Pemahaman terhadap karakter hewan bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan, apalagi ketika berkaitan dengan spesies karnivora seperti macan tutul. Hewan ini memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, kemampuan memanjat dan melompat yang tinggi, serta naluri bertahan hidup yang sangat kuat. Menjebol atap kandang bukanlah hal yang mustahil jika hewan merasa terancam atau terdesak.
Bukan kali ini saja terjadi insiden hewan kabur dari tempat penangkaran.Â
Dalam beberapa kasus lain di Indonesia, bahkan hewan seperti buaya, harimau, hingga orangutan pernah melarikan diri dari fasilitas yang tidak memadai. Hal ini menunjukkan adanya pola kegagalan dalam memahami kebutuhan dasar dan perilaku alami satwa liar.
Sebagai contoh, karantina seharusnya bukan sekadar tempat untuk menahan sementara satwa yang baru datang. Ini adalah masa adaptasi krusial yang memerlukan pendekatan holistik: kandang yang aman dan sesuai, pengawasan medis dan etologis, serta manajemen stres yang efektif. Tanpa itu, risiko satwa mengalami trauma atau melarikan diri sangat besar.
Keselamatan Warga dan Kesejahteraan Hewan: Dua Sisi yang Saling Terkait
Kekhawatiran masyarakat Lembang dan sekitarnya pasca kaburnya macan tutul tentu sangat beralasan. Meski jarang menyerang manusia tanpa provokasi, macan tutul tetaplah predator yang bisa sangat berbahaya jika merasa terancam atau terpojok.Â
Apalagi, dalam kondisi stres dan berada di lingkungan asing, reaksi hewan tidak bisa diprediksi.
Namun, penting juga untuk menempatkan hewan tersebut dalam konteks yang adil. Ia bukan "penjahat" yang berniat membahayakan manusia, melainkan korban dari situasi yang tidak alami bagi dirinya.Â
Ketika seekor satwa liar kabur, itu bukan hanya persoalan keamanan publik, tetapi juga sinyal bahwa ada yang salah dalam sistem pengelolaan satwa itu sendiri.
Oleh karena itu, pendekatan yang dibutuhkan bukan hanya represif (misalnya dengan perintah penembakan atau penangkapan paksa), melainkan juga preventif dan edukatif. Edukasi masyarakat tentang karakter satwa liar sangat penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa interaksi manusia dengan satwa harus dilandasi oleh pemahaman, bukan sekadar hiburan atau eksploitasi.
Insiden ini seharusnya menjadi momentum evaluasi total terhadap manajemen satwa di kebun binatang dan tempat wisata lainnya.Â
Pertanyaan-pertanyaan mendasar perlu diajukan: Apakah kandang yang digunakan sesuai standar internasional? Apakah tenaga kerja yang menangani hewan memiliki kompetensi etologi (ilmu perilaku hewan)? Apakah ada protokol darurat yang memadai jika terjadi pelarian hewan?