Ketika pemerintah daerah abai, yang muncul adalah rendahnya pengawasan produk pangan asal hewan, lemahnya pengendalian penyakit hewan menular, dan kegagalan mencegah eksploitasi hewan dalam industri atau perdagangan.
Keberadaan dokter hewan di tingkat kabupaten/kota juga masih terbatas, padahal mereka adalah ujung tombak edukasi, advokasi, dan penanganan langsung terhadap hewan yang membutuhkan.
Peringatan Hari Hewan Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa perlindungan satwa tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang mengikat serta dukungan struktur pemerintahan.
Indonesia memerlukan kebijakan yang menyatukan pendekatan ekologi, kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan konservasi hayati dalam satu bingkai besar.
Di banyak negara, perlindungan hewan bukan hanya berbasis moral tetapi dilindungi hukum nasional. Inggris memiliki Animal Welfare Act, India punya Prevention of Cruelty to Animals Act, dan Australia menerapkan standar kesejahteraan hewan yang ketat.
Indonesia pun layak memiliki undang-undang setara untuk menjamin hak-hak dasar hewan sekaligus memberi kepastian hukum kepada aparat, dokter hewan, pengelola satwa, pelaku usaha, dan masyarakat.
Perayaan setiap 4 Oktober di lebih dari 80 negara biasanya ditandai dengan kampanye penyelamatan satwa liar, edukasi sekolah, reboisasi, adopsi hewan penampungan, hingga aksi pelestarian lingkungan. Tetapi bagi kita di Indonesia, makna itu harus diterjemahkan menjadi aksi nyata yang melampaui seremoni.
Jika hewan dianggap sekadar objek hidup yang boleh dimakan, diperjualbelikan, dipukul, atau dikurung seenaknya, kita sedang menggali kehancuran diri kita sendiri. Ekosistem yang rusak hanyalah soal waktu sebelum memicu bencana ekologis dan kesehatan.
Kondisi satwa saat ini menunjukkan betapa ulah manusia telah menciptakan penderitaan di banyak lini. Perburuan untuk memenuhi pasar gelap masih terjadi, perdagangan hewan eksotis bergerak diam-diam, dan sebagian masyarakat memelihara satwa liar tanpa memahami kebutuhannya.
Industri berbasis hewan pun kerap mengabaikan standar kesejahteraan karena tekanan biaya produksi atau lemahnya pengawasan. Bahkan hewan peliharaan seperti kucing dan anjing banyak yang hidup tanpa perawatan, dibiarkan berkeliaran dan berkembang biak tanpa tanggung jawab. Semua ini berkelindan dan mencerminkan absennya sistem perlindungan yang terstruktur.
Ada tanggung jawab moral yang tak bisa dinegosiasikan, manusia wajib menyediakan ruang aman bagi hewan untuk hidup dan berkembang secara alami. Itu berarti menghentikan eksploitasi berlebihan, memperkuat konservasi, dan memastikan keterlibatan publik dalam edukasi.