Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hendropriyono dan Kekecewaan Demokrasi

13 Juli 2019   10:25 Diperbarui: 14 Juli 2019   03:17 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hendropriyono membuat berita (Kompas.com) Kali ini berasal dari usulannya agar demokrasi kembali pada pemilihan tak langsung. Rakyat cukup memilih anggota MPR dan biarkan anggota dewan yang terhormat memilih siapa yang pantas dari calon terbaik memimpin negeri ini. 

Alasan Hendro pemilihan selama ini membuat mental masyarakat rusak. Dengan pemilihan tidak langsung menurut Hendro disiplin sosial buruk. Rakyat senaknya bisa mencaci maki pemimpinnya. 

Selain itu Hendro juga mengingatkan pemilihan langsung biayanya mahal dan selalu naik.Agar dapat menghemat biaya ia juga mengusulkan agar masa jabatan presiden dipenpanjang hingga 8 tahun dan tak bisa dipilih lagi.

Boleh jadi usulan Guru Besar Intelejen itu berasal dari kekecewaan kepada demokrasi langsung. Indonesia sudah melangsungkan 4 kali pemilihan presiden langsung. Semuanya diselenggarakan dengan biaya mahal. 

Baik mahal secara finansial maupun sosial. Kerugian secara sosial mungkin yang paling besar. Dua kali pemilihan presiden terakhir masyarakat terpolarisasi. Pendukung Jokowi atau Prabowo. Segregasi tidak berakhir bahkan setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan kubu Prabowo.

Kenyataan bahwa demokrasi tidak menghasilkan kehidupan yang lebih baik  seperti yang dicita-citakan boleh jadi benar. Meskipun demikian demokrasi memang bukan obat penyembuh total penyakit di masyarakat. Demokrasi adalah pilihan proses kehidupan berorganisasi bernama negara. Sebagai proses hasil tidak selalu seperti yang diinginkan. Proses perlu waktu.

Mungkin kelemahan utama demokrasi adalah ketidakpastian. Itulah sebabnya demokrasi harus dipandang sebagai seni. Ada tarik ulur dalam mengelolanya. Demokrasi bukan baris berbaris yang rapi seirama dan belok bersamaan. Jika dibanding dengan pemilihan tidak langsung memang akan terlihat jauh perbedaannya. Pemilihan tidak langsung artinya mengembalikan kekuasaan kepada partai politik. 

Rakyat cukup menyaksikan via media massa. Semuanya rapi dan teratur. Tak akan ada yang berani memprotes karena memang tak ada ruang untuk itu.Singkatnya itu sama saja dengan masa orde baru berkuasa.

Yang harus kita ingat demokrasi melalui pemilihan langsung tidaklah seburuk yang dikira. Demokrasi langsung melahirkan Joko Widodo, Risma, Ganjar Pranowo, Basuki Tjahaya Purnama, Ridwan Kamil dan sederet pemimpin daerah lainnya. Demokrasi langsung menciptakan kedekatan dengan pemilihnya. 

Walau prakteknya ada juga pemimpin hasil pilihan langsung yang manis berkata ketika kampanye dan nggak peduli dengan pemilihnya karena sibuk berkompromi dengan elit lainnya (siapa ya?) Tapi itu tentu bukan alasan agar demokrasi langsung, dihapus.

Agar demokrasi langsung menjadi alat mencapai tujuan mulia bernegara maka seluruh elemen bangsa harus ikut menjaganya. Proses demokrasi yang serba tak pasti dan melalui jalan berduri jauh lebih baik daripada rezim yang dipilih tidak langsung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun