Di tengah lautan jaket almamater mahasiswa dari berbagai universitas berorasi di depan Gedung DPR, sebuah pemandangan menarik mencuri perhatian publik. Para influencer seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, dan Ferry Irwandi, figur dengan jutaan pengikut, berdiri di barisan yang sama, menyuarakan "Tuntutan Rakyat 17+8".
Artikel ini menjadi wadah untuk menyampaikan pikiran tentang apa yang bisa diamati dari fenomena 'influencer turun gunung' ini dalam konteks dinamika suara rakyat.
Peran Media Sosial dalam Lanskap Aktivisme Digital
Jauh sebelum linimasa digital ada, aktivisme mahasiswa pra-reformasi mengandalkan kekuatan fisik: orasi berapi-api di mimbar bebas, sebaran pamflet dari tangan ke tangan, dan analisis tajam di buletin pers mahasiswa untuk menantang rezim otoriter. Arena perjuangan itu kini telah bergeser ke media sosial, sebuah medan politik baru yang lebih cair dan kompleks.
Setiap platform memiliki peran unik dalam ekosistem aktivisme modern:
- X (sebelumnya Twitter) berfungsi sebagai pusat informasi real-time dan debat publik, tempat tagar dapat menggalang kekuatan massa dalam hitungan jam.
- Instagram mengubah isu rumit menjadi infografis visual dan narasi personal yang menggugah empati.
- TikTok memobilisasi Generasi Z melalui kemasan kreativitas dan humor.
- Melengkapi ekosistem ini, YouTube dengan format konten berdurasi panjang, efektif sebagai perpustakaan digital untuk analisis mendalam dan arsip permanen dari sebuah gerakan.
Bisa dikatakan, platform-platform ini telah mendemokratisasi aktivisme. Tidak lagi memerlukan keanggotaan organisasi formal atau akses ke mimbar fisik, kini siapa saja dengan gawai di genggaman dapat menjadi penyebar pesan, melampaui batas geografis dan struktural yang dulu membelenggu.
Dua Wajah Aktivisme Influencer: Analitis vs. Empatik
Tidak semua influencer menggunakan pendekatan yang seragam. Jika kita perhatikan sepanjang perkembangan berita, dalam menyuarakan "Tuntutan Rakyat 17+8", muncul dua gaya komunikasi utama. Mari kita bedah masing-masing pendekatan!
Pendekatan Analitis: Logika sebagai Senjata
Kelompok pertama, terdapat beberapa figur yang menonjol seperti Andhyta F. Utami (pendiri Think Policy) dan Ferry Irwandi (pendiri Malaka Project), menggunakan pendekatan analitis untuk menyuarakan tuntutan.
Mereka memanfaatkan YouTube untuk konten analisis mendalam, menyajikan data, dan memberi konteks historis pada setiap poin tuntutan.
Sementara itu, X (sebelumnya Twitter) digunakan sebagai ujung tombak untuk menyebarkan rangkuman dalam bentuk utas (thread) dan memicu diskusi publik yang substantif.
Dampak konkret dari pendekatan ini signifikan, mereka berhasil mengubah keresahan publik yang sporadis menjadi rumusan tuntutan yang terstruktur. Kualitas diskursus berhasil ditingkatkan dari sekadar slogan menjadi perdebatan berbasis bukti. Mereka mampu menjembatani kesenjangan informasi dengan menerjemahkan bahasa kebijakan yang rumit ke dalam bahasa yang mudah dipahami.