Bayangkan pagi hari di pedalaman Kalimantan. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan raksasa, dan di kejauhan terdengar suara "long call" orangutan jantan yang memecah kesunyian.Â
Namun, suara itu kini semakin jarang terdengar. Banyak hutan telah berganti rupa menjadi perkebunan sawit atau tambang.Â
Begitu juga di Sumatra, jejak gajah liar sering kali ditemukan di kebun warga, sementara harimau yang kehilangan habitatnya nekat mendekati pemukiman.
Kisah ini bukan sekadar narasi dramatis. Data WWF ( World Wide Fund for Nature) Indonesia mencatat, populasi orangutan Kalimantan turun hingga 25% dalam 10 tahun terakhir. Gajah Sumatra tersisa sekitar 1.300--1.700 ekor di alam liar, sedangkan harimau Sumatra diperkirakan kurang dari 400 ekor. Angka-angka ini menunjukkan betapa gentingnya masa depan satwa karismatik kita.
Di balik angka, ada pertanyaan besar: apakah manusia dan satwa liar bisa benar-benar hidup berdampingan? Ataukah kita akan terus berkonflik, saling mengusir dari ruang hidup masing-masing?
Satwa Karismatik, Cermin Kehidupan Kita
Mengapa kita harus peduli pada orangutan, gajah, dan harimau? Bukankah manusia juga butuh ruang untuk hidup, membangun ekonomi, dan memenuhi kebutuhan?
Jawabannya sederhana, satwa karismatik adalah cermin ekosistem kita sendiri.
Orangutan, dijuluki "manusia hutan" karena 97% genetikanya mirip dengan kita. Kehilangan mereka berarti hilangnya penjaga regenerasi hutan, sebab orangutan menyebarkan biji-biji pohon melalui makanannya.
Sementara itu, Gajah Sumatra, disebut "engineer of the forest." Dengan tubuh besar, mereka membuka jalur di hutan, menciptakan ruang bagi spesies lain untuk hidup.
Sedangkan Harimau Sumatra adalah predator puncak. Jika harimau hilang, rantai makanan terganggu, populasi herbivora melonjak, dan keseimbangan hutan rusak.