Mohon tunggu...
Djuminten
Djuminten Mohon Tunggu... Wiraswasta - Dalem Solo

Hanya penumpang gelap yang gemar nasi Padang dan senang ngumpet.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suatu Senja

28 Februari 2021   22:16 Diperbarui: 28 Februari 2021   22:38 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langit senja mulai menyapa.

Warna jingga teduh menyapu mata.

Sayang, udara tak berkawan. Debu dan asap kendaraan beradu siapa nomor satu dalam urusan menodai awan.

Sejenak berhenti di warung kopi sebelah pos polisi tanpa penghuni.

Sudah 2 hari aku tak menikmati kopi buatan ibu warung ini, karena pulang terlalu malam.

Sibuk dengan bos yang mendadak minta laporan akhir bulan ini.

Motor Astrea Grand '97 terparkir di pinggir warung dekat pagar besi.

Ahh ... itu motor kesayanganku.

Sekalipun dibilang butut dan kaku, tapi aku suka.

Dia sudah menemaniku semenjak SMA hingga kini aku bekerja.

***

"Buk, kopi biasa 1 " pesanku.

Ibu warung sudah hapal seleraku.

2 bungkus kopi sachetan sebut saja Kopimik dengan 1 sendok teh gula dalam 1 gelas, diseduh dengan air panas setengah gelas lalu diamkan 3 menit untuk kemudian ditambahkan es batu.

Terdengar rumit.

Padahal prakteknya, begitu sederhana.

Sebatang dulu sajalah sembari menunggu, batinku.

Duduk menikmati jalanan dan mengamati mereka yang berlalu lalang.

Ahhh ... asap kretek seketika memenuhi dada.

Mengepul bersama letih dan sisa-sisa tenaga.

Lega.

"Ni kopinya neng." Ibu warung menyodorkan kopi pesananku.

"Suwun buk."

Segera kuteguk.

"Ahhh... ".

Lidah, kerongkonganku, serasa menemukan surganya

Pahit ... manis ... perpaduan sempurna menikmati senja.

Ditambah dengan kepulan asap dari sebatang kretek buatan negeri sendiri.

Kata mereka, kenikmatan mana lagi yang harus didustakan ?

***

Di sela menikmati "percakapanku" dengan kopi, mataku menangkap pemandangan yang tak biasa.

Di sana

Di sudut bangunan tua seberang jalan

Seorang perempuan dan anak perempuannya. Pakaiannya tak terlalu compang-campin

Dia menggendong karung berisi kardus dan tangannya membawa pengait besi yang biasa dipakai para pengais sampah.

Anak perempuannya mengikuti di belakangnya, sambil sesekali mengusap ingus yang sepertinya deras mengalir di lubang hidungnya.

Terus saja mataku enggan berpaling dari mereka. Seolah aku merasa beberapa tingkat di atas mereka.

Lebih beruntung.

"Apa mereka bisa makan dengan pekerjaan itu ?"

"Apa mereka cuci tangan setelah itu ?"

"Apa mereka punya tempat tinggal ?"

"Apa mereka ...?"

Pertanyaan-pertanyaan mulai tumbuh di kepalaku serupa rumput liar di halaman kala musim hujan.

"Sudah pasti anak itu nggak kenal sekolah ".

Aku mulai menerka. Mulai menjatuhkan dugaan-dugaan.

Ketika kepala tengah riuh berdebat tentang siapa mereka, ibu dan anak itu menyeberang jalan.

Menuju warung tempatku mengamati mereka!

"Apa mereka mau minta-minta di sini ??"

Tanganku sontak meraba-raba saku celana.

Berharap ada recehan untuk kuberikan jika memang benar mereka nanti minta sumbangan.

"Woalahh ... tinggal 15 ribu ... piye Iki ?"

***

Bingung aku

Bagaimana nanti kalau mereka benar meminta belas kasihan ?

Malu aku kalau sampai mereka meminta dan aku tak bisa memberi.

Mataku berulang kali melirik kanan kiri.

Berharap tak ada yang melihat aku panik mencari recehan untuk berbagi.

Walau sebenarnya aku tahu pasti, memang hanya itu uang yang saat ini kumiliki.

Gajian masih esok jam 8 pagi .

Nianti malam aku akan mengunjungi rumah seorang teman.

Mengandalkan percakapan untuk segelas kopi, setoples cemilan, dan sepiring nasi.

5 ribu buat bayar kopi, 10 ribu untuk beli bensin.

Tak ada recehan sama sekali.

"Bagaimana ini ?"

Sialan !

Biasanya aku menyelipkan 2 ribuan di saku celana.

Efek tanggal tua, segala saku sudah terkuras isinya.

Hmm ... tetap mencoba bersikap tenang tanpa memperlihatkan kecemasan.

