Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sunda Nanjung Lamun Pulung Turun ti Galunggung

20 Desember 2024   10:08 Diperbarui: 21 Desember 2024   08:07 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Gunung Galunggung yang megah di kejauhan. (Sumber: https://langgar.co/)

Uga merupakan salah satu tradisi lisan yang berisi memori kolektif masyarakat Sunda (Rusnandar 2016). Uga biasanya diungkapkan dalam bentuk simbolisasi sehingga untuk memaknainya memerlukan interpretasi. Untuk itu kita memerlukan apa yang oleh R. Hidayat Suryalaga disebut sebagai Pancacuriga. Lima Kecurigaan Ilmiah ini adalah silib, sindir, simbul, siloka dan sasmita.

Dalam buku Kasundaan Rawayan Jati, R. Hidayat Suryalaga (2003) memberikan penjelasan terhadap kelima istilah tersebut. Silib adalah sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikiaskan; sindir sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda. Simbul, menyampaikan suatu maksud dengan bentuk lambang. Siloka menyampaikan suatu maksud dengan bentuk pengandaian. Adapun sasmita adalah pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati (Muhtadin 2007).

Dari sekian banyak uga yang ada di Tasikmalaya salah satunya adalah uga Galunggung yang berbunyi: "Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung." Untuk memahami makna dari uga ini kita perlu memahami setidaknya tiga kata kunci yang terdapat di dalamnya, yaitu: Sunda, pulung dan Galunggung sesuai pisau analisis Pancacuriga.

Pertama, Su(n)da dapat diartikan sebagai keadaan murni (Nurwansah 2021). Sementara Koesoemadinata, merujuk pada pandangan Reinout van Bemmelen (1949) bahwa Sunda berasal dari Bahasa Sanskerta Cuddha yang berarti "putih". Sunda sendiri, dalam pandangan penganut Sunda Wiwitan atau Jati Sunda, bukan hanya sebatas nama (suku) bangsa melainkan sebagai agama atau wordview (pandangan hidup) seperti halnya Yahudi --- sebagai nama bangsa sekaligus agama.

Kedua, pulung. Mas Ngabehi Mangunwijaya di Wanagiri, Surakarta dalam Serat Widyakirana (1853) menyatakan bahwa: "Pulung, rupane biru sumirat ijo, iku pratandha adeging cahya manik-manik emas sarta tembaga, pulung mau ing tembe iya bakal dadi sarana mimbuhi daya panguripan, ananging kang diluluti bangsa tancebing cipta kang marang welas asih.... Pulung, pakolehe sinupeketan ing akeh, apadene linuhurake ing asmane, tur rineksa kasangsarane, ing sasama-samaning tumitah."

Arwan (2018) menyimpulkan pernyataan Mangunwijaya bahwa pulung adalah cahaya berwarna biru kehijauan yang jatuh dari langit yang terjadi dari manik-manik keemasan dan tembaga. Biasanya orang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama. Pulung berkarakter cinta kasih. Sehingga jatuhnya pulung akan memilih orang yang menjalani upaya lahir dan batin mengamalkan cinta kasih kepada sesama, mewujudkan keindahan dan ketenteraman dunia. Amemayu Hayuning Bawana.

Sementara Luthfy (2016) lebih jauh menyatakan bahwa dalam perspektif agama, pulung ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian. Tak heran jika orang-orang Jawa dengan corak pandang konservatif melekatkan kemuliaan pada pulung. Bagaimanapun, ia identik dengan "stempel" atas kepemimpinan seseorang dalam suatu komunitas.

Dalam kata pulung terdapat makna "langitan" (samawi). Pulung tidak untuk didapatkan ataupun dicari. Ia seakan memilih siapa yang layak untuk mendapatkannya. Penentuan siapa yang akan mendapatkannya merupakan hak prerogatif "Langit". Ke arah ini kata-kata Luthfy (2016) bahwa "ia ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian" dimaksudkan. Di atas makna ini pula istilah mulung mantu berdiri sebagaimana peribahasa Sunda Jodo, pati, bagja, cilaka kagungan Nu Kawasa.

Ketiga, Galunggung. Sebutan Galunggung terawal dan secara tertulis sejauh ini ditemukan dalam prasasti Kertajaya yang bertahunkan 1122 aka/1200 M (Bastian dkk 2023). Kita juga kemudian mendapati penyebutan Galunggung dalam Bujangga Manik (c.1490) dan Amanat Galunggung (c.1518).

Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda sekaligus rahib pengelana, dalam catatan perjalanannya pada baris ke-1165 dari total 1641 baris (Sofian 2023) atau 1758 baris (Setiawan 2014) menulis: "Sadatang ka Saung Galah, sadiri aing ti inya, Saung Galah kaleu(m)pangan, kapungkur Gunung Galunggung, katukang na Panggarangan, ngalalar na Pada Beunghar, katukang na Pamipiran." (Sesampai di Saunggalah berangkatlah aku dari sana melewati Saunggalah, Gunung Galunggung di belakang saya, melewati Panggarangan, melalui Padabeunghar, Pamipiran ada di belakangku).

Sementara dalam Amanat Galunggung yang menuliskan nasihat Rakeyan Darmasiksa, raja Galuh yang memerintah pada tahun 1175 s.d. 1297 kepada putra-putrinya dan keturunannya, kita mendapati kata-kata: "Asing iya nu menangkeun kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang." (Siapapun yang menguasai tempat suci Galunggung, dia akan menjadi sakti dalam pertapaan, dia akan menang dalam peperangan) (Gunawan dan Griffiths 2021).

Saat Galunggung menjadi ibukota baru Kerajaan Galuh kawasan tersebut bernama Rumatak (NS, Elis 2017). Nama ibukota Rumatak tertulis dalam prasasti Gegerhanjuang yang bertahunkan 1333 Saka/1441 M (Holle1877, Pleyte 1911, Djafar 1991, dan Gunawan dan Griffith2021) atau 1033 Saka/1111 M (Danasasmita 1975a). Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya mengambil bacaan Danasasmita dalam penentuan hari jadinya.

Boleh jadi pengalihan ibukota Galuh ke kawasan Galunggung menjadi dasar pendapat bahwa kata Galunggung berasal dari kata-kata "Galuh Hyang Agung" atau "Galuh nu agung". Dimana galuh, menurut Satjadibrata (1948) dan Danadibrata (2006), antara lain berarti galu (nama sebuah permata yang paling bagus), dapat diartikan juga sebagai galeuh. Galeuh di sini berarti inti (Iskandar 1997). Pada perkembangannya, kata galuh atau galeuh juga dipahami sebagai galih yang bermakna "kalbu" atau "hati yang terdalam". Hal ini tercermin dalam ungkapan Sunda Galuh galeuhna galih yang kurang lebih berarti "Galuh adalah intinya hati".

Berdasarkan kandungan ketiga kata di atas, yakni Sunda, pulung dan Galunggung, maka sebuah interpretasi yang bersifat spiritualitas atas uga "Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung" bisa diajukan. Uga ini, hemat saya, ada kaitannya dengan kedatangan sosok Ratu Adil atau Imam Mahdi.

Endang Saifuddin Anshari dikenal luas atas jargon Islam teh Sunda; Sunda teh Islam bahwa Islam itu Sunda, Sunda itu Islam (Ajip Rosidi 2005). Orang Sunda memang mayoritas muslim. Hal ini tergambar dari warga Jawa Barat yang mencapai 97% lebih beragama Islam (BPS 2024). Adapun benang merah antara Sunda dan Islam menurut Direktur Studi Islam Bandung, Ashoff Murtadha (2018) adalah sama-sama menyakini keesaan Tuhan. Sunda Wiwitan menyebutnya Hyang Tunggal sementara Islam Allah al-Ahad. Mengingat kesamaan monoteistik Sunda Wiwitan dengan Islam dan ajaran para nabi terdahulu, sangat mungkin bahwa pembawa ajaran Sunda Wiwitan dulu itu adalah seorang nabi atau rasul yang diutus di tanah ini. Bukan hanya itu, menurut Sumardjo (2014), orang Sunda (Wiwitan) percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awal ada di Sunda. Jadi, menurut keyakinan mereka Sunda itu Islam.

Simbol berupa kata Sunda dalam uga berdasarkan analisis ini sudah terpecahkan, yaitu Islam. Sekarang kita lanjut kepada simbol yang kedua, pulung.

Kembali kepada pernyataan Luthfy (2016) bahwa pulung seperti halnya wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian, maka tidak sulit untuk menerima penafsiran bila pulung dalam uga Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung adalah sosok Ratu Adil atau Imam Mahdi.

Islam di bawah bimbingan langsung Nabi Muhammad saw mengalami puncak kejayaan saat menaklukan Mekah (Fathul Makkah) dan dijanjikan akan kembali mengalami kejayaan yang kedua sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur'an:

Huwalladzi arsala rasuulahu bil-huda wa diinil-haqqi liyuzhhirahu 'alad-diini kullihi, wakafaa billahi syahiidan

"Dialah Yang telah meng-utus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar, supaya Dia memenangkannya atas semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi." (QS Al-Fath: 29).

Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat ini sudah tergenapi pada masa Nabi saw. Sebagian lainnya memaknai ayat di atas sebagai nubuatan atau janji yang akan tergenapi. Dikatakan bahwa janji kemenangan ini akan tiba bersama munculnya sosok yang dijanjikan. Kitab Kamaluddin wa Tamaamun Ni'mah Juz 2 hal. 670 mengutip Tafsir Al-'Ayyasyi Juz 2 hal. 87 karya Muhammad bin Mas'ud 'Ayyas al-Salma al-Samarqandi (w. 932) bahwa sosok yang akan mengunggulkan Islam atas semua agama lainnya (liyuzhhirahu 'alad-diini kullihi) berjuluk Al-Qaa'im (Yang Bangkit). Siapakah gerangan Al-Qaa'im ini?

Dalam Tafsir Thabari Juz 14 hal. 215 nomor 16645, Abu Hurairah, berkenaan dengan kata-kata liyuzhhirahu, berkata: "(Ini akan terjadi) pada saat keluar (turun)-nya Isa Ibnu Maryam." Masih pada kitab tafsir yang sama, pada nomor 16646 dikatakan bahwa Abu Ja'far berkata: "Bila Isa a.s. keluar (turun), akan diikuti oleh semua penganut agama." Sementara Ali bin Ibrahim Qummi (w. 919) dalam Tafsir al-Qummi Juz 1 hal. 289 menukil perkataan Abu Ja'far: "Bahwa itu akan terjadi saat keluar (turun)-nya Al-Mahdi dari keluarga Muhammad saw."

Berdasarkan analisis di atas, arti dari simbol kata pulung adalah al-Qaa'im, yakni Isa ibnu Maryam atau Imam Mahdi yang dalam tradisi Sunda dan Jawa lazim dikenal sebagai Ratu Adil. Berkenaan dengan sebutan Imam Mahdi dan Isa ibnu Maryam yang seakan menunjukkan dua pribadi yang berbeda dijelaskan dalam riwayat Ibnu Majah: Laa Mahdiya illaa 'Isa (tidak ada al-Mahdi kecuali Isa). Mahdi dan Isa yang dimaksud dalam nubuatan tersebut adalah satu orang adanya.

Kini tiba pada simbol kata yang ketiga, Galunggung. Dengan menilik makna Galunggung yang berasal dari kata "galuh (nu) agung", maka hati (galuh) yang jembar ini mengingatkan kita kepada kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai pemilik akhlak yang agung (khuluq 'azhim) sesuai dengan empat sifat utamanya: shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Keempat sifat utamanya ini dalam kearifan Sunda dikenal sebagai bener (shiddiq), cageur (amanah), bageur (tabligh), dan pinter (fathonah). Jadi, sang "galuh agung" tersebut tidak lain dari Nabi Muhammad saw..

Bila kita rangkai ketiga makna dari simbol-simbol tadi, maka Sunda nanjung lamun pulung turun di Galunggung dapat dimaknai bahwa Islam akan kembali unggul dan berjaya (nanjung) bila Imam Mahdi -- yang merupakan keturunan Nabi Muhammadi saw -- telah datang.

Kata-kata  nanjung dan turun turut memberikan aksen penguat akan luhurnya kedudukan Al-Mahdi. Kata nanjung  berasal dari tanjung, nama sebuah bunga. Kamus Sunda daring memberikan arti kembang tanjung sebagai "bunga (yang) tinggi harkat derajat(nya)". Untuk itu, kata kerja nanjung mengandung arti naik derajat. Sementara kata turun sepadan dengan kata nuzuul dalam bahasa Arab yang menunjukkan asal yang tinggi sebagaimana digunakan dalam frasa Nuzulul Qur'an. Keduanya, nanjung dan turun, mengandung isyarah bila Al-Mahdi merupakan jelmaan dari keagungan sosok Nabi Muhammad saw sebagai "Galuh Agung".

Bahwa Galunggung dalam uga ini tidak merujuk kepada fisik Gunung Galunggung yang berada di Tasikmalaya mendapatkan jejak penjelasannya dari uga lainnya. Penulis menyebutnya sebagai uga Tenjowaringin. Uga dimaksud berbunyi: "Imam Mahdi jaga baris datang ti beulah kulon - Imam Mahdi nanti datangnya dari arah barat." Gunung Galunggung berada di arah timur atau timur laut Tenjowaringin.

Sudahkah Imam Mahdi yang diugakan ini turun? Boleh jadi orang Tenjowaringin punya jawabannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun