Mohon tunggu...
Dodo Hinganaday
Dodo Hinganaday Mohon Tunggu... Guru - Jesuit Indonesia

Pertama: terima kasih banyak untuk yang sudah meluangkan waktu berkunjung dan membaca tulisan ini. Saya anak Dayak kelahiran Jakarta, belajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (2010-2014), lalu lanjut menimba ilmu Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2016-2019). Pernah juga menginjakkan kaki di pantai indah Federated States of Micronesia (FSM) sebagai volunteer di Xavier High School (2014-2016). Kini masih berjuang bersama siswa-siswa STM di SMK St. Mikael Surakarta, terutama mereka yang gelisah karena tidak bisa masuk sekolah pada masa pandemi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keteladanan dan Introspeksi Diri di Masa Pandemi

8 Februari 2021   08:04 Diperbarui: 8 Februari 2021   08:53 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap orang selalu mencontoh dan dicontoh. Sumber: www.teachertoolkit.co.uk.

Pandemi Covid-19 seharusnya membuat bangsa Indonesia seia sekata, bersatu, dan berjuang bersama. Kesepahaman, persatuan dan perjuangan bersama itu didorong oleh kenyataan bahwa saat ini kita menghadapi musuh yang sama: Covid-19. Praktiknya, memang ada pihak-pihak yang bahu-membahu menghadapi virus Corona. Akan tetapi, pada masa pandemi juga muncul orang-orang yang mengedepankan nilai-nilai yang merusak kesepahaman, persatuan dan perjuangan bersama.

Sayangnya, justru nilai-nilai yang merusak itu secara mencolok mewarnai dinamika masyarakat dan politik kita akhir-akhir ini. Nilai-nilai itu tercakup di dalam fakta demi fakta, seperti masifnya jumlah orang terpapar Covid-19 dan ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan. 

Di dalam daftar ini dapat kita sebutkan pula terkuaknya korupsi bantuan bagi korban Covid-19, penolakan terhadap pemerintah, strategi pemerintah yang tidak tepat sasaran, sampai keributan internal partai politik. Untuk level akar rumput, kita juga dapat menemukan data perselingkuhan dan meningkatnya kekerasan di dalam rumah tangga, khususnya terhadap anak, selama masa pandemi. Anda pun pasti dapat memberi daftar tokoh-tokoh yang akhir-akhir ini malah memperlihatkan perilaku yang tidak layak dicontoh.

Masyarakat luas dipertontonkan keburukan demi keburukan itu, termasuk melalui media massa dan sosial. Padahal, yang menampilkan keburukan itu adalah orang-orang yang dikira mampu memberi teladan baik. Alhasil, bukan hanya timbul kesalahpahaman yang berakibat perpecahan, contoh-contoh buruk justru ditiru masyarakat umum. Selain itu, kita memberi kesan sebagai suatu bangsa yang tidak terdidik, tapi juga sulit dibina, khususnya secara karakter.

Padahal, sejak 2017 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mempromosikan lima nilai utama yang ditanamkan melalui Penguatan Pendidikan Karakter di Indonesia. Pertama, religius, yaitu nilai yang mencerminkan keberimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, nasionalisme, yang diajarkan supaya kita menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

 Ketiga, gotong royong, yang ditanamkan untuk membiasakan kita bekerja sama dan saling membantu tanpa pamrih dalam hidup bersama. Keempat, integritas, yaitu karakter yang menampilkan diri kita sebagai orang yang dapat dipercaya, baik dalam perkataan maupun tindakan. Kelima, mandiri, yaitu karakter yang dilatihkan agar kita juga mampu mendayagunakan kemampuan kita sendiri tanpa selalu bergantung pada orang lain.

Pada dasarnya, benar bahwa kelima nilai utama itu memang menjadi karakter yang perlu dimiliki setiap orang Indonesia. Akan tetapi, kelimanya menjadi klise dan lemah ketika setiap orang berpikir, "Ah, kalaupun tidak saya lakukan sebenarnya tidak apa-apa." Terlebih lagi bila mereka tidak menyadari bahwa orang lain pun berpotensi meniru tindakan mereka.

Ditambah lagi dengan pewarisan keteladanan bangsa kita yang cenderung berbasis ketokohan, bukan sistem pembinaan terstruktur. Akibatnya, ketika tokoh yang dijadikan junjungan justru bertindak yang tidak patut, kemungkinannya di dalam masyarakat hanya dua: meniru contoh buruk dengan sangat fanatik atau mencibir tokoh tersebut dengan penuh kekecewaan.

Selain itu, keteladanan berbasis tokoh bagi bangsa kita juga cenderung menghasilkan pribadi yang anti-kritik. Pribadi yang dijadikan junjungan berpotensi merasa memiliki pengikut dan pembela, yang seolah-olah melegalkan segala tindak-tanduk dan keputusannya. Sementara itu, mereka yang menjadi pengikut dan mengikuti teladan sang tokoh juga tidak mau menerima kritik dari luar. Bahkan, bisa jadi para pengkritik dianggap sebagai musuh, lepas dari benar-tidaknya isi kritik mereka.

Di dalam masa pandemi seperti sekarang ini, kita tidak dapat membiarkan masyarakat kita terpecah belah. Harus kembali ada kemauan untuk seia sekata, bersatu dan berjuang bersama. Hanya dengan ketiga hal tersebut kita dapat bertahan, bahkan selamat, dari gempuran Covid-19.

Oleh karena itu, sementara kelima nilai utama dalam Penguatan Pendidikan Karakter ditanamkan, kita juga hendaknya insyaf akan perlunya keteladanan di dalam masyarakat kita. Akan tetapi, keteladanan itu hendaknya tidak lagi berbasis ketokohan. Keteladanan itu harus dimasukkan ke dalam sistem pendidikan karakter di Indonesia. Yang saya maksud adalah, dengan masuk ke dalam sistem, setiap warga Indonesia tanpa kecuali dibentuk kesadarannya bahwa setiap tindakan akan ditiru oleh orang di sekitar. Harapannya adalah terbentuk kebijaksanaan dalam berkata, mengambil keputusan, dan bertindak, baik itu ketika dilihat oleh umum maupun tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun