan dalam kondisi menyedihkan, sementara penjaganya tak berdaya karena kekurangan bahan pangan dan obat-obatan.
Apa yang terjadi pada hewan-hewan ini bukan hanya tragedi biologis, melainkan tragedi moral. Mereka adalah makhluk hidup yang tak punya pilihan, tak memihak, dan tak punya kuasa.Â
Namun mereka ikut menjadi korban dari konflik yang dibuat manusia. Hewan tidak membedakan antara bendera dan agama. Mereka hanya tahu lapar, takut, sakit, dan kehilangan. Dan mereka merasa, seperti halnya kita.
Di tengah situasi yang nyaris putus asa, suara para relawan menjadi secercah harapan. Mereka tidak punya banyak, tapi mereka memberi semua yang mereka bisa.Â
Mereka tidak bersenjata, tapi mereka melawan, melawan keputusasaan, melawan kelupaan, melawan kekejaman perang terhadap makhluk yang tak bersalah.
Sebagai pemerhati dan penyayang hewan, kita tidak bisa hanya diam. Menurut penulis, ada beberapa langkah nyata yang dapat kita lakukan untuk membantu menghentikan perang dan merawat korban yang tak bersuara ini.
Pertama, kita harus mendorong advokasi dan kesadaran publik internasional. Banyak yang belum menyadari bahwa hewan juga menjadi korban perang.Â
Melalui kampanye media sosial, penulisan opini, dan kerja sama dengan organisasi hak-hak hewan internasional, kita bisa membawa isu ini ke forum-forum global.Â