"Meski tingginya kurang dari 2000 MDPL (Meter Di Atas Permukaan Laut), kok kelihatan ngoyo (berat) banget ya", begitulah kata seorang kawan yang baru saya kenal beberapa saat yang lalu di tengah rute pendakian Puncak Cendono, Mojokerto, Jawa Timur.
Mendaki gunung memang bukanlah hobi yang mudah, perlu persiapan baik fisik, logistik, dan mental karena hidup di alam bebas, di tengah hutan pastinya berbeda dengan hidup di tengah kota dengan sumber daya yang melimpah.
Makanya penting sekali sebelum mendaki gunung kita perlu mempelajari track pendakian sebelum kita lalui. Satu hal yang nggak boleh diremehkan adalah ketinggian gunung.
"Ketinggian gunung, nggak bisa dijadikan patokan untuk mengukur kesulitan jalur pendakian yang ditempuh" menurut keyakinan saya. Apalagi setelah menyaksikan ekspedisi atap negeri, Fiersa Besari dan tim di 33 gunung di 33 provinsi di Indonesia, makin membenarkan apa yang selama ini saya yakini.
1. Tingginya Gunung Dapat Diukur, Sulitnya Medan Siapa yang Bisa Memastikan?
Sebelum mendaki Puncak Cendono, jauh beberapa tahun yang lalu, saya mendaki Gunung Penanggungan yang memiliki ketinggian 1653 MDPL. Konon katanya pendakian ke Gunung Penanggungan cocok untuk pemula, begitulah yang dituturkan senior saya di pecinta alam dulu saat SMA.
Rupa-rupanya, pernyataan itu hanyalah pernyataan semangat, biar nyali kita nggak ciut. Setelah mendaki Penanggungan ternyata medannya lebih curam dari apa yang saya perkirakan. Dibandingkan dengan Gunung Panderman yang sebelumnya saya daki, Panderman jauh lebih tinggi yaitu 2045 MDPL tapi medannya nggak seekstrim Penanggungan.
"Wajar saja di Penanggungankan buat penyematan baret brimob biasanya", kata teman saya. Makanya medannya juga ngeri-ngeri sedap menurut saya.
"Kayak gini dibilang cocok buat pemula? lupakan!" saking kesalnya teman saya saat itu dengan nada humornya.
Belajar dari pengalaman masa lalu itu, rupanya saat saya mendaki ke Puncak Cendono-pun saya mengalaminya kembali. Meski ketinggiannya hanya 1.131 MDPL, nyatanya saya perlu 3 jam untuk mencapai puncak, dengan track pendakian yang buat lutut saya gemeteran. Apalagi saat itu saya mendaki solo-tektok alias pulang pergi dalam sehari.
Untungnya logistik saya memadai, termasuk makanan dan minuman. Hingga saya menjumpai rombongan anak SMK yang nekad mendaki tanpa logistik yang mencukupi, karena kasihan saya membagi bekal minum air putih saya ke mereka.