Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Yogya Penuh Warna

23 Februari 2020   08:46 Diperbarui: 23 Februari 2020   08:52 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu malam ketika saya berdua teman ingin menonton film di gedung bioskop tersebut secara kebetulan berbarengan dengan dua anak muda seusia, tampaknya mereka juga ingin menonton film. Awalnya mereka melihat-lihat jadwal acara pemutaran film yang terpampang di etalase kaca. Salah seorang sambil berkacak pinggang sepertinya sedang memantas diri agar tampak laiknya orang kota yang sudah berpengalaman. 

Kami hanya saling pandang sambil tersenyum menyaksikan ulah mereka yang tanpa disadari sebenarnya tidak berhasil memoles penampilan "ndeso"-nya. Rupanya pemuda tanggung yang berkacak pinggang itu tidak biasa atau tidak bisa memahami maksud iklan yang terpajang di etalase itu. 

Di bagian atas kaca etalase itu terdapat tulisan "to day" dan "tomorrow" dikiranya judul film. Terbukti pemuda yang berkacak pinggang itu terdengar berkata lirih kepada temannya dalam bahasa Jawa (Gunung Kidul): "Lakone "tomorrow". Mulih ae yuk, kang..!" ("Judul filmya "tomorrow". Pulang  saja yuk, kang..!."). 

Rupanya dia tidak berminat untuk menontonnya. Spontanitas memanggil temannya "kang" itu saja, sudah ketahuan "ndeso"-nya. Memang, satu-satunya hiburan masyarakat Yogya waktu itu hanya menonton film di gedung bioskop. Tapi kalau angan-angan saya dapat terlaksana untuk piknik ke Yogyakarta, saya tidak ingin menonton film di gedung bioskop. 

Karena selain gedung bioskop di jalan Malioboro itu kini mungkin sudah tiada, saya lebih suka beristirahat saja di Hotel Cordela Kartika Dewi karena sudah sejak lama saya memiliki hiburan baru yakni menulis.  Begitulah...sambil meresapi nikmatnya Nginep di Hotel Cordela Kartika Dewi, saya dapat menulis cerita tentang pengalaman berdarmawisata di sana.

Waktu itu lingkungan dalam keraton Yogya atau candi Prambanan tidak menjadi obyek kunjungan dan tontonan yang menarik, selain karena bagi masyarakat Yogya sendiri keraton merupakan hal yang disaksikan sehari-hari, kegiatan wisata juga belum dijadikan komoditas. Tetapi suasana yang tenang, tenteram, dan damai, di siang hari tidak terlalu kendaraan bermotor dan lebih didominasi sepeda tampak berlalu lalang di jalan utama seperti Malioboro dan Sudirman. 

Sementara jalan--jalan lain di sekitar permukiman terasa lebih lengang ditengah mobilitas dan kegiatan masyarakatnya yang kelihatan santai. Karena masih dalam status sekolah, waktu itu pihak sekolah mengadakan semacam studi tour ke candi Borobudur, pabrik gula Madukismo serta pabrik pengecoran besi dan kuningan di Ceper yang letaknya tak begitu jauh dari kota Yogyakarta. 

Saat berkunjung ke candi Borobudur tahun itu disuguhi sejumlah pemandangan yang sungguh luar biasa mengesankan yang  tak bakal djumpai lagi apalagi dewasa ini.  

Sejauh mata memandang menuju area halaman candi Borobudur sepanjang jalan kelas tiga terasa hening sunyi, kiri dan kanan pemandangan sawah, dan setelah tiba di lokasi tampak puncak stupa candi Borobudur menyembul angker di sela-sela pepohonan seperti pohon maja dan pohon kelapa.  

Di seberang agak jauh tempak seorang nenek yang mengenakan kain sebatas dada dan "kutang" (semacam BH) sedang menyapu halaman dengan menggunakan sapu lidi. Mendengar deru  kendaraan mobil bak truk tentara membawa rombongan pengunjung candi, sejenak ia mendongak mengangkat kepala sambil meluruskan badan, matanya memandang ke arah mobil dengan tatapan heran seperti hendak meyakinkan siapa yang datang. 

Dalam hati mungkin ia berkata: "Wong candi Borobudur saja kok ditonton...". Buat dia candi Borobudur memang bukan sesuatu yang mengherankan, karena setiap hari dia menyaksikan, he..hee..he... Di samping itu, kondisi candi Borobudur waktu itu memang terkesan dibiarkan seperti apa adanya, Berdiri kokoh, diam membisu dan terkesan angker di atas sebidang tanah bukit selama berabad-abad. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun