Mohon tunggu...
Doddi Ahmad Fauji
Doddi Ahmad Fauji Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Another Voice

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jurnalisme 'Mulung Muntah'

25 Juni 2022   12:53 Diperbarui: 29 Juni 2022   08:46 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ISBN buku Menghidupkan Ruh Puisi, dokpri

Untuk menakar seseorang yang disebut 'paling' itu, bisa dilihat pekerjaannya apa, berapa gaji resminya, dan bandingkan dengan kekayaan material yang dimilikinya. Bila gajinya kecil namun ia kaya dan raya (bukan warisan juga bukan usahawan), maka bisa ditarik sekian asumsi yang bisa memuakkan.

Tentu saya juga memiliki perasaan dan keyakinan harus sejahtera, supaya tidak merepotkan orang lain, dan supaya tidak berhimpun dalam lembaga pengumpul sodakoh. Saya akan memilih berhimpun dengan lembaga perniagaan yang jujur, yang dibenarkan oleh berbagai ajaran agama dan tradisi. Sialnya, di era kapitalisme yang didukung oleh media ini, banyak pedagang yang curang, yang berdampak pada keadaan 'yang kaya makin melimpah, yang miskin makin terdesak'.

Jargon 'cogito er go sum', di era sosmed ini, telah melahirkan pelesetan 'aku narsis maka aku eksis' itu, dan dengan eksistensinya itu, seseorang memang bisa meraih fulus.

Namun di era jurnalisme warga ini, fulus yang bisa dimaknai pula sebagai keteranan, telah melahirkan pula suatu sikap yang perlu dikaji ulang. Para pelaku industri jurnalistik 'mainstream' menilai, telah banyak perbuatan clickbait, yang aritnya, judul tidak sesuai isi, agar mendorong orang mengklik link yang dikirimkan, dan hal tersebut telah menjadi wabah yang membahayakan kewarasan, kesadaran, dan kewajaran.

Bahkan di era permudahan meraih informasi, asalkan rajin, bukan hanya clickbait yang kian merebak, tapi juga jurnalistik 'mulung muntah'. Misalkan seseorang membaca berita di portal terdepan, dari sumbernya langsung, lalu berita itu diolah, diganti judulnya dengan yang lebih bombastis, lalu di-upload ke weblog, maka jadilah berita. Itulah metode jurnalistik mulung muntah, memang tidak copy paste sih. Ia melakukan hal itu, banyakan alasannya. Namun apapun alasannya, terdapat keuntungan. Yang akan menyedihkan, demi mengejar keuntungan, orang-orang melakukan hal itu, dan hilanglah daya kreatif, atau terjadi pendangkalan terhadap substansi kreatif, jika sekedar asal utak-atik.

Tak masalah asal utak-atik, namun perlu dimaknai dan dicermati, apakah yang kita pulung itu, sudah benar-benar berita yang akurat? Yang bahaya adalah, ternyata kita mulung yang keliru, dan tanpa dimaknai, tentu menghasilkan muntahan yang keliru.

Jurnalisme makna diusung oleh almarhum Kiyai Jakob Utama, salah satu pendiri Kompas Grup. Dulu sekali, di awal dekade milennium ketiga ini, Jakob mengatakan perlunya memaknai sebuah berita, sebelum disebarluaskan. Untuk sampai pada makna, tentu harus ditafsir terlebih dulu. Jadi, jurnalisme makna adalah kelanjutan dari jurnalisme tafsir. *

Tulisan ini pernah tayang di https://jurdik.id/2022/06/25/antara-jurnalisme-tafsir-dan-jurnalisme-mulung-muntah/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun