Di sisi lain, figur publik seperti Dian Sastrowardoyo, Tasya Farasya, dan Fathia Izzati mengandalkan pendekatan personal dan empatik. Mereka menggunakan kekuatan visual Instagram dan TikTok untuk membangun solidaritas.
Strategi utamanya adalah unggahan serentak poster tuntutan, menciptakan "gelombang digital" yang masif dan menunjukkan dukungan kolektif. Melalui Instagram, mereka membagikan momen yang membangun jembatan emosional dengan audiens.
Dampaknya pun nyata: mereka berhasil menormalisasi aktivisme politik di kalangan pengikut yang lebih luas, memicu partisipasi massal berbiaya rendah (seperti repost). Dan yang terpenting, berhasil menarik perhatian media konvensional yang tak bisa mengabaikan gelombang dukungan dari figur-figur publik.
Kombinasi kedua pendekatan inilah yang pada akhirnya menciptakan "efek kepung" digital yang dahsyat. Sebuah isu diserang dari berbagai sudut secara bersamaan: logika dan analisis dari satu sisi, serta emosi dan solidaritas dari sisi lainnya.
Antara Amplifikasi Tulus dan Aktivisme Performatif, di Mana Batasnya?
Kehadiran para influencer dalam gerakan "Tuntutan Rakyat 17+8" tak dipungkiri berhasil memperkuat gaung protes hingga menjangkau jutaan orang. Tapi ada pertanyaan yang muncul: bagaimana kita membedakan bahwa seorang figur menyebarkan pesan dengan tulus atau aksi  yang dilakukan hanyalah untuk menaikkan citra?
Dari satu sisi, terlepas dari motivasi awal, kehadiran mereka secara tak terbantahkan memperluas jangkauan isu ke segmen audiens yang sebelumnya mungkin apolitis atau tidak terjangkau.
Kekuatan satu unggahan dari akun dengan jutaan pengikut bisa jadi lebih efektif dalam menyebarkan kesadaran awal daripada seribu pamflet yang dibagikan di jalan.
Mereka menjadi gerbang pembuka yang mengenalkan isu-isu kompleks kepada publik yang lebih luas, memantik rasa ingin tahu yang mungkin tidak akan pernah muncul jika hanya disuarakan melalui kanal-kanal aktivis tradisional.
Namun, di sisi lain, muncul risiko "slacktivism" atau aktivisme malas. Ketika partisipasi disederhanakan menjadi sekadar repost atau menggunakan tagar, isu berisiko menjadi tren sesaat yang mudah dilupakan begitu algoritma media sosial beralih ke topik lain.
Ada juga potensi de-radikalisasi pesan, di mana tuntutan yang seharusnya tajam dan keras menjadi lebih "lunak" atau dibingkai dalam estetika visual yang lebih aman demi menjaga citra dan menghindari kontroversi. Tuntutan politik yang fundamental bisa tereduksi menjadi konten yang sekadar "Instagramable".
Hal ini tidak hitam-putih, berada di zona abu-abu. Efektivitas dan autentisitas aktivisme influencer pada akhirnya bergantung pada konsistensi, kedalaman pemahaman isu, dan kemauan dari masing-masing figur untuk terus mengawal sebuah tuntutan bahkan lama setelah sorotan publik dan viralitasnya meredup.