Pelarangan perdagangan daging anjing dan kucing bukan sekadar isu moral, tetapi strategi pengendalian penyakit menular berbasis hewan yang tidak bisa dipisahkan dari kesehatan manusia. Di sinilah kekuatan regulasi menjadi benteng awal.
Alasan kedua berkaitan dengan peranan dokter hewan sebagai tenaga kesehatan hewan yang selama ini kerap diposisikan semata dalam konteks peternakan.Â
Padahal, dokter hewan adalah garda depan dalam pengendalian zoonosis, penegakan kesejahteraan hewan, keamanan pangan asal hewan, konservasi satwa liar, dan penanggulangan wabah.Â
Di banyak negara, kedudukan profesi dokter hewan diatur tegas dalam undang-undang khusus perlindungan hewan. Indonesia sudah memiliki UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang direvisi menjadi UU 41/2014, namun implementasinya masih dominan pada hewan ternak.Â
Dalam konteks satwa kesayangan, profesi ini masih sering dipisahkan dari regulasi, padahal jumlah dokter hewan di Indonesia baru sekitar 12.000 orang dan hanya sekitar 50% yang benar-benar bekerja di lapangan.Â
Tanpa RUU Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan yang baru dan lebih komprehensif, peran dokter hewan di luar sektor peternakan akan terus berjalan dalam ruang sempit.
Alasan ketiga adalah kebutuhan pembentukan badan otoritas veteriner nasional. Selama ini, urusan kesehatan hewan dilekatkan pada Kementerian Pertanian melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.Â
Padahal, dunia kesehatan hewan tidak sesederhana urusan ternak. Di sektor perikanan, tidak ada pejabat otoritas veteriner yang secara resmi memiliki mandat dan kapasitas legal untuk menangani penyakit hewan akuatik, biosekuriti, serta pengawasan lalu lintas hewan air.Â
Indonesia adalah negara kepulauan dengan produksi perikanan mencapai lebih dari 24 juta ton per tahun, angka yang besar tetapi tanpa pengamanan veteriner formal, kasus penyakit ikan dan udang bisa menghancurkan subsektor ini dalam hitungan bulan.Â
FAO dan OIE (WOAH) sudah lama merekomendasikan pembentukan otoritas veteriner terpadu. RUU ini merupakan pintu masuk untuk mewujudkannya. Tanpa badan otoritas veteriner yang berdiri kuat secara hukum, pelaksanaan norma kesejahteraan hewan akan terus terhambat oleh keterbatasan kelembagaan.
Alasan keempat menyangkut perlindungan satwa liar yang selama ini berada di wilayah yang abu-abu. Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, tetapi peredaran satwa liar ilegal masih marak.Â