Meski mataku tetap saja kelimpungan melihat ibu dan anak itu yang kian mendekat.

Kunyalakan sebatang rokok lagi biar terlihat "aku baik-baik saja".

Ibu itu terlihat meminta nasi entah dengan lauk apa dan segelas teh hangat.

Telingaku tak mampu menutupi keingintahuannya. Terdengar suara lirih ibu itu mengucapkan "terimakasih" pada pemilik warung.

Sementara ....

Anak perempuannya ... mendekatiku.

"Kak, boleh duduk di sini ?" Katanya

Aku melihat bocah itu.

Dekil ... lusuh.

Dan ingusnya ... Duh Gusti !

Hijau serupa jus alpukat buatan mamakku.

Aahh aku benci imajinasiku!

"Eh ... iya ... duduk aja dek" terpaksa aku menjawab.

"Maaf ya neng, biar kami duduk di luar." Ibu itu tiba-tiba di belakangku.

"Ehh ... nggak apa Bu ... mari duduk saja di sini." Spontan aku menggeser posisiku.

"Terimakasih neng ...." katanya.

***

Aku tak lelah memandang bocah itu makan.

Benar kan, dia tak cuci tangan, bahkan mulutnya di lap memakai baju lusuhnya yang mungkin tak pernah terjamah sabun cuci atau sejenisnya.

Baunya ?

Hmm ... jangan tanya.

Luar biasa kubilang.

Ibu itu ....

Memandang anaknya dengan seksama.

Rona bahagia terpancar dari wajahnya. Bibirnya tak lepas dari senyuman, meski matanya tampak menyiratkan beratnya beban.

Terlihat pahatan-pahatan lelah di antara senyumnya.

"Ibu nggak makan ?" Mendadak mulutku bertanya padanya.

"Mmm ... enggak neng ... ibu sudah cukup kenyang."

Hah ??!

Apa aku tidak salah dengar ?

Kenyang katanya ??

Badannya begitu tipis dengan urat-urat di sekujur tangannya .. Tulang-tulang menggeliat di sela-sela lehernya.

Dan dia bilang ... kenyang ??

Huhh!!

Aku tahu, ibu itu pasti sangatlah lapar.

Sengaja dia tahan.

Tidak punya uang untuk membayar 2 porsi makanan.

***

Belum selesai rasa heranku ..

"Mak, sudah ... Aci kenyang." Anak itu bernama Aci rupanya.

"Iya sudah ... sini mak bungkus buat nanti lagi." Lembut sekali ibu itu dalam berbicara.

Mendadak mataku seperti bendungan yang tak kuat menahan derasnya air.

Wahh ... ini tidak bisa dibiarkan!

Ada yang masih merasakan kelaparan di negara yang "katanya" juragan pangan.

Ada yang masih saja hidup di bawah garis kemiskinan di negara yang "katanya" kaya akan sumber daya alam.

Apa saja kerja para wakil rakyat di gedung sebesar itu ?

Siapa yang mereka wakili jika keadaan rakyat sendiri saja mereka tak tahu ??

Orasi di dalam kepala.

Mendadak marah dengan keadaan yang ada. Rasa marah membakar dada, mengajak kepala memikirkan cara harus bagaimana.

Bedebah ini orang-orang ! Mereka seenak jidat berjalan tanpa peduli sesama mengiba meminta sejumput kasihan.

Manusia apa setan ?!

Iya tapi itu hanya kemarahanku di pikiran. Toh nyatanya, aku tak jauh beda dengan mereka. Hanya mampu membayangkan tanpa mampu bertindak lebih jauh.

Ya ... karena keadaan.

Aci keluar warung. Dia bermain dengan kardus. Entah apa yang ada di kepalanya.

Bocah itu pastilah kenyang dengan debu jalanan kota, dinginnya malam yang menusuk belulang, atau perlakuan kejam para penghuni jalanan lainnya.

Barangkali kepalanya serupa Ancol atau Dufan. Penuh gemerlap lampu dan mainan yang menyenangkan.

Berkhayal sebagai putri dengan segala keindahannya.

"Kasihan kamu nak ...." gumamku.

***

Tanganku menggenggam 10 ribuan di saku celana sebelah kanan.

Tak apa kataku ....

Ibu ini lebih membutuhkan. Bensinku masih cukup untuk perjalanan pulang.

Biarlah tak apa ... lirih hatiku mengikhlaskan.

"Bu, ini buat ibu. Maaf sedikit." Tanganku menuju genggamannya.

Ibu itu melihat tanganku. Matanya kemudian menuju mukaku.

Seram

Tajam.

"Jangan sampai aku salah bicara ini ..." pikirku sedikit takut melihat pandangan ibu itu.

"Terimakasih Neng ... " matanya mulai berkaca-kaca.

