Mohon tunggu...
Doddi Ahmad Fauji
Doddi Ahmad Fauji Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Another Voice

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Buku Adalah...?

2 Juni 2022   13:25 Diperbarui: 4 Juni 2022   04:21 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang dimaksud buku itu, bukan fisiknya berupa beundeulan kertas yang memuatkan kata-kata. Buku yang dimaksud adalah muatannya, yaitu kata-kata yang dijelmakan padanya, hingga bisa dibaca. Sebelum ada buku beundeulan, kata-kata sudah ada, dan dituliskan bisa dalam kertas, sabak, kulit kayu, daun lontar, kulit binatang, atau dalam gundukan batu ditoreh hingga disebut prasasti.

Namun tidak sedikit para praktisi buku, membahas kondisi perbukuan dari fisiknya, dari beundeulan kertasnya, dan tidak dari 'tulisan' yang menjadi 'Ruh' dari buku itu. Oleh merebaknya penggunaan internet, buku beundeulan yang dicetak dengan mesin offset, atau dengan printer rumahan untuk penerbitan POD (print of demand), maka ketersisihan buku makin terasa. Buku dicetak hanya untuk ogutitasi (pencitraan). Faktanya, buku kian terasa makin sulit didagangkan.

Tulisan itulah yang menjadi 'Ruh' bagi buku kertas.  Jika 'Ruh'-nya pindah ke internet, maka jasad buku menjadi matisuri, atau malah mati beneran, hanya numpuk dalam rak atau kardus. Kata yang tepat untuk diucapkan berbunyi: 'selamat tinggal buku!'

Jika jasad buku mati, maka mati pula perpustakaan dan taman bacaan. Sekarang pun, perpustakaan sekolah dan kampus, apalagi perpustakaan di tengah masyarakat (taman bacaan) sebenarnya sedang sekarat. Pengunjungnya sedikit. Sebab informasi yang merebak di internet, makin rinci dan tidak kalah akuratnya dari yang dipaparkan dalam buku beundeul. Dan lagi pula, mencari informasi ke perpustakaan makin terasa ribet, apalagi jika harus menempuh jarak yang jauh di tengah kemacetan jalan.

Maka pula, ajakan untuk Nubar (nulis bareng), dengan iming-iming nanti terbit jadi buku, sedang mengalami kesakitan yang akan berakhir pada sekarat, lalu dijemput maut. Efek dominonya, bisnis kecil yang berlindung di balik gerakan literasi, juga akan gulung tikar.

Data dalam kompasiana misalnya, cukup memberikan data awal, yang bagi wartawan, akan disebut sebagai data sekunder. Cukup banyak tulisan dalam internet, termasuk kadang saya lakukan, adalah berupa tulisan komentar dari peristiwa yang diberitakan oleh media internet mainstream, macam Kompas.com, Kompas.id, tempo, detik, republika, dll. Misalnya tentang regulasi kenaikan harga, lebih banyak warga yang tahu informasinya melalui media internet mainstream.

Kondisi terkini itulah yang membuat sekian praktisi literasi di bidang cetak, termasuk koran, berucap "Ini era senjakala kami." Bre Redana, salah satu Redaktur di Kompas, sebelum pensiun ia sudah berujar seperti itu. Di akhir Medi 2022, salah satu punggawa koran Media Indonesia, Djadjat Sudradjat, juga menulis di FB dengan juluk 'Era Senjakala Koran'.

Maka satu satu, penerbit buku cetak akan gulung tikar. Bayangan saya, pada 2027 buku sudah tidak dicetak dalam bentuk kertas. Bagi pengelola penerbitan, ada yang meyakini hal tersebut, sehingga segera ber-transformasi, memindahkan buku kertas ke dalam e-book, dan memasarkannya lewat beberapa kanal internet.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun