Angka ini bukan kecil. Hutan yang berkurang berarti rumah alami satwa liar, termasuk ular, semakin sempit. Alhasil, ular terdorong mencari tempat baru, termasuk ke area permukiman.
Kedua, Mencari Makanan.
Ular pemakan hewan kecil seperti tikus, burung, atau ayam. Lingkungan rumah yang banyak sampah, gudang yang berantakan, atau kandang ternak yang tidak terawat bisa jadi magnet bagi tikus. Nah, di situlah ular akan muncul, karena ular mengikuti jejak mangsanya.
Ketiga, Lingkungan yang Sesuai.
Ular suka tempat lembap, gelap, dan sejuk. Tumpukan kayu, puing bangunan, saluran air, hingga pot bunga yang jarang diurus bisa menjadi "rumah kontrakan" yang nyaman bagi ular.
Keempat, Musim Hujan dan Banjir.
Saat musim hujan, habitat alami ular tergenang air. Maka mereka mencari tempat yang lebih kering dan aman, yang kebetulan seringkali adalah rumah atau pekarangan warga.
Risiko Ular di Permukiman
Tentu saja, kehadiran ular di tengah permukiman bukan hal yang bisa disepelekan. Risiko utamanya adalah Gigitan berbisa. Beberapa jenis ular, seperti kobra atau weling, memiliki bisa yang mematikan. Data dari WHO menyebutkan, setiap tahun ada lebih dari 5 juta kasus gigitan ular di dunia, dengan sekitar 100 ribu korban meninggal.Â
Di Indonesia, meski data spesifik masih terbatas, kasus gigitan ular berbisa terus dilaporkan di berbagai daerah.
Kemudian, ular juga biasanya dapat melakukan Serangan atau memangsa ternak. Ular piton, misalnya, kerap memangsa ayam, kucing, bahkan anjing kecil.
Selanjutnya, ular juga dapat menyebabkan kepanikan sosial.Tidak sedikit warga yang histeris atau mengalami trauma setelah rumahnya dimasuki ular.