"Ibu bersyukur masih ada yang mau membantu ibu .."

"Aci bisa minum teh hangat malam nanti." Katanya sambil tersenyum lebar.

Cantik !

Benar-benar cantik wajah ibu ini.

Kepalaku serasa ditumbuhi berbagai bunga. Seperti festival ibukota.

Meriah.

Bangga ?

Iyalah!

Aku merasa seperti orang yang luar biasa. Bersedekah seperti yang diamanatkan saat ibadah.

Mendadak merasa seperti orang kaya. Seperti apa yang mereka sebut "Orang Baik."

Aku sudah melakukan hal yang baik, kataku dalam hati.

Setidaknya, aku membantu sesama seperti yang tertulis di buku pelajaran Budi pekerti dulu.

Ahh aku bangga dengan diriku sendiri.

Terdengar sombong kan ?!

Tapi memang menyenangkan ketika kita mampu memberikan sedikit dari apa yang kita terima untuk mereka yang membutuhkan.

Meskipun, kini ... banyak yang memberi hanya untuk hegemoni semata.

Agar dipandang "baik" dan luar biasa.

Pencitraan, kalau mereka bilang. Padahal, yang menerima oke-oke saja. Nggak ada masalah. Yang penting bisa makan dan sedikit berdandan.

***

Ibu itu mulai berkemas.

Bungkusan nasi sisa makan si Aci ditentengnya di tangan kiri.

Sembari berdiri dan merapikan kursi, ibu itu mengulurkan tangan kanan tanda meminta jabat tangan.

Segera kuhampiri tangan lusuh itu dan menyambutnya dengan jabat tangan erat.

Sangat erat ... dan entah ... dingin sekali tangan ibu ini.

Ahh esok aku akan sering memberinya rejeki ... esok akan kusisihkan sebagian kecil gaji.

"Ibu besok kesini lagi" tanyaku memastikan.

Ibu itu cuma tersenyum.

"Piye tho kik?? Ditanyain kok senyum tok." Pikirku heran.

Ibu itu keluar dan menghampiri Aci yang masih saja asyik bercanda dengan dunianya sendiri di depan warung.

Aku masih mengamati mereka. Tangan ibu itu memberikan sesuatu pada Aci. Uang yang kuberikan, dia selipkan di tangan Aci.

Aci menoleh ke arahku. Dia tersenyum!

Seolah berterimakasih padaku melalui senyumannya itu.

Aku jadi semakin bangga pada diriku sendiri.

Aku berguna bagi mereka.

Tersenyum sendiri. Segera kuteguk habis kopiku. Ini senja yang luar biasa.

Dengan segala aroma yang ditawarkannya, aku merasa ini senja yang istimewa.

Tiba-tiba ibu itu menunjuk ke seberang jalan. Sontak Aci berdiri dan tersenyum lebar.

Ada seorang lelaki setengah tua melambaikan tangan, mengisyaratkan Aci untuk segera menuju ke arahnya.

Aci segera menggendong kardus-kardus bekas itu. Dan Ibu membantunya mengikatkan temali di pinggang kecil Aci.

"Kok bukan ibu yang bawa sih ?? Anak kecil disuruh bawa kardus segitu banyak." Heran aku.

Aci segera melangkahkan kaki bersiap menyeberang.

Tangan kanannya membawa plastik nasi sisa makanannya tadi.

Tapi ..

Ibu itu hanya menatap Aci yang menyeberang tanpa mengikutinya.

Hanya melihat dengan matanya yang kelelahan.

Barangkali ibu itu mau ke suatu tempat dahulu, pikirku.

Dari seberang jalan, Aci tampak memeluk lelaki setengah tua itu sambil memberikan plastik nasi dan uang yang diberikan ibunya.

Lalu dia memandang ke arah sang Ibu.

Aci melambaikan tangan ... mengajak ibunya segera bergabung dengannya.

Ibu itu diam.

Tangannya saling menggenggam. Tampak raut wajahnya berubah sedih.

Airmata terlihat meluncur di sudut mata rentanya.

Entah apa yang dipikirkannya hingga tak juga bergeming dari tempatnya berpijak.

Sementara Aci terus memandang Ibunya penuh harap sambil terus melambaikan tangan.

Gemas aku melihatnya. Mbok ya segera disusul ... sudah teriak-teriak gitu kok masih diam saja.

Ibu itu melihat aku dan tersenyum.

Seolah hendak berpamitan.

Namun dengan airmata masih mengalir di pipinya.

Dia berlari

Menghampiri Aci

Menuju seberang jalan

Meninggalkan tubuhnya tergeletak di emperan.

Pemandangan itu ... Seolah memadamkan lampu di sekelilingku.

Gelap.

***

Dalem Solo, 15 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun