Tak dipungkiri, ketika kita mencintai ketenangan hutan, kicauan burung, ikan di laut, atau sekadar merasa hangat ketika melihat kucing tidur di beranda, maka sejatinya kita sedang merayakan makna terdalam dari peringatan Hari Hewan Sedunia.
Setiap tanggal 4 Oktober, dunia berhenti sejenak untuk menoleh pada sesama makhluk hidup yang sering tak bersuara tetapi ikut menopang kehidupan manusia.
Peringatan ini telah berlangsung sejak 1931 di Florence, Italia, dan dipilih bertepatan dengan hari Santo Fransiskus dari Assisi, tokoh yang dihormati karena kecintaannya pada hewan dan alam.
Sejak semula, hari itu lahir untuk menyuarakan nasib spesies yang terancam punah. Kini, maknanya meluas, dari penghormatan, penyadaran, hingga seruan global bahwa keberlangsungan hidup hewan tak boleh dianggap sampingan.
Memaknai Hari Hewan Sedunia tahun 2025 berarti menempatkan isu kesejahteraan hewan sebagai kepentingan moral, ekologis, dan hukum yang tidak bisa lagi ditunda.
Dunia sedang menghadapi kenyataan pahit, populasi satwa menurun drastis, habitat rusak, perburuan marak, eksploitasi terjadi terang-terangan, dan hewan dijadikan komoditas tanpa perlindungan yang memadai.
Padahal setiap spesies punya peran ekologis yang saling mengait. Punahnya satu jenis burung bisa mengganggu regenerasi hutan. Hilangnya predator alami menyebabkan ledakan hama yang merugikan pertanian.
Kekerasan terhadap hewan peliharaan juga mencerminkan rendahnya kesadaran moral masyarakat.
Indonesia bukan negara yang miskin regulasi, tetapi sejumlah aturan perlindungan hewan masih bersifat umum dan belum punya perangkat hukum yang kuat, komprehensif, dan operasional.
Karena itu, penting sekali memastikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.