Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sri Mulyani, Mawar Putih dan Lukisan yang Raib

12 September 2025   08:55 Diperbarui: 12 September 2025   08:55 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia~Sri Mulyani

Kementerian Keuangan Selasa mendadak berubah menjadi panggung air mata. Seribu lebih pegawai Kementerian Keuangan melepas Sri Mulyani Indrawati. Setelah tiga belas tahun tujuh bulan  perpisahan itu datang jua. Mawar putih simbol penghormatan dan rasa terima kasih disampaikan.  Bahasa Kalbu dinyanyikan, puisi dibacakan dan air mata pun dicurahkan (Kompas,9/9/25). Dalam sekejap seorang menteri yang biasa tampil tegar di ruang publik hadir sebagai manusia yang rapuh. Berulangkali menyeka air mata disangga suaminya Tonny Sumartono.

Seluruh adegan itu merekam wajah paling teduh  relasi publik dengan pejabat negara. Hormat, cinta dan pengakuan. Sri Mulyani dilepas bak seorang pahlawan fiskal, ikon integritas sekaligus sosok yang menjaga denyut keuangan negara lebih dari satu dekade. Tak akan ada yang menyangka beberapa hari sebelumnya wajah lain publik Indonesia tersingkap. Rumah pribadi Sri Mulyani dijarah. Sebuah lukisan bunga karya tangannya sendiri raib.Lukisan yang tercipta 17 tahun lalu sebagai simbol kontemplasi pribadi itu dipanggul keluar begitu saja. Lukisan itu direnggut dengan tenang bak lembaran uang, bukan potongan jiwa.

Dalam kesaksian di akun media sosial menteri yang berulangkali meraih penghargaan menteri keuangan terbaik itu menulis getir. Bagi penjarah barang-barang itu hanyalah target operasi. Tetapi untuk ibu tiga anak itu rumah adalah ruang kenangan. Sementara lukisan itu adalah simbol perenungan batin. Ia menulis, "Lukisan Bunga itu telah raib lenyap seperti lenyapnya rasa aman, rasa kepastian hukum, dan rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab di bumi Indonesia." Kalimat itu mengguncang. Di balik ketenangan seorang menteri tersimpan luka seorang manusia yang rumahnya diobrak-abrik dan martabatnya dinjak.

Mawar putih dan lukisan bunga yang raib terjadi dalam ruang publik yang sama: Indonesia. Di satu sisi sebuah bangsa merayakan dedikasi seorang pejabat negara. Di sisi lain bangsa yang sama menunjukkan wajah buasnya. Hukum hilang, akal sehat runtuh, kepantasan dan rasa perikemanusiaan terkoyak.

Dalam kedua peristiwa itu ada satu figur lain yang senyap namun hadir: suami Sri Mulyani. Ia berdiri di sisinya saat rumah dijarah.Ia juga menjadi bahu sandaran ketika lobi Kemenkeu dipenuhi mawar putih. Tonny Sumartono bukan pejabat. Laki-laki itu juga bukan figur publik. Bahkan namanya nyaris tak muncul dalam narasi besar negeri ini. Ia adalah "laki-laki yang terkenal karena tidak terkenal." Publik mengenal sosoknya bukan karena perannya di panggung politik atau ekonomi. Namun justru karena ia konsisten hadir tanpa menuntut panggung.

Paradoks ini penting dicatat. Dalam hingar-bingar politik figur publik kerap disorot sendirian. Seolah berdiri sendiri. Padahal, ada "yang diam" di belakang mereka. Sebutlah itu keluarga, pasangan  atau orang-orang yang menanggung beban tanpa sorotan kamera. Dalam kasus Sri Mulyani keheningan sang suami justru menegaskan bahwa integritas seorang pejabat negara tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia disangga oleh relasi-relasi manusiawi yang tidak tampil di panggung tetapi justru menentukan kekuatan di baliknya.

Apa yang bisa kita pelajari dari dua wajah publik ini? Pertama, bahwa penghormatan dan penjarahan bisa terjadi pada orang yang sama. Inilah paradoks menjadi manusia publik di Indonesia. Dielu-elukan di kantor tapi bisa dilukai di rumah. Kedua, bahwa kehadiran orang-orang yang tak terkenal sering kali justru menjadi jangkar. Dalam drama mawar putih dan dalam tragedi penjarahan figur yang sama hadir. Seorang laki-laki yang tidak populer tapi nyata.

Opini ini bukan sekadar tentang Sri Mulyani atau suaminya. Ini tentang kita sebagai bangsa. Mengapa di satu ruang kita mampu memberi mawar putih sementara di ruang lain kita merampas rumah sesama warga? Mengapa kita pandai melantunkan Bahasa Kalbu namun begitu mudah kehilangan akal sehat dalam kerusuhan? Pertanyaan ini lebih mendesak daripada sekadar siapa yang menjadi menteri keuangan berikutnya.

Indonesia adalah rumah kita bersama. Jika rumah seorang menteri bisa dijarah apalagi rumah rakyat umumnya? Jika mawar putih hanya berhenti sebagai seremoni apa arti cinta tanah air yang kita serukan? Mungkin jawaban ada pada keberanian kita menjaga "yang tidak terkenal". Itulah nilai-nilai kepantasan, rasa aman, perikemanusiaan, dan integritas. Sebab justru hal-hal yang tak populer itulah yang membuat sebuah bangsa layak dihuni.

Dari mawar putih hingga laki-laki yang tidak terkenal kisah Sri Mulyani adalah cermin. Ia menunjukkan paradoks publik kita sekaligus membuka harapan. Bahwa di balik kontradiksi masih ada cinta, dedikasi dan kesetiaan yang tidak lekang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun