Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebebasan Pers di Pintu Istana

7 Oktober 2025   09:37 Diperbarui: 7 Oktober 2025   09:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Insiden penarikan kartu pers liputan istana wartawan CNN Indonesia berakhir damai. Pihak istana mengembalikan ID Card disertai permintaan maaf (Kompas.com, 29/9/25)) Peristiwa ini mengingatkan bagaimana demokrasi, kebebasan pers dan tanggungjawab institusional saling berkelindan dalam praktik. Beberapa isu penting muncul dan menarik untuk dibahas. Setidaknya ada tiga permasalahan yaitu mengenai batas kewenangan peliputan, transparansi dan akuntabilitas serta  hak  publik atas informasi.

Biro Pers, Media dan Informasi (BPMI)  harus diakui memiliki kewenangan mengatur akses liputan istana. Termasuk menerbitkan dan mencabut ID liputan istana.  Yang dimaksud liputan istana tentu bukan di lingkungan istana saja melainkan semua aktivitas presiden. Di sini dapat dipahami adanya kebutuhan keamanan/protokol di lingkungan istana dan presiden agar acara berjalan aman dan tertib.

Yang harus diingat kewenangan tersebut  tidak bisa membatasi pertanyaan-pertanyaan penting yang diajukan wartawan.  Mengajukan pertanyaan kepada narasumber  adalah bagian dari kerja pers.Apalagi jika narasumbernya adalah presiden yang memiliki kekuasaan besar dalam pengambilan keputusan. Pencabutan akses tanpa prosedur yang sah dapat dianggap sebagai menghalangi peliputan pers dan artinya melanggar Undang-Undang Pers.

Agar peristiwa pencabutan ID Card jurnalis CNN tidak terulang lagi istana harus memiliki SOP tertulis: kapan dan dalam kondisi  apa ID bisa dibatasi atau dicabut. Prosedur tersebut mencakup pemberitahuan tertulis, kesempatan klarifikasi dari wartawan/media dan hak banding. Artinya harus ada transparansi dan akuntabilitas. Keputusan mendadak tanpa penjelasan memicu kecurigaan. Ujungnya adalah merusak kepercaaan publik terhadap lembaga kepresidenan dan citra pemerintah.

Hak publik atas informasi menjadi isu signifikan dalam kasus pencabutan ID Card istana. Pers tidak sekedar melayani pemerintah, namun sesungguhnya publik. Mengonfirmasi  program publik -apalagi yang menjadi sorotan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG)- adalah bagian dari fungsi kontrol sosial pers. Jika pertanyaan seperti itu dibatasi maka hak publik atas informasi terciderai. Publik akan mencari dan mengonsumsi informasi dari sumber yang rendah kredibilitasnya.

Dalam perspektif kebebasan pers  peristiwa pencabutan ID Card jurnalis oleh istana bukanlah  sekedar insiden administratif. Melainkan pertarungan simbolik  soal siapa sesungguhnya  yang berhak mendefinisikan realitas publik. Peristiwa pencabutan itu mengingatkan bahwa istana bukanlah pusat aktivitas presiden saja. Namun juga pusat produksi wacana. Istana adalah panggung negara membentuk narasi dirinya

Saat wartawan CNN menanyakan program MBG yang penuh masalah itu maka panggung bergeser dari  narasi prestasi ke narasi kegagalan. Respon pencabutan ID Card jurnalis  adalah upaya kontrol  wacana apa yang boleh dipertontonkan wartawan. Inilah strategi hegemonik. Menjaga dominasi dengan mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dinarasikan.

Pertanyaan soal MBG yang akhirnya membuat Presiden balik arah merespon sesungguhnya adalah  upaya jurnalis melakukan counter-power. Membawa suara publik yang seringkali tidak nyaman didengar.  Media memfungsikan dirinya sebagai site of resistance, poros perlawanan. Menjadi suara dari mereka yang tidak memiliki suara (the voice of the voiceless).Narasi dominan diganggu, dipertanyakan dan bahkan dirobohkan.

Pencabutan  ID card adalah hukuman simbolik agar jurnalis lain belajar untuk tidak keluar dari narasi dominan. Tak perlu semua wartawan dilarang bertanya. Cukup seorang saja  dan yang lain akan patuh karena khawatir kehilangan akses. Inilah logika panoptikon, melakukan pengawasan  tanpa terlihat. Pencabutan ID Card adalah ritual  siapa yang berhak jadi bagian resmi narasi bangsa, siapa yang tidak.

Pengembalian ID Card disertai permintaan maaf menunjukkan  bagaimana tekanan publik dari Dewan Pers dan solidaritas media berhasil melakukan counter-hegemony. Dominasi negara tidaklah absolut. Ia dapat ditantang dan dipaksa bernegosiasi. Relasi antara lembaga kepresidenan dan pers sesungguhnya  bersifat timbal balik. Pers menghargai protokol istana, istana menghargai fungsi pengawasan pers.  Agar insiden ini tidak terulang lagi maka mekanisme kontrol istana perlu dievaluasi. Termasuk mengevaluasi pejabat yang bertanggungjawab agar tindakan serupa tidak terulang di